Sabtu, 03 Mei 2014

UN, Kerikil Dunia Pendidikan

UN, Kerikil Dunia Pendidikan

Budi Prasetyo Wr  ;   Mahasiswa S-2 Ketahanan Nasional UGM
SINAR HARAPAN, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SMA sederajat sudah selesai. Kini, siswa SMP sederajat kembali mendapat giliran UN. Para siswa kelas IX SMP mempersiapkan diri, terutama mentalnya. Secara psikologis dan mental, anak-anak yang akan mengikuti UN ini ditekan sedemikian rupa. Akibatnya, berbagai ekspresi dikeluarkan untuk mengungkapkan segala perasaan mereka.

Baik itu sebelum UN maupun sesudah pengumuman kelulusan. Jadi, begitu tidak bijaknya kita ketika setelah pengumuman kelulusan melarang mereka mencoret-coret seragam dan berkonvoi di jalan. Inilah ekspresi yang seharusnya difasilitasi, faktor keamanan utamanya. Marah, kesal, dan kecewa adalah hal lumrah ketika kegagalan menimpa nanti di saat pengumuman hasilnya.

Belajar dari pelaksanaan UN SMA, masih banyak yang perlu dibenahi. Ada banyak kejadian berkaitan dengan pelaksanaan UN SMA dan terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini, seperti joki, siswa yang menyontek, guru memberikan jawaban dengan ikut mengerjakan soal, dan perbuatan tidak fair lainnya.

Intinya keinginan mereka hanya satu, yakni lulus UN tidak lebih dari itu. Tidak hanya murid-murid yang menginginkan hal ini, sekolah, guru, dan orang tua dipaksa pemerintah hanya untuk melihat anak-anak mereka lulus UN. Jika ada yang tidak lulus, bersiap-siaplah menjadi bulan-bulanan banyak pihak untuk di-bully.

Orientasi Hasil

Di sini siswa dididik untuk selalu bertujuan pragmatis. Kesenangan semu sekali yang akan mengantar mereka menjadi manusia-manusia berwatak mesin. Proses yang begitu panjang selama tiga tahun tak ada harganya. Banyak pihak berpendapat yang paling berharga dari pendidikan kita saat ini adalah tiga hari yang menentukan, yakni UN. Prestasi-prestasi yang telah diraih ketika proses berlangsungpun tak bisa membantu.

Tentunya kita masih ingat tahun lalu. Ketika ada seorang anak pemenang olimpiade harus tidak lulus karena ada salah satu nilai yang kurang pada satu mata pelajaran. Selain itu, anak-anak yang harus merasa sangat kecewa karena telah diterima di universitas terkemukan, baik dalam dan luar negeri tidak lulus UN. Sungguh sebuah hal yang ironis.

Untuk memperbaiki bangsa ini, terlebih dahulu harus mereparasi manusianya. Caranya dengan mengubah sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil ini secepatnya. Menuju sebuah pendidikan yang berbasis pada kemanusiaan.

Mengembalikan semangat cita-cita pendidikan bangsa ini, yakni pendidikan yang memanusiakan manusia. Bukan malah membuat sistem yang menjadikan manusia sekadar mesin atau robot. Manusia yang hanya mementingkan hasil tanpa berpikir proses. Siswa-siswa yang tidak peduli lingkungan sekitar asal yang diinginkannya bisa didapatkan.

Mentalitas manusia Indonesia yang tidak menghargai mutu, mementingkan hasil daripada proses, mengeneralkan masalah, suka melempar tanggung jawab, dan lainnya adalah sebuah penyakit. Pendidikan sejak dini tentunya dengan sistem yang benar sesuai permasalahnya adalah solusi untuk itu. Pertama sekali yang harus dilakukan adalah mendiagnosis. Selanjutnya, menentukan terapi yang pas dari hasil diagnosis itu.

Standar UN

Ketika pemerintah akan terus mempertahankan kebijakan UN, standar UN seharusnya tidak digeneralisasi. Namun, standar UN bisa hingga empat atau bahkan lima, tergantung tingkat kualitas masing-masing sekolah. Seharusnya sekolah sebagai lembaga yang mendidiknya selama ini adalah pihak paling berhak menentukan kelulusan seorang siswa, bukan standar nilai UN.

Ketika seorang siswa hanya kurang nol koma dalam suatu mata pelajaran dalam UN, pihak sekolah harus berani meluluskannya. Ketika pihak sekolah melalui guru-guru yang mengajarnya setiap hari mendapatkan bahwa ia adalah siswa yang rajin dan termasuk dapat mengikuti pelajaran, siswa itu mempunyai prestasi atau mungkin telah diterima di salah satu universitas terkemuka. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak meluluskan anak-anak seperti itu hanya karena nilai UN-nya kurang nol koma.

Keadilan-keadilan yang terlanggar itulah yang menyebabkan kebijakan UN harus ditinjau kembali. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Kegiatan memanusiakan manusia inilah makna dari pendidikan yang hakiki. Kemurnian tujuan dari pendidikan itu lama kelamaan digerus termakan zaman.

Pendidikan sekarang ini tidak lebih dari sekadar memindah tulisan dari dalam buku ke otak anak-anak kita. Untuk itu, marilah bergandeng tangan untuk mengevaluasi kebijakan UN ini. Tentunya dengan semangat mencari solusi terbaik dan kebaikan generasi ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar