UN,
Kerikil Dunia Pendidikan
Budi Prasetyo Wr ; Mahasiswa S-2 Ketahanan Nasional UGM
|
SINAR
HARAPAN, 02 Mei 2014
Ujian
Nasional (UN) untuk tingkat SMA sederajat sudah selesai. Kini, siswa SMP
sederajat kembali mendapat giliran UN. Para siswa kelas IX SMP mempersiapkan
diri, terutama mentalnya. Secara psikologis dan mental, anak-anak yang akan
mengikuti UN ini ditekan sedemikian rupa. Akibatnya, berbagai ekspresi
dikeluarkan untuk mengungkapkan segala perasaan mereka.
Baik itu
sebelum UN maupun sesudah pengumuman kelulusan. Jadi, begitu tidak bijaknya
kita ketika setelah pengumuman kelulusan melarang mereka mencoret-coret
seragam dan berkonvoi di jalan. Inilah ekspresi yang seharusnya difasilitasi,
faktor keamanan utamanya. Marah, kesal, dan kecewa adalah hal lumrah ketika
kegagalan menimpa nanti di saat pengumuman hasilnya.
Belajar
dari pelaksanaan UN SMA, masih banyak yang perlu dibenahi. Ada banyak
kejadian berkaitan dengan pelaksanaan UN SMA dan terjadi pula pada
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini, seperti joki, siswa yang menyontek, guru
memberikan jawaban dengan ikut mengerjakan soal, dan perbuatan tidak fair lainnya.
Intinya
keinginan mereka hanya satu, yakni lulus UN tidak lebih dari itu. Tidak hanya
murid-murid yang menginginkan hal ini, sekolah, guru, dan orang tua dipaksa
pemerintah hanya untuk melihat anak-anak mereka lulus UN. Jika ada yang tidak
lulus, bersiap-siaplah menjadi bulan-bulanan banyak pihak untuk di-bully.
Orientasi Hasil
Di sini
siswa dididik untuk selalu bertujuan pragmatis. Kesenangan semu sekali yang
akan mengantar mereka menjadi manusia-manusia berwatak mesin. Proses yang
begitu panjang selama tiga tahun tak ada harganya. Banyak pihak berpendapat
yang paling berharga dari pendidikan kita saat ini adalah tiga hari yang
menentukan, yakni UN. Prestasi-prestasi yang telah diraih ketika proses
berlangsungpun tak bisa membantu.
Tentunya
kita masih ingat tahun lalu. Ketika ada seorang anak pemenang olimpiade harus
tidak lulus karena ada salah satu nilai yang kurang pada satu mata pelajaran.
Selain itu, anak-anak yang harus merasa sangat kecewa karena telah diterima
di universitas terkemukan, baik dalam dan luar negeri tidak lulus UN. Sungguh
sebuah hal yang ironis.
Untuk memperbaiki
bangsa ini, terlebih dahulu harus mereparasi manusianya. Caranya dengan
mengubah sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil ini secepatnya.
Menuju sebuah pendidikan yang berbasis pada kemanusiaan.
Mengembalikan
semangat cita-cita pendidikan bangsa ini, yakni pendidikan yang memanusiakan
manusia. Bukan malah membuat sistem yang menjadikan manusia sekadar mesin
atau robot. Manusia yang hanya mementingkan hasil tanpa berpikir proses.
Siswa-siswa yang tidak peduli lingkungan sekitar asal yang diinginkannya bisa
didapatkan.
Mentalitas
manusia Indonesia yang tidak menghargai mutu, mementingkan hasil daripada
proses, mengeneralkan masalah, suka melempar tanggung jawab, dan lainnya
adalah sebuah penyakit. Pendidikan sejak dini tentunya dengan sistem yang
benar sesuai permasalahnya adalah solusi untuk itu. Pertama sekali yang harus
dilakukan adalah mendiagnosis. Selanjutnya, menentukan terapi yang pas dari
hasil diagnosis itu.
Standar UN
Ketika
pemerintah akan terus mempertahankan kebijakan UN, standar UN seharusnya
tidak digeneralisasi. Namun, standar UN bisa hingga empat atau bahkan lima,
tergantung tingkat kualitas masing-masing sekolah. Seharusnya sekolah sebagai
lembaga yang mendidiknya selama ini adalah pihak paling berhak menentukan
kelulusan seorang siswa, bukan standar nilai UN.
Ketika
seorang siswa hanya kurang nol koma dalam suatu mata pelajaran dalam UN,
pihak sekolah harus berani meluluskannya. Ketika pihak sekolah melalui guru-guru
yang mengajarnya setiap hari mendapatkan bahwa ia adalah siswa yang rajin dan
termasuk dapat mengikuti pelajaran, siswa itu mempunyai prestasi atau mungkin
telah diterima di salah satu universitas terkemuka. Jadi, tidak ada alasan
untuk tidak meluluskan anak-anak seperti itu hanya karena nilai UN-nya kurang
nol koma.
Keadilan-keadilan
yang terlanggar itulah yang menyebabkan kebijakan UN harus ditinjau kembali.
Pendidikan pada hakikatnya bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Kegiatan
memanusiakan manusia inilah makna dari pendidikan yang hakiki. Kemurnian
tujuan dari pendidikan itu lama kelamaan digerus termakan zaman.
Pendidikan
sekarang ini tidak lebih dari sekadar memindah tulisan dari dalam buku ke
otak anak-anak kita. Untuk itu, marilah bergandeng tangan untuk mengevaluasi
kebijakan UN ini. Tentunya dengan semangat mencari solusi terbaik dan
kebaikan generasi ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar