Minggu, 04 Mei 2014

Mukjizat dari Masa Lalu

Mukjizat dari Masa Lalu

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BERIRINGAN dengan gawe Pemilihan Umum 2014, ada tiga peringatan nasional penting dalam agenda, yakni peringatan hari Kartini tanggal 21 April, peringatan Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) tanggal 22 Mei, dan Hari Sumpah Pemuda tanggal 22 Oktober. Tiga-tiganya mengingatkan kita bahwa pada masa yang lalu pernah ada pemikir-pemikir yang dengan tulus secara intens berusaha mewujudkan aspirasi memajukan dan memperjuangkan masa depan bangsa: Demi kepentingan bangsa.

Tersebutlah perempuan muda Kartini (1879-1904) dengan cita-cita luar biasa untuk menjadi pelopor kebangkitan perempuan pribumi (Indonesia). Kemampuannya berbahasa Belanda memungkinkan dia banyak membaca penerbitan Eropa, yang berangsur membuatnya tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk meningkatkan status perempuan pribumi yang waktu itu tergolong rendah. Selain mulai membuka lembaga pendidikan sederhana untuk perempuan, dia juga banyak berkorespondensi dengan kenalan-kenalannya di Eropa dan menulis sejumlah buku tentang perempuan pribumi. Terungkaplah situasi kehidupan perempuan pribumi di mata dunia. Kartini meninggal pada usia muda, 25 tahun, pada 1904. Hari lahirnya, 21 April, sekarang diperingati secara nasional sebagai Hari Kartini.

Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia sebenarnya diawali dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam pada 1905 di Solo, yang berkembang menjadi organisasi pergerakan pada 1906 dengan nama Sarekat Islam. Benih-benih kebangkitan nasional yang belum pernah dirasakan di zaman Belanda mulai muncul dengan semangat persatuan dan kesatuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting lain, yakni berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Tanggal berdirinya Boedi Oetomo dijadikan peringatan nasional: Hari Kebangkitan Nasional.

Lebih dari satu abad telah berlalu sejak saat-saat yang mencatat tumbuhnya spirit kebersamaan sebagai suatu masyarakat bangsa. Spirit murni `demi kepentingan bangsa' selama perjalanan satu abad banyak dipengaruhi perkembangan zaman yang mencuatkan berbagai kepentingan. Maka bila akhir-akhir ini ada wacana `demi kepentingan bangsa', timbul pertanyaan, apakah spirit ungkapan itu semurni seabad yang lalu?

Persiapan menanti satria piningit

Pada peringatan Sumpah Pemuda Oktober nanti, kita sudah akan memiliki RI-1 dan wakilnya. Rakyat tentunya mengharapkan, mereka tokoh-tokoh yang mampu membawa mukjizat bagi bangsa ini. Sementara ini, tokoh-tokoh yang maju atau dimajukan sebagai capres/cawapres mudah-mudahan sadar apa yang diharapkan dari mereka untuk membangun masa depan bangsa ini. Bahwa sekarang terjadi hiruk-pikuk antarkita atau antarpartai untuk menjaring pasangan pemimpin tertinggi negeri ini, rasanya wajar. Yang tidak wajar bila mereka menitipkan kepentingan kelompok atau golongan untuk gawe besar ini.

Idealnya, menjelang pemilihan RI-1 dan wakilnya pada Juli nanti, sudah mulai diwacanakan Indonesia seperti apa yang akan kita bangun di masa depan. Berdasarkan pola dan agenda yang kita bentuk, baru akan kita tentukan tokoh atau pasangan tokoh mana yang mampu dan cocok memimpin negara ini, sesuai tujuan; dari partai politik atau kelompok mana pun mereka. Akan tetapi, yang tampaknya sedang terjadi sekarang, kita lebih sibuk merekayasa situasi koalisi demi ke pentingan partai politik masingmasing. Berbagai tokoh pilihan subjekif mereka tawarkan atau menawarkan diri. Unsur `demi kepentingan bangsa' terkesan diabaikan.

Dalam menghadapi situasi serbakompleks sekarang ini, rakyat secara alamiah menunjukkan kecemasan. Mereka menunggu dan kebanyakan tinggal diam. Namun, pemilihan legislatif yang brutal baru-baru ini mencerminkan kecemasan mereka. Bahkan sebagian orang bijaksana pun menyimpulkan, kita sedang menuju bencana. Akan tetapi, sejarah tidak selalu berjalan sesuai ramalan atas dasar penalaran. Kecemasan yang berlebihan sama naifnya dengan keyakinan bahwa masa depan pasti akan membawa perbaikan. Apakah mungkin itu bisa dilakukan tanpa perencanaan yang cermat dan bernalar?

Mengangankan pemimpin ideal

Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) pernah menyatakan, memegang kepemimpinan demokratis lebih rumit dan sulit daripada kepemimpinan diktatorial dan karismastik. Kepemimpinan yang disebut terakhir dipatuhi, sebagian karena paksaan dan sebagian karena emosi yang tidak rasional. Adapun dalam suatu negara demokrasi, pemimpin harus mendapatkan kerja sama rakyatnya dengan cara meyakinkan mereka secara rasional bahwa kebijakan politik yang diusulkannya dapat dibenarkan. Untuk itu, sang pemimpin harus berdialog dengan rakyatnya dengan kadar emosi rendah.

Jika menginginkan demokrasi yang ideal, yang dibutuhkan bukan pemimpin yang pandai mengelabui rakyat dengan pencitraan, yang pandai menggerakkan emosi dan prasangka demi kepentingan pribadi, melainkan pemimpin yang secara etis ataupun intelektual mempunyai kemantapan sehingga rakyatnya bersedia mengikuti kepemimpinannya bukan karena merasa terpaksa atau karena emosi.

Menurut Toynbee, pemimpin ideal seperti itu memang sulit dijumpai. Kalaupun ada, dia mungkin enggan mengambil tanggung jawab sulit itu, yang belum tentu mendapat rasa terima kasih yang dipimpinnya. Toynbee selanjutnya menyatakan, sejauh penga lamannya, pemimpin-pemimpin yang bisa mendekati peranan seperti itu di dunia baru ada tiga: Roosevelt, Churchill, dan Nehru.

Namun, ia mengakui, pemimpin-pemimpin itu berhasil karena kepemimpinan mereka berlangsung ketika negara dalam keadaan krisis sehingga rakyat mau menerima keadaan yang berat dan memberikan pengorbanan. Dalam hal Winston Churchill, dengan sikap kepahlawanannya dia menyelamatkan Inggris dari mimpi buruk Perang Dunia II. Tetapi setelah perang usai, dan rakyat tidak menganggapnya pemimpin yang tepat untuk tugas pembangunan, dengan sikap perwira Churchill menyerahkan kekuasaan politiknya kepada tokoh lain.

Sejarah tidak kurang memberikan contoh tentang spirit kepemimpinan di masa revolusi kita sendiri ataupun yang dialami masyarakat luar. Kita bisa mencari inspirasi dan berguru dari sejarah masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar