Perahu
Papua Setahun setelah 50 Tahun Integrasi
Freddy Numberi ;
Tokoh
Papua
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Mei 2014
SEJARAH Papua dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang unik untuk dikaji. Lima puluh satu
tahun merupakan perjalanan waktu rakyat Papua yang cukup panjang dengan
segala suka ataupun dukanya sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2014. Kita perlu
kaji secara mendalam dan refleksi balik, apakah selama 51 tahun ini ada makna
bagi rakyat Papua sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar ini dan
apakah pemerintah telah berhasil `mengindonesiakan orang Papua'.
Pendeta Martin Luther King Jr dalam pidatonya I Have a Dream mengatakan, “I have a dream, that my four children, will one day live in a nation where they not be judged by the color of their skin but by the content of their character“ (Saya mempunyai suatu impian, bahwa suatu saat nanti, keempat anak saya bisa tumbuh dan berinteraksi dalam suatu bangsa yang tidak menilai mereka dari warna kulitnya, tapi dari kepribadian mereka). Pidato yang disampaikan dari tangga Lincoln Memorial di Washington 28 Agustus 1963 ini berisikan seruan tentang kesetaraan dan pengakhiran diskriminasi. Bermakna bahwa orang hitam di Amerika Serikat (AS) suatu saat nanti akan hidup dalam sebuah bangsa AS yang tidak menilai mereka dari warna kulitnya yang hitam, tetapi dari suatu bangsa yang menjunjung tinggi karakter mereka sebagai warga negara AS. Pidato ini sangat terkenal dan dipuji serta sering dikutip oleh banyak pengamat. Mimpi ini kemudian terbukti ketika 50 tahun kemudian seorang kulit hitam tampil sebagai Presiden AS, yaitu si `anak Menteng' Barack Obama. Lalu AS pun `berhasil' mengamerikakan orang kulit hitam meskipun melalui suatu proses panjang yang penuh derita dan nestapa. Sebaliknya, kita bertanya, kenapa Indonesia tidak berhasil `mengindonesiakan orang Papua' dalam kurun waktu 51 tahun tersebut. Suatu perjalanan waktu yang cukup panjang. Sangat dipahami bahwa kita memiliki banyak kesamaan seperti: 1) sejarah, dan berada di bawah penjajah yang sama; 2) posisi geografis; (3) cita-cita ingin merdeka, adil, makmur, demokratis, bebas dari penindasan, penderitaan, dan siksaan penjajah. Ernest Renan berpendapat bahwa adanya suatu bangsa karena mereka memiliki pengalaman dan latar belakang historis yang sama, serta memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan perasaan kesetiakawanan yang luhur. Ilmuwan Jerman Otto Bauer mengatakan bahwa bangsa itu terbentuk oleh sekelompok manusia yang mempunyai persamaan karakter yang tumbuh karena persamaan nasib. Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya, tetapi memiliki persamaan sejarah dan cita-cita serta hasrat untuk hidup bersama, yang terikat dalam suatu wilayah Tanah Air. Bangsa yang memiliki harga diri dan martabat, bukan menjadi `bangsa kuli' bagi sang penindas atau penjajah. Pendekatan keamanan Menjadi bangsa Indonesia bukan karena warna kulit, suku, etnik dan agama, melainkan karena memiliki suatu pertalian erat di masa lalu serta memiliki harapan untuk hidup bersama adil, makmur, dan lebih sejahtera di masa mendatang. Pembangunan di Papua yang selama ini banyak diwarnai dengan pendekatan keamanan (security approach), harus diubah menjadi pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan (human and prosperity approach). Sebagai sesama anak bangsa, mereka yang selama ini terlibat gerakan separatisme harus dirangkul dan diajak duduk bersama serta membangun suatu komunikasi positif dari hati ke hati sehingga tercipta kembali rasa saling percaya (trust building), rukun, aman, dan damai dalam negeri nusantara tercinta. Kebijakan otonomi khusus (otsus) bagi Papua adalah solusi yang bijaksana, tepat, dan bermartabat. Masalahnya, pelaksanaan selama satu dasawarsa terakhir ini belum sepenuhnya memberikan hasil menggembirakan. Perlu pemikiran yang lebih jernih dan rasional untuk mengurai permasalahan krusial, struktural, dan sistemis dalam kerangka pemberlakuan otonomi khusus tersebut. Mengenai pelaksanaan UU Otonomi Khusus, dapat dijelaskan hal-hal lain sebagai berikut. Pertama, masih banyak komponen bangsa yang dalam lingkup lokal (Papua) ataupun nasional (Indonesia) belum memahami secara benar hakikat otsus Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai persepsi, penafsiran dan bahkan kebijakan yang keliru dari berbagai pihak (elite politik, praktisi, akademisi, ataupun masyarakat awam) terhadap substansi UU Otonomi Khusus. Termasuk adanya sejumlah kebijakan pemerintah selama pemberlakuan otsus yang justru kontradiktif. Kedua, masih lemahnya kualitas dan kuantitas elemen hukum bagi pelaksanaan UU Otonomi Khusus sebagai landasan taktis dan teknis dalam implementasi kebijakan otsus Papua. Selama 10 implementasi kebijakan otsus, perangkat hukum lemah dalam pelaksanaan bentuk Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) dan Perdasus (Peraturan Daerah Khusus), dan ternyata tidak ada agenda penyusunan, penetapan atau evaluasi Perdasi dan Perdasus. Padahal, UU Otonomi Khusus Papua mengamanatkan perlunya dilakukan pembuatan sejumlah Perdasi dan Perdasus. Ketiga, masih adanya institusi yang pembentukannya telah diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus Papua ternyata belum dibentuk, misalnya pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, peradilan adat, partai politik lokal, dan sebagainya. Keempat, masih banyaknya pihak yang memiliki tafsir berbeda sesuai kepentingan masing-masing tentang peran dan posisi MRP (Majelis Rakyat Papua). Ada sejumlah permasalahan mendasar yang menuntut perhatian khusus dan serius dalam proses pembangunan Papua ke depan, antara lain, pertama, masih rendahnya partisipasi, pemberdayaan, dan kemandirian masyarakat asli Papua. Kedua, masih terjadinya diskriminasi, marginalisasi, dan berbagai stigma negatif, terutama terhadap penduduk asli Papua. Ketiga, lemahnya pelembagaan, penegakan, dan kepastian hukum serta masih rendahnya penghormatan terhadap HAM, lemahnya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) serta masih terjadinya instabilitas ketertiban dan keamanan. Keempat, manajemen pemerintahan yang belum efektif dan efisien. Birokrasi pemerintahan yang belum profesional dan masih sarat dengan KKN.
Kelima, masih rendahnya mutu dan
kualitas kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar
seperti pangan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kemiskinan yang tinggi
(masih jauh dari sejahtera), serta masih rendahnya tingkat pendidikan dan
kesehatan.
Keenam, masih lebarnya ketimpangan pembangunan sektoral dan wilayah (daerah) sehingga pelaksanaan pembangunan dan hasilnya belum dapat dinikmati secara adil dan merata. Ketujuh, kegamangan masyarakat asli Papua dalam menghadapi masa depan, karena tidak adanya komitmen dan keberpihakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta dunia usaha dalam menyejahterakan mereka. Tanpa makna Kehadiran negara (NKRI) dalam kehidupan berbangsa bagi orang asli Papua bukan sekadar hadir saja, melainkan lebih dari itu, yaitu harus memberi makna bagi rakyat Papua. Thoby Mutis (2008) mengatakan, “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.“ Berarti negara (NKRI) itu hidup dan karena negara itu hidup, selalu mau belajar untuk merespons perubahan. Kegagalan negara melalui rezim pemerintahan yang berkuasa menjadikan publik kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, lebih khusus rakyat Papua.
Akibatnya, ikatan sejarah yang
menjadi dasar berdirinya negeri nusantara tidak memadai lagi, malah
sebaliknya terjadi perlawanan dan masyarakat tidak percaya kepada pemerintah.
Pendekatan kepada rakyat Papua bukan dengan security approach. Gagasan dialog damai dalam mencari solusi bagi kerangka Papua tanah damai merupakan suatu conditio sine-quanon (prasyarat) sejalan dengan apa yang telah dilakukan Pemerintah di Aceh sehingga rakyat Papua dapat membangun negerinya dalam keadaan aman, damai, adil, dan demokratis serta penghormatan terhadap HAM dalam bingkai NKRI. Mudah-mudahan dengan pemerintahan yang baru setelah Pemilu 2014 dan terpilihnya seorang pemimpin bangsa yang amanah diharapkan terciptanya perubahan di Tanah Damai Papua. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar