Mukjizat
dari Masa Lalu
Toeti Prahas Adhitama ;
Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Mei 2014
BERIRINGAN dengan gawe Pemilihan Umum 2014, ada tiga
peringatan nasional penting dalam agenda, yakni peringatan hari Kartini
tanggal 21 April, peringatan Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) tanggal 22
Mei, dan Hari Sumpah Pemuda tanggal 22 Oktober. Tiga-tiganya mengingatkan kita
bahwa pada masa yang lalu pernah ada pemikir-pemikir yang dengan tulus secara
intens berusaha mewujudkan aspirasi memajukan dan memperjuangkan masa depan
bangsa: Demi kepentingan bangsa.
Tersebutlah perempuan muda
Kartini (1879-1904) dengan cita-cita luar biasa untuk menjadi pelopor
kebangkitan perempuan pribumi (Indonesia). Kemampuannya berbahasa Belanda
memungkinkan dia banyak membaca penerbitan Eropa, yang berangsur membuatnya
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
meningkatkan status perempuan pribumi yang waktu itu tergolong rendah. Selain
mulai membuka lembaga pendidikan sederhana untuk perempuan, dia juga banyak
berkorespondensi dengan kenalan-kenalannya di Eropa dan menulis sejumlah buku
tentang perempuan pribumi. Terungkaplah situasi kehidupan perempuan pribumi
di mata dunia. Kartini meninggal pada usia muda, 25 tahun, pada 1904. Hari
lahirnya, 21 April, sekarang diperingati secara nasional sebagai Hari
Kartini.
Kebangkitan pergerakan nasional
Indonesia sebenarnya diawali dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam pada 1905
di Solo, yang berkembang menjadi organisasi pergerakan pada 1906 dengan nama
Sarekat Islam. Benih-benih kebangkitan nasional yang belum pernah dirasakan
di zaman Belanda mulai muncul dengan semangat persatuan dan kesatuan untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa
penting lain, yakni berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan Sumpah Pemuda
(28 Oktober 1928). Tanggal berdirinya Boedi Oetomo dijadikan peringatan
nasional: Hari Kebangkitan Nasional.
Lebih dari satu abad telah
berlalu sejak saat-saat yang mencatat tumbuhnya spirit kebersamaan sebagai
suatu masyarakat bangsa. Spirit murni `demi kepentingan bangsa' selama
perjalanan satu abad banyak dipengaruhi perkembangan zaman yang mencuatkan
berbagai kepentingan. Maka bila akhir-akhir ini ada wacana `demi kepentingan
bangsa', timbul pertanyaan, apakah spirit ungkapan itu semurni seabad yang
lalu?
Persiapan menanti satria piningit
Pada peringatan Sumpah Pemuda Oktober
nanti, kita sudah akan memiliki RI-1 dan wakilnya. Rakyat tentunya
mengharapkan, mereka tokoh-tokoh yang mampu membawa mukjizat bagi bangsa ini.
Sementara ini, tokoh-tokoh yang maju atau dimajukan sebagai capres/cawapres
mudah-mudahan sadar apa yang diharapkan dari mereka untuk membangun masa
depan bangsa ini. Bahwa sekarang terjadi hiruk-pikuk antarkita atau
antarpartai untuk menjaring pasangan pemimpin tertinggi negeri ini, rasanya
wajar. Yang tidak wajar bila mereka menitipkan kepentingan kelompok atau
golongan untuk gawe besar ini.
Idealnya, menjelang pemilihan
RI-1 dan wakilnya pada Juli nanti, sudah mulai diwacanakan Indonesia seperti
apa yang akan kita bangun di masa depan. Berdasarkan pola dan agenda yang
kita bentuk, baru akan kita tentukan tokoh atau pasangan tokoh mana yang
mampu dan cocok memimpin negara ini, sesuai tujuan; dari partai politik atau
kelompok mana pun mereka. Akan tetapi, yang tampaknya sedang terjadi
sekarang, kita lebih sibuk merekayasa situasi koalisi demi ke pentingan partai
politik masingmasing. Berbagai tokoh pilihan subjekif mereka tawarkan atau
menawarkan diri. Unsur `demi kepentingan bangsa' terkesan diabaikan.
Dalam menghadapi situasi
serbakompleks sekarang ini, rakyat secara alamiah menunjukkan kecemasan.
Mereka menunggu dan kebanyakan tinggal diam. Namun, pemilihan legislatif yang
brutal baru-baru ini mencerminkan kecemasan mereka. Bahkan sebagian orang
bijaksana pun menyimpulkan, kita sedang menuju bencana. Akan tetapi, sejarah
tidak selalu berjalan sesuai ramalan atas dasar penalaran. Kecemasan yang
berlebihan sama naifnya dengan keyakinan bahwa masa depan pasti akan membawa
perbaikan. Apakah mungkin itu bisa dilakukan tanpa perencanaan yang cermat
dan bernalar?
Mengangankan pemimpin ideal
Sejarawan Inggris Arnold Toynbee
(1889-1975) pernah menyatakan, memegang kepemimpinan demokratis lebih rumit
dan sulit daripada kepemimpinan diktatorial dan karismastik. Kepemimpinan
yang disebut terakhir dipatuhi, sebagian karena paksaan dan sebagian karena
emosi yang tidak rasional. Adapun dalam suatu negara demokrasi, pemimpin
harus mendapatkan kerja sama rakyatnya dengan cara meyakinkan mereka secara
rasional bahwa kebijakan politik yang diusulkannya dapat dibenarkan. Untuk
itu, sang pemimpin harus berdialog dengan rakyatnya dengan kadar emosi
rendah.
Jika menginginkan demokrasi yang
ideal, yang dibutuhkan bukan pemimpin yang pandai mengelabui rakyat dengan
pencitraan, yang pandai menggerakkan emosi dan prasangka demi kepentingan
pribadi, melainkan pemimpin yang secara etis ataupun intelektual mempunyai
kemantapan sehingga rakyatnya bersedia mengikuti kepemimpinannya bukan karena
merasa terpaksa atau karena emosi.
Menurut Toynbee, pemimpin ideal
seperti itu memang sulit dijumpai. Kalaupun ada, dia mungkin enggan mengambil
tanggung jawab sulit itu, yang belum tentu mendapat rasa terima kasih yang
dipimpinnya. Toynbee selanjutnya menyatakan, sejauh penga lamannya,
pemimpin-pemimpin yang bisa mendekati peranan seperti itu di dunia baru ada
tiga: Roosevelt, Churchill, dan Nehru.
Namun, ia mengakui,
pemimpin-pemimpin itu berhasil karena kepemimpinan mereka berlangsung ketika
negara dalam keadaan krisis sehingga rakyat mau menerima keadaan yang berat
dan memberikan pengorbanan. Dalam hal Winston Churchill, dengan sikap
kepahlawanannya dia menyelamatkan Inggris dari mimpi buruk Perang Dunia II. Tetapi
setelah perang usai, dan rakyat tidak menganggapnya pemimpin yang tepat untuk
tugas pembangunan, dengan sikap perwira Churchill menyerahkan kekuasaan
politiknya kepada tokoh lain.
Sejarah tidak kurang memberikan
contoh tentang spirit kepemimpinan di masa revolusi kita sendiri ataupun yang
dialami masyarakat luar. Kita bisa mencari inspirasi dan berguru dari sejarah
masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar