Minggu, 04 Mei 2014

Alienasi Rakyat dan Wakilnya

Alienasi Rakyat dan Wakilnya

Danang Probotanoyo  ;   Peneliti Centre for Indonesia Reform Studies UGM
SINAR HARAPAN,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Partisipasi politik rakyat dalam kadar minimal sudah ditunaikan pada 9 April. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak kurang dari 185 juta rakyat Indonesia– dari total 235 juta populasi–tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Namun, berdasarkan hasil survei penghitungan cepat yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Cyrus Network, tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilihan legislatif (pileg) hanya 75,3 persen, yang tidak memilih atau golput 24,7 persen.

Memang, tidak semua dari 24,7 persen itu akibat alasan “ideologis” sehingga tak menggunakan hak pilihnya. Halangan teknis tak jarang turut menyumbang angka golput.

Seseorang bisa saja tidak terdaftar dalam DPT, lantas malas mengurusnya atau tak punya cukup waktu untuk itu. Di luar kendala teknis, angka golput yang mencapai 24,7 persen cukup merisaukan.

Itu merupakan angka golput tertinggi dalam sejarah pemilihan umum (pemilu) di Indonesia sejak pertama kali dilaksanakan pada 1955!

Meski secara ideal, tindakan golput mencerminkan minimnya sikap partisipatif dan tanggung jawab terhadap nasib bangsa lima tahun ke depan. Namun, tak serta-merta pilihan untuk tidak memilih bisa dipersalahkan.

Tindakan menggolputkan diri berangkat dari rasa kecewa yang kronis terhadap tingkah laku para pemimpin dan elite-elite politik yang selama ini kerap berbuat tak pantas. Jagad perpolitikan Tanah Air sangat diwarnai polutan demokrasi dalam wujud perilaku korupsi elite politik yang duduk di berbagai lembaga negara, serta lembaga perwakilan rakyat.

Selain korupsi, para wakil rakyat belum mampu menunjukkan etos kerja dan kinerja seperti yang diharapkan. Ini tercermin dari rendahnya daftar presensi kehadiran di sidang dan rapat-rapat. Kalau toh hadir di ruang sidang, tak jarang waktunya dihabiskan untuk tidur. Ujungnya, produktivitas para wakil rakyat terkait fungsi legislasi masih amat rendah.

Sebagai gambaran, dari target 76 rancangan undang-undang (RUU) dalam Prolegnas 2013, sepanjang masa sidang I tahun 2013-2014, hanya 15 RUU yang berhasil mereka sahkan. Sementara itu, pada masa sidang II, DPR baru membahas 33 RUU.

Celakanya, itu pun baru tahap pembicaran tingkat pertama. Selain menyeruaknya kasus korupsi serta rendahnya etos kerja dan kinerja wakil rakyat, publik kerap dibuat jengah dengan aksi foya-foya uang negara di kalangan wakil rakyat. Meski banyak pihak kerap menyuarakan tak efektifnya “budaya” kunjungan kerja dan studi banding ke luar negeri, nyatanya komisi- komisi di DPR tetap bergeming.

Nah, gambaran buruk wakil rakyat dan elite politik tadi telah “mendapat hukuman” dalam Pemilu 9 April. Wujudnya tercermin dengan tingginya angka golput. Sebagian masyarakat merasa “lelah” menyaksikan segala anomali para wakil rakyat di berbagai tingkatan. Rasa “lelah” itu lantas bertransformasi dalam wujud apatisme, tidak peduli dan ketiadaan kepercayaan lagi.

Selama ini, rakyat merasa hanya alat demokrasi semata, dengan kedudukan sebagai “donatur” suara di tempat pemungutan suara (TPS). Seusai rakyat memberikan suaranya, para “resipien” suara justru tak peka dengan yang dimaui rakyat.

Mereka terlampau asyik dengan dunianya: dunia elite! Apatisme sebagian masyarakat dalam wujud golput merupakan kulminasi dari ketidakberartian (meaninglessness), ketidakmenentuan (normlessness), hingga keterasingan (isolation). Rakyat merasa teralienasi secara politik, di tengah permainan politik para elite.

Dalam bahasa Yinger (1973), alienasi politik rakyat merupakan bentuk kehilangan keterhubungan (loss of a relationship) rakyat terhadap para elite politik. Rakyat merasa, segala keluh kesah dan aspirasinya tak terwakili lagi oleh para dewan di parlemen. Jadi, rakyat merasa tidak perlu lagi berpartispasi dalam menentukan arah politik bangsa.

Kendali politik berbangsa dan bernegara sepenuhnya berada di tangan elite yang telah berjarak dengan aspirasi rakyat sehingga rakyat merasa kehilangan kemampuan mengendalikan (loss of control) dalam setiap putusan politik.

Rasa teralienasi rakyat dalam proses dan putusan politik negeri ini harus segera disikapi dengan perubahan perilaku para wakil rakyat yang telah terpilih pada pileg 9 April.

Perubahan perilaku wakil rakyat yang terpilih nantinya, dalam tataran minimal, justru untuk kepentingan para wakil rakyat itu sendiri. Perubahan sikap itu paling tidak bisa menghindarkan para wakil rakyat dari aksi cibiran, cemooh, dan umpatan rakyat yang kerap merasa dibohongi.

Dalam ranah yang lebih konseptual, perubahan perilaku wakil rakyat dan elite politik ke arah yang lebih baik mampu meningkatkan legitimasi semua proses dan produk politik yang dihasilkan.

Rasa teralienasi rakyat secara politik, bila tak tertangani, akan berakibat penarikan diri rakyat (withdrawl) terhadap segala aktivitas politik negara. Kedua, ini menumbuhkan rasa tak percaya secara politik (political trust), pada akhirnya menggerus dukungan keberlanjutan proses politik negara (political support and political sustainability).

Segala anomali wakil rakyat dan elite politik yang lalu hendaknya tak terulang di periode 2014-2019, dan juga periode-periode berikutnya. Perubahan perilaku itu hendaknya diwujudkan dalam beberapa tindakan nyata ke depannya.

Minimal, jangan pernah terlibat kasus korupsi; tingkatkan etos kerja dan kinerja sesuai tugas dan fungsinya; jangan suka mengumbar hobi “pelesiran” ke luar negeri yang minim manfaat dan memakai uang negara; serta integritas pribadi dan keteladanan mesti dirawat. Bila perubahan itu tak kunjung dilakukan, rakyat kembali merasa asing terhadap para wakilnya dan menganggap mereka bak “alien” dari negeri antah berantah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar