Senin, 10 Februari 2014

Rancukan Persoalan dengan Patriotisme

           Rancukan Persoalan dengan Patriotisme          

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Tempo
KOMPAS,  09 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Sejarah adalah milik berbagai bangsa, merefleksikan kejayaan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi kesejahteraan rakyat negara bangsa. Anehnya, di abad globalisasi dengan kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi, sejarah digunakan dalam ”politik penghinaan” atas negara lain, dari persoalan kecil sampai persoalan besar, menyebabkan banyak bangsa yang kehilangan muka.

Tiongkok sebagai negara adidaya baru yang sedang bangkit mengungkit persoalan sejarah imperialisme Jepang terkait pendudukan dan invasi negara ini dalam Perang Dunia II. Jepang menggunakan referensi sejarah sebagai tameng diplomasi dalam pertikaiannya dengan Tiongkok atas klaim tumpang tindih di Kepulauan Senkaku yang disebut Beijing sebagai Diaoyu.

Ketika PM Shinzo Abe merefleksikan pertikaian Jepang-Tiongkok dengan hubungan Jerman-Inggris pra-Perang Dunia I, Beijing menggunakan para duta besarnya di Eropa menulis artikel opini membandingkan PM Abe dengan tokoh jahat Voldemort, tokoh jahat dalam kisah Harry Potter.

Sentakan juga muncul dari Pyongyang yang menuduh PM Abe sebagai ”Hitler Asia” karena gagasan militerisasi Pasukan Bela Diri Jepang dalam konsep ”kontribusi proaktif bagi perdamaian.” Upaya Abe untuk melakukan interpretasi ulang konstitusi pasifis yang sudah berusia hampir 70 tahun, dilihat Korea Utara sebagai seorang ”maniak militer.”

Bahkan, Singapura menggunakan sejarah yang ”dikubur” bersama Indonesia, mempersoalkan penamaan kapal perang terbaru KRI Usman Harun, pahlawan Dwikora anggota Korps Komando Operasi (KKO, sekarang Marinir) Usman Ali dan Harun Said. Negara kota tetangga ini tiba-tiba menjadi sensitif, padahal kedua pahlawan ini dihukum mati gantung tahun 1968 di Singapura setelah diadili karena meledakkan McDonald House yang dianggap sebagai simbol imperialis Inggris.

Di Manila, Presiden Filipina Benigno Aquino III juga menggunakan sejarah pendudukan Nazi Jerman di wilayah Cekoslowakia pra-Perang Dunia II. Beijing berang dan menuduh Aquino negarawan yang tidak bijak membandingkan sejarah Nazi dengan klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan.

Semua ragam eksploitasi sejarah dalam ”politik penghinaan” ini merefleksikan persoalan yang lebih besar dari sekadar pertikaian klaim tumpang tindih kedaulatan atau kehilangan muka karena berbagai tuduhan. Menyulut patriotisme memang sering kali menjadi efektif untuk mengalihkan pokok persoalan warga negara masing-masing, baik itu persoalan sosial dan lingkungan hidup atau masalah Tiongkok mempertahankan eksistensi kekuasaan komunisme.

Pertanyaannya adalah kenapa fakta-fakta internal ini disembunyikan berlindung atas nama nasionalisme? Kejahatan Perang Jepang memang tidak sama dengan kekejaman Nazi Jerman. Di Asia, kekejaman perang memang tidak mudah untuk segera diakui karena persoalan ”kehilangan muka”.

Hidup di tengah kebangkitan Tiongkok memang persoalan sendiri, ketika negara-negara kecil sekitar merasa cemas terancamnya kepentingan nasional masing-masing. Inti rasional klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan di Asia bukan terletak pada hak sejarah, yang menjadi pilar diplomasi Tiongkok.

Ketika Taipei dan Beijing sepakat hidup berdampingan secara damai dan membiarkan persoalan saling klaim legitimasi mewakili Tiongkok dalam status quo, keduanya tumbuh pesat mencapai kesejahteraan rakyat. Nuansa dan tradisi ini dimiliki oleh semua negara bangsa di Asia, tanpa memaksakan isu-isu tertentu bekerja sama menjalin pertumbuhan bagi kesejahteraan, perdamaian, dan stabilitas negara bangsa Asia semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar