Kembalinya
Kebijakan Industrial
A
Prasetyantoko ; Pengajar
Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
24 Februari 2014
KETIKA Amerika Serikat dilanda krisis hebat 2008, Dani Rodrik
dari Universitas Harvard menulis artikel berjudul ”The Return of Industrial Policy”. Rodrik melihat krisis sebagai
momentum kembalinya bandul kebijakan, yang selama ini terlalu bertumpu pada
sektor keuangan, menuju daya saing berbasis sektor industri. Pecahnya
gelembung likuiditas memaksa negara maju melakukan reformasi struktural
membenahi sektor riil, meski tak mudah dan juga belum tentu berhasil.
Kembalinya kebijakan industrial ditandai dengan inovasi dalam
berbagai bidang, salah satunya energi alternatif. Bukan kebetulan,
intensifikasi penggunaan gas batuan serpih (shale gas) sebagai sumber energi di AS terjadi pasca krisis.
Schumpeter benar, saat paling baik melakukan inovasi justru ketika krisis.
Dalam situasi serba sulit, biasanya justru muncul kebijakan bagus.
Schumpeter, pelopor mazhab Austria, sering dijuluki sebagai ”Bapak Inovasi”
dalam ekonomi.
Bagaimana dengan kita? Pasca krisis 1998, kita justru
meninggalkan kebijakan industrial dan masuk pada sektor jasa dan keuangan.
Konteksnya memang sangat berbeda; akar masalah pokok krisis Asia 1998, yang
juga menimpa Indonesia, adalah kebijakan industrial yang dianggap salah.
Proteksi terhadap industri domestik justru melahirkan pelaku usaha kroni yang
tidak kompetitif. Dan karena intervensi pemerintah dianggap merusak, maka
solusinya deregulasi dan liberalisasi. Kebijakan industrial yang identik
dengan intervensi yang protektif ditabukan.
Apakah liberalisasi memecahkan semua masalah? Salah satu
persoalan penting hari ini justru muncul akibat absennya pemerintah dalam
kebijakan ekonomi. Maka, saat ini, kita perlu kembali merumuskan pemulihan
ekonomi dengan menghadirkan kembali kebijakan industrial. Sektor manufaktur
tak lagi menjadi andalan, apalagi industri padat karya. Memang secara umum,
perekonomian akan bergerak dari sektor pertanian, manufaktur, dan kemudian
jasa. Akan tetapi, jika tidak ada landasan kuat dari fase sebelumnya, hanya
akan menghasilkan struktur ekonomi yang rapuh.
Kita telah masuk pada tahap industri tersier tanpa melalui basis
pengembangan sektor primer dan sekunder yang memadai. Pada akhir Orde Baru,
orientasi pembangunan bertumpu pada sektor industri tanpa meninggalkan basis
pertanian yang kuat. Hari ini, pembangunan berorientasi pada sektor jasa
tanpa basis industri yang kokoh.
Pada awal 2008, kontribusi sektor manufaktur terhadap
perekonomian (PDB) sekitar 27 persen, dan pada akhir 2013 menyusut menjadi 25
persen. Selama lima tahun terakhir, sektor pertanian dan manufaktur selalu
tumbuh di bawah 5 persen, sementara sektor transportasi-telekomunikasi dan
keuangan lebih dari 10 persen secara rata-rata. Merosotnya peran industri
manufaktur (deindustrialisasi) memang dialami hampir semua negara seiring
dengan peningkatan pendapatan masyarakatnya. Pertanyaannya, sebagai bangsa
berpenghasilan menengah, sektor apa yang paling banyak menyerap tenaga kerja?
Merosotnya sektor pertanian dan industri tak diiringi dengan perpindahan
konsentrasi tenaga kerja.
Hari ini, ada keluhan dari kaum industrialis: kebijakan
pemerintah tak memihak mereka. Banyak mesin tua masih beroperasi karena akses
kredit peremajaan makin sulit, apalagi ketika sektor tersebut dianggap tak
memiliki masa depan (sunset industry).
Bagaimana bisa bersaing dengan pasar regional ketika sektor industri kita
mesinnya usang, tertekan biaya logistik, perizinan rumit, tekanan upah buruh,
kenaikan tarif listrik industri? Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015,
industri kita tertatih. Apa yang diandalkan? Sektor-sektor berbasis konsumsi
domestik masih tetap akan menarik. Sektor perdagangan (ritel),
hotel-restoran, transportasi-telekomunikasi, dan sektor jasa lainnya masih
akan tumbuh. Sayangnya, sektor tersebut tak menyerap banyak tenaga kerja.
Kondisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), meski tak seburuk
yang kita bayangkan, tetap saja menyimpan kerapuhan struktural yang bersumber
pada absennya kebijakan industrial. Defisit neraca transaksi berjalan
hanyalah simtom persoalan struktural. Dalam sejarahnya, kita selalu mengalami
defisit pada neraca jasa. Sementara neraca barang terlalu mengandalkan
komoditas primer. Sewaktu terjadi ledakan harga komoditas, neraca kita
mengalami surplus, tetapi begitu harga komoditas anjlok, posisi neraca
transaksi berjalan kita langsung defisit. Puncak defisit transaksi berjalan
terjadi pada kuartal II-2013 sebesar 9,9 miliar dollar AS (4,4 persen dari
PDB).
Meski mitigasi kebijakan fiskal-moneter berhasil, tetap saja tak
menyelesaikan masalah. Dan memang kebijakan fiskal-moneter saja tak akan cukup
mengatasi problem struktural. Jika neraca jasa terus defisit, tentu
harapannya pada neraca barang. Dan jika ekspor tak bisa dinaikkan,
satu-satunya cara adalah menekan impor. Padahal, struktur impor kita lebih
dari 90 persen merupakan barang modal dan bahan baku. Jika impor melambat,
industri juga akan terkena dampaknya. Apa yang seharusnya dilakukan?
Secara bertahap defisit neraca jasa harus dikurangi dan
kebutuhan impor bahan baku ditekan, sambil meningkatkan ekspor nonmigas kita.
Neraca jasa paling besar adalah jasa pengapalan dan asuransi ekspor. Semakin
besar ekspor, defisit neraca jasa makin lebar. Ketergantungan pada jasa
pengapalan dan asuransi asing harus dikurangi. Sementara, industri penghasil
bahan baku dan barang modal harus segera dibangun. Instrumen fiskal, seperti
pengurangan pajak, bisa diterapkan guna mengakselerasi, dan daya saing produk
nonmigas harus ditingkatkan perlahan tapi pasti.
Sama sekali bukan pekerjaan mudah yang akan berhasil dengan
cepat, tetapi tetap diperlukan rancangan besar kebijakan industrial yang
merumuskan keterkaitan pembangunan antarsektor secara komprehensif. Itulah
salah satu agenda pokok pemerintah dalam lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar