Senin, 10 Februari 2014

Mencari “Setangkai Daun Surga” di Tengah “Gurun”

        Mencari “Setangkai Daun Surga” di Tengah “Gurun”

Anton Kurnia  ;   Cerpenis, Esais, Penerjemah, dan Editor
KOMPAS,  09 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Kita selalu membutuhkan cerita untuk menyemangati hidup kita. Terkadang, kita memerlukan sebuah kisah untuk meneguhkan diri kita bahwa pengorbanan akan berujung pada kebahagiaan dan kebaikan benar-benar akan menang melawan kejahatan. Dan saya percaya, cerita yang baik akan tetap melekat dalam ingatan dan hati kita walau itu dibaca berpuluh tahun lampau. Itu senada dengan kata-kata Fyodor Dostoyevsky dalam novelKaramazov Bersaudara, ”Pendidikan terbaik dalam hidup kita, bisa jadi, adalah satu kenangan yang tertinggal dari masa kecil.”

Saat membaca kumpulan puisi Goenawan Mohamad, Gandari (2013), saya tertambat pada dua puisi yang mengingatkan saya pada sebuah cerita lama. Dalam bait pertama puisi ”Daun” (2012) yang ngungun, Goenawan menulis:  Dengan konyol aku ceritakan/bagian penutup Setangkai Daun Surga:/Syahdan, di malam ke-7 yang dingin/(itu yang kuingat dari buku Cor Bruijn)/setelah derak gurun,/setelah badai bertahun-tahun/tangkai terakhir itu dianugerahkan./Dan daun itu jadi hijau,/dan daun jadi/engkau. Sementara pada bait terakhir puisi ”U” (2012) yang bernuansa kelabu, ia menulis: Di antara asap mobil yang lewat, benda itu berkilau./Seperti setangkai daun surga.

Saya lalu membuka lagi buku lawas pengarang Belanda Cor Bruijn (1883-1978) yang disadur A Dt Madjoindo (1896-1970), Setangkai Daun Surga (1972) dan dicetak dalam ejaan lama. Di bagian akhir cerita itu, Abdullah memaafkan saudara angkatnya, Umar, yang telah menyebabkan istri dan pamannya dibunuh. Di gurun tandus itu ia bahkan memberikan bekal minuman terakhirnya untuk menolong Umar yang tersiksa dahaga dan membiarkan kudanya dibawa lari Umar demi menyelamatkan diri, sementara badai gurun yang ganas akhirnya menjadi pengantar ajal Abdullah.

Namun, sebelum maut tiba, Abdullah melihat sesosok (di buku itu ditulis ”seorang”) malaikat yang menyodorkan kepadanya setangkai daun bercahaya. Meskipun daun itu kecil, ”tjahajanja menerangi alam”. Begitulah, malaikat menunggunya ”di pintu djannah” dengan setangkai daun surga yang ”gilang-gemilang”. Itulah karunia Tuhan yang sebesar-besarnya, yang hanya dapat diperoleh manusia dengan ”hati jang putih bersih”. Itulah ganjaran dari Tuhan pembalas kebajikan Abdullah yang dengan ikhlas telah menolong nyawa seorang musuh, ”sehingga njawanja sendiri dikurbankannja”.

Daun surga ini tak ada hubungannya dengan ganja yang belum lama ini dilegalkan penggunaannya di Uruguay dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. Namun, inilah daun intan, yang terakhir dari keempat daun surga yang diperoleh Abdullah sepanjang hayat melalui perbuatan-perbuatan baiknya: daun tembaga setelah ia menggali sumur di gurun tandus untuk sumber kebutuhan orang-orang sekampungnya, daun perak setelah ia menyelamatkan seorang budak perempuan buruk rupa dari sekapan penyamun yang mengira budak itu majikannya yang jelita, daun emas setelah ia menolong dan memaafkan kepala penyamun bernama Kara Chitan (dalam bahasa Turki berarti ’Setan Hitam’) yang justru hendak membunuhnya.

Cerita yang menyemai harapan

Sebenarnya, saya membaca cerita itu pertama kali bukan dari buku Bruijn yang baru saya beli dua tahun silam di sebuah lapak buku bekas, melainkan lewat komik karya Taguan Hardjo, juga berjudul Setangkai Daun Surga (edisi yang diperbarui, 1992), yang disadur dari ”Het Klaverblad Van Vieren” dalam buku De Wereld In, terjemahan bahasa Belanda oleh J van Witzenburg atas karya pujangga Perancis, Edouard de Laboulaye, dan digubah berdasarkan sebuah dongeng Arab. Di dalam sejarah, Laboulaye (1811-1883) ini lebih dikenal sebagai penggagas dibangunnya patung Liberty di New York sebagai hadiah dari rakyat Perancis pada 1865.

Taguan Hardjo (1935-2010), yang dilahirkan di Suriname dari pasangan Indonesia-Belanda, dikenang sebagai salah satu komikus terpenting kita. Pada periode 1958-1964 yang dikenal sebagai zamannya ”Komik Medan” dalam sejarah komik Indonesia, Taguan menjadi salah satu tokohnya bersama Zam Nuldyn (penggubah komik Luana, si Tarzan betina), Tino Sidin (kelak dikenal sebagai pembawa acara Gemar Menggambar di TVRI), dan Iwan Gayo (yang kemudian lebih dikenal sebagai penyusun Buku Pintar).

Taguan menonjol baik dalam produktivitas, teknik penggarapan, keseriusan melakukan riset, ataupun pengolahan cerita. Seperti dinyatakan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Itu Baik: Koran Medan, serta Cinta Jakarta” (Kompas, 1980), Taguan membuktikan bahwa ”komik tak bisa dipandang enteng” dan bukan sekadar ”sampah khayalan untuk menyibukkan anak-anak dan para pemimpi”. Penguasaan arsiran tipis-lembut dan keterampilan menggambar anatomi serta plot-plot ceritanya yang tak mudah dilupakan membuat karya-karyanya abadi dan menjadi klasik dalam jagat perkomikan nasional.

Dalam wawancara dengan Arswendo pula, yang kemudian diungkap dalam ”Taguan Hardjo, Raja yang Menyongket Pesan” (Kompas, 1979), Taguan yang pernah menerjemahkan novel legendaris Multatuli, Max Havelaar, dari bahasa Belanda sebelum HB Jassin melakukannya itu menegaskan konsep kreatifnya, ”Titik tolak dalam membuat komik adalah menyampaikan pesan. Tanpa itu tak bisa. Pesan itu disongket sedemikian rupa supaya sampai.... Cerita saya bertolak dari mendengarkan pengalaman, membaca, yang kemudian saya reka-reka sendiri.”

Setangkai Daun Surga yang dipublikasikan pertama kali pada 1959 dalam bentuk komik strip di harian Siong Po, Medan, misalnya, tak hanya ditampilkan dalam gambar-gambar indah, penuh nuansa, dan tertata rapi, tapi juga menyiratkan pesan moral yang dalam. Dan layaknya sebuah cerita yang baik, komik itu mengandung impian dan harapan.

Namun, pada zaman kiwari, apakah karya yang digarap dengan telaten itu sungguh-sungguh ada gunanya?

Melalui Setangkai Daun Surga yang terus membekas di dalam kepala dan hati, sebagai pembaca cerita saya diteguhkan untuk tetap percaya dan terus menyemai harapan bahwa di tengah karut-marut yang merundung hidup kita dalam bermuamalat, berkesenian, dan bernegara, di antara riuh pasar dan kecamuk politik di tengah ”gurun” yang tandus akan ketulusan ini, nun di sana masih ada orang-orang mulia seperti Abdullah yang rela berkorban untuk kebaikan orang banyak—bukan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dan pada akhirnya, keikhlasan beramal itu akan membawa kita mendapatkan ”setangkai daun surga” sebagai ”tiket” menuju masa depan bersama yang lebih baik—katakanlah itu sebuah masyarakat beradab berasaskan kesetaraan tanpa penindasan, kemiskinan, kebodohan, kejumudan, dan pertikaian konyol.

Seperti kata sebuah pepatah Jerman, ”Mann kan alles verlieren, nur die hoffnung nicht”. Orang boleh kehilangan segalanya, kecuali harapan. Sebab, ”Harapan adalah yang terindah dalam hidup manusia”. Namun, saya tak tahu entah kapan itu semua bakal terwujud. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar