Senin, 24 Februari 2014

Memaknai Bencana

Memaknai Bencana

 Achmad Firdaus  ;   Pengurus International Student Society
National University of Singapore
REPUBLIKA,  22 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Indonesia kini telah menyandang status sebagai negeri siaga bencana. Tentu, masih sangat segar dalam ingatan setiap orang, banjir ban dang yang menyeret dan menenggelamkan ratusan rumah penduduk di Manado, Sulawesi Utara, yang menyebabkan puluhan ribu jiwa harus mengungsi dan 19 orang meninggal dunia.

Begitu pula, dengan bencana banjir `tahunan' di Ibu Kota Jakarta yang me - maksa lebih 30 ribu orang harus mengungsi dan telah menelan sedikitnya tujuh korban jiwa. Dan terakhir, warga di Kabupaten Kediri, Malang, Blitar, dan sekitarnya harus berlarian menyelamatkan diri di tengah bencana yang menimpa akibat letusan Gunung Kelud.

Bencana Gunung Kelud ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Jawa Timur, tapi hujan abu vulkanis juga mengguyur Yogyakarta, Jawa Tengah, bahkan sampai Jawa Barat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 205 bencana terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama awal 2014 yang mengakibatkan 182 nyawa melayang.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa bencana begitu banyak yang datang silih berganti melanda negeri ini? Apakah bencana tersebut terjadi karena faktor alam atau ada faktor lain?

Peristiwa tidak menyenangkan yang melanda negeri ini, seperti banjir, gempa bumi, dan tanah longsor, tentunya tidak terjadi begitu saja, tetapi memiliki banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Jika para ahli atau ilmuwan mengatakan bahwa rentetan bencana adalah sebuah fenomena natural yang memiliki sebab-sebab material, pada saat yang sama sebagai orang yang percaya akan kekuasaan Sang Pencipta tentu harus meyakini bahwa hal tersebut merupakan ketetapan Allah yang diturunkan kepada umat manusia sebagai ujian atau peringatan.

Tentu, tidak ada kontradiksi di dalamnya karena setiap fenomena yang terjadi di alam semesta ini, baik melalui sebab-sebab material maupun yang lainnya, tidak terlepas dari iradah dan ketetapan Allah yang menyampaikan kehendak-Nya berdasarkan hukum sebab-akibat. Dengan demikian, setiap orang harus memahami makna dan probabilitas terjadinya rentetan bencana tersebut, apakah bencana tersebut merupakan `pesan' yang bermakna ujian atau peringatan?

Dengan demikian, setiap orang dapat memetik hikmah di balik bencana yang melanda dan mampu memahami sesuatu yang ingin disampaikan oleh Sang Penguasa Alam semesta kepada umat manusia. Misalnya, Allah akan mengingatkan manusia yang kurang bersyukur, menyadarkan manusia dari kelalaian, dan juga sebagai peringatan bagi orang-orang yang melampaui batas atau bisa jadi sebagai ujian penguat keimanan.

Bencana sebagai ujian

Disadari atau tidak, bencana yang menimpa seseorang bisa bermakna sebagai tanda kecintaan Allah pada seorang hamba. Karena itu, semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka ujian (musibah) yang menimpanya akan semakin berat. Rasulullah telah menyebutkan dalam hadisnya: "Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya kokoh, maka diperberatlah ujiannya. Jika agamanya lemah, maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya. Ujian itu senantiasa menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun." (HR Ahmad)

Jika membuka kembali lembaran-lembaran sejarah para nabi dan rasul, mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan ujian atau musibah yang jauh lebih `dahsyat' jika dibanding dengan bencana yang menimpa umat manusia pada zaman kini. Namun, dengan musibah yang mereka hadapi, justru akan semakin memantapkan keimanannya kepada Allah. Mereka pun sabar dan tabah menghadapi segala bentuk musibah dan memaknainya sebagai ujian penguat keimanan untuk mengangkat derajatnya di hadapan Allah.

Bencana sebagai peringatan

Bencana alam yang melanda berbagai tempat di muka bumi ini mungkin saja memiliki makna untuk membangunkan manusia dari tidur lelapnya. Misalnya, kelalaian yang menenggelamkannya dalam kenikmatan duniawi sehingga lupa akan tanggung jawab di hadapan Allah. Atau keserakahannya mengambil keuntungan dengan merusak sumber daya alam sehingga dapat memicu reaksi alam dan merespons perlakuan tangan-tangan jahil manusia.

Kelalaian dan kekhilafan tersebut dapat mengundang datangnya musibah atau bencana yang diturunkan oleh Allah. Dengan demikian, bencana yang datang kepadanya akan menjadi peringatan akan kelalaian, dosa, dan kesalahannya sehingga mereka dapat kembali mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan hal tersebut: "Dan sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar, mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar." (QS as-Sajdah: 21)

Jadi, selain sebagai ujian keimanan, bencana alam yang marak terjadi saat ini mungkin saja sebagai peringatan Allah kepada umat manusia yang lalai agar kembali pada kebenaran. Oleh karena itu, di tengah beragam bencana yang melanda negeri ini, coba bertanya dengan jujur pada diri sendiri, bagaimana tingkat keimanan kita kepada Allah dan perlakuan kita terhadap alam?

Apabila kita termasuk orang yang lalai dan sering berbuat kerusakan, jawaban atas bencana yang menimpa adalah peringatan atas kesalahan dan kelalaian selama ini. Namun, jika kita termasuk hamba-Nya yang taat, segala musibah atau bencana merupakan ujian menuju tingkat keimanan yang lebih tinggi.
Semoga kita mampu memaknai `pesan\'dari setiap bencana yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar