Rancukan Persoalan dengan
Patriotisme
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Tempo
|
KOMPAS,
09 Februari 2014
Sejarah adalah
milik berbagai bangsa, merefleksikan kejayaan masa lalu untuk membangun masa
depan yang lebih baik bagi kesejahteraan rakyat negara bangsa. Anehnya, di
abad globalisasi dengan kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi,
sejarah digunakan dalam ”politik penghinaan” atas negara lain, dari persoalan
kecil sampai persoalan besar, menyebabkan banyak bangsa yang kehilangan muka.
Tiongkok
sebagai negara adidaya baru yang sedang bangkit mengungkit persoalan sejarah
imperialisme Jepang terkait pendudukan dan invasi negara ini dalam Perang
Dunia II. Jepang menggunakan referensi sejarah sebagai tameng diplomasi dalam
pertikaiannya dengan Tiongkok atas klaim tumpang tindih di Kepulauan Senkaku
yang disebut Beijing sebagai Diaoyu.
Ketika PM
Shinzo Abe merefleksikan pertikaian Jepang-Tiongkok dengan hubungan Jerman-Inggris
pra-Perang Dunia I, Beijing menggunakan para duta besarnya di Eropa menulis
artikel opini membandingkan PM Abe dengan tokoh jahat Voldemort, tokoh jahat
dalam kisah Harry Potter.
Sentakan juga
muncul dari Pyongyang yang menuduh PM Abe sebagai ”Hitler Asia” karena
gagasan militerisasi Pasukan Bela Diri Jepang dalam konsep ”kontribusi
proaktif bagi perdamaian.” Upaya Abe untuk melakukan interpretasi ulang
konstitusi pasifis yang sudah berusia hampir 70 tahun, dilihat Korea Utara
sebagai seorang ”maniak militer.”
Bahkan,
Singapura menggunakan sejarah yang ”dikubur” bersama Indonesia, mempersoalkan
penamaan kapal perang terbaru KRI Usman Harun, pahlawan Dwikora anggota Korps
Komando Operasi (KKO, sekarang Marinir) Usman Ali dan Harun Said. Negara kota
tetangga ini tiba-tiba menjadi sensitif, padahal kedua pahlawan ini dihukum
mati gantung tahun 1968 di Singapura setelah diadili karena meledakkan
McDonald House yang dianggap sebagai simbol imperialis Inggris.
Di Manila,
Presiden Filipina Benigno Aquino III juga menggunakan sejarah pendudukan Nazi
Jerman di wilayah Cekoslowakia pra-Perang Dunia II. Beijing berang dan
menuduh Aquino negarawan yang tidak bijak membandingkan sejarah Nazi dengan
klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan.
Semua ragam
eksploitasi sejarah dalam ”politik penghinaan” ini merefleksikan persoalan
yang lebih besar dari sekadar pertikaian klaim tumpang tindih kedaulatan atau
kehilangan muka karena berbagai tuduhan. Menyulut patriotisme memang sering
kali menjadi efektif untuk mengalihkan pokok persoalan warga negara
masing-masing, baik itu persoalan sosial dan lingkungan hidup atau masalah
Tiongkok mempertahankan eksistensi kekuasaan komunisme.
Pertanyaannya
adalah kenapa fakta-fakta internal ini disembunyikan berlindung atas nama nasionalisme?
Kejahatan Perang Jepang memang tidak sama dengan kekejaman Nazi Jerman. Di
Asia, kekejaman perang memang tidak mudah untuk segera diakui karena
persoalan ”kehilangan muka”.
Hidup di
tengah kebangkitan Tiongkok memang persoalan sendiri, ketika negara-negara
kecil sekitar merasa cemas terancamnya kepentingan nasional masing-masing.
Inti rasional klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan di Asia bukan terletak
pada hak sejarah, yang menjadi pilar diplomasi Tiongkok.
Ketika Taipei
dan Beijing sepakat hidup berdampingan secara damai dan membiarkan persoalan
saling klaim legitimasi mewakili Tiongkok dalam status quo, keduanya tumbuh pesat
mencapai kesejahteraan rakyat. Nuansa dan tradisi ini dimiliki oleh semua
negara bangsa di Asia, tanpa memaksakan isu-isu tertentu bekerja sama
menjalin pertumbuhan bagi kesejahteraan, perdamaian, dan stabilitas negara
bangsa Asia semuanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar