Lawyer
Tua tanpa Pesona
Mohamad
Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2014
Perjuangan demokrasi, keadilan, dan penegakan hukum sudah
dirintis sejak zaman Orde Baru. Di bawah pemerintahan otoriter dengan
tentaranya yang bengis perjuangan itu tidak mudah.
Pada zaman itu siapa bicara demokrasi langsung dibungkam karena
dianggap tidak sejalan dengan garis ketentuan pemerintah. Siapa menuntut
keadilan disikat di tempat. Atau hilang dan tak pernah ditemukan kembali.
Siapa bicara penegakan hukum dia diancam pistol yang siap meletus. Inilah
pemerintahan paling efektif di dalam sepanjang sejarah politik kita. Tidak
ada pemerintahan sebelum dan sesudahnya yang bisa seefektif itu.
Kita—maksudnya pemerintah— ibaratnya ”cekat-ceket”, gesit,
cekatan, tidak banyak omong, ”rame ing gawe” bekerja dengan baik, utamakan
kerja, lupakan upah, dan pamrihpamrih lain. Bekerja untuk bangsa tak boleh
mengharapkan upah atau disertai pamrih. ”Untuk perintah?” ”Ya, kadang disebut
untuk negara. Bahkan sering disebut untuk bangsa dan negara” ”Siapa
pemerintah itu?” ”Pemerintah yapemerintah” ”Itu konsep dasarnya.
Di lapangan, orang sering bersikap korup, menggunakan nama
pemerintah, padahal dia sengaja menyimpang. Apa yang disebut untuk
‘pemerintah’, demi ‘pemerintah’ sering pelaksanaannya untuk kepentingan
swasta. Kata swasta di sini sangat sering hanya mewakili segelintir orang
kaya yang dekat dengan siapa saja, kaum sipil, maupun militer yang berkuasa.
Apa yang disebut untuk pemerintah itu ternyata bukan untuk pemerintah sama
sekali. Arti segelintir orang di situ bisa anak pejabat tinggi. Boleh anak
pejabat sipil.
Boleh anak pejabat militer dan boleh saja untuk sahabat para
pejabat tinggi yang berkuasa tadi. Siapa berani tampil ke depan untuk melawan
tingkah laku korup seperti ini pasti dimusuhi. Segenap langkahnya dipersulit.
Gerak-geriknya diawasi ketat oleh intelijen negara. Apa yang diucapkannya
dicatat dengan baik dan utuh untuk dilaporkan atasan. Siapa berani menyoroti
tingkah laku itu dari segi demokrasi atau keadilan dia pasti dibabat. Risiko
berat selalu menghadang para pejuang tadi.
Tokoh yang melawan di bidang hukum dan di pengadilan berani
bersikap blak-blakan, apa adanya, dia dituduh melakukan suatu ”contempt of
court” yaitu menghina pengadilan atau melecehkan tata tertib pengadilan.
Padahal di pengadilan tidak ada barang disebut ”tata” dan tidak ada pula
”tertib” jika keduanya atau gabungan keduanya dihubungkan dengan keadilan.
Pada zaman itu apa yang pernah adil?
Tapi, para tokoh hukum yang mentereng luar dalamnya seperti Yap
Thiam Hien, Bismar Siregar, dan Baharuddin Lopa tak pernah mengenal takut.
Kalau ketiganya masih ada sekarang, mereka akan tetap pemberani, mentereng,
punya harga diri yang mengagumkan dan akan berdiri di panggung besar dunia
hukum untuk berteriak pada para lawyer, para hakim dan para jaksa, agar tetap
gigih dalam perjuangan menegakkan hukum, demokrasi, dan keadilan.
Tiga tokoh itu pasti akan menilai kita dengan cermat adakah kita
masih tetap di garis perjuangan itu ataukah kita diamdiam melacur dan merusak
kehidupan hukum, keadilan, dan demokrasi. Saya kira asyik kalau mereka masih
ada dan muncul bersama-sama di suatu sidang pengadilan. Menangani suatu kasus
berat dan besar. Misalnya kasus orang terpenting dan anak istrinya mereka
pasti tak gentar. Pak Yap sebagai lawyer, Pak Bismar sebagai hakim, Pak Loppa
sebagai jaksa. Dunia hukum dan keadilan pasti geger. Mereka itu ibaratnya
seperti malaikat, tak doyan suap, tak butuh duit kotor seperti itu, dan tak
butuh tampil bermewah-mewah.
Tampil seadanya, apa salahnya, asal tak punya jiwa pelacur dalam
dirinya? Mereka tak butuh tabungan dalam jumlah besar karena hanya pencoleng
yang bisa menumpuk duit, melalui kerja sungguhan, di bidang penegakan hukum,
keadilan, dan demokrasi. Mereka bukan hanya memiliki etika, melainkan wujud
etika itu sendiri. Tiga-tiganya pasti menangis jejeritan melihat sikap dan
cara kerja generasi penerus mereka masing-masing yang begitu kacau balau. Pak
Yap akan marah sekali melihat lawyer yang gigih membela semua koruptor besar.
Secara mencolok sekali, memang ada tokoh hukum, lawyer, yang
tangkas, ”cekat-ceket”, cekatan, membela koruptor yang duitnya sangat besar.
Tiap muncul koruptor besar dia muncul sebagai pembela. Posisi seniornya
dipakai untuk mencap sana sini tidak benar dan seolah hanya dia yang membela
koruptor besar itu yang paling benar. Sekarang ini kebenaran tidak ada. Di
masyarakat orang tak tertarik sama sekali bicara kebenaran. Di dunia politik
kebenaran dibalik-balik semau politisi.
Sekarang kaum rohaniwan pun jarang bicara kebenaran karena
mungkin mereka malu pada diri sendiri. Kebenaran di dalam citarasa para
lawyer? Mereka membela seorang yang diadili, bukankah hanya meyakinkan bahwa
keadilan diterapkan pada kliennya secara tepat? Bukankah dia membela klien
agar dia tak diperlakukan semena-mena dan dia telah mendapatkan perlakuan adil?
Bukankah itu filosofi dasar perjuangan hukum, keadilan dan demokrasi para
lawyer? Tapi, mengapa lawyer sering melebihi porsi itu? Mengapa mereka
menggelapkan kebenaran, demokrasi, dan keadilan dengan membela matimatian
orang yang salah agar tidak dianggap salah?
Dengan porsi pembelaan seperti itu, apakah pembela koruptor tak
dengan sendirinya juga menjadi koruptor yang tanpa tedeng aling-aling
diketahui publik, tapi tidak malu, bahkan kelihatan merasa bangga akan
dirinya? Tidak ada dilema etis yang mengusik hati nuraninya? Pak Yap, jangan
bertanya tentang etika, sesuatu yang tidak ada lagi di zaman ini, tak begitu
lama sesudah Pak Yap pergi. Mereka ahli hukum yang tahu pasti etika tak punya
kekuatan apa pun.
Dia bukan hukum. Melanggar etika tidak masalah, kecuali bagi
orang yang memang punya keluhuran. Membela koruptor, menjadi sejenis koruptor
pula, itu bukan penilaian hukum, dan dia tidak bisa dihukum dengan aturan
hukum kita. Orang hanya akan berkata, ”ngrasani” mengejek, melecehkan, di
belakang. Tak mungkin dia dituntut secara hukum. Jadi, tidurlah dia dengan
nyenyak. Pejuang demokrasi tak harus hidup demokratis. Pejuang kebenaran apa
salahnya melupakan kebenaran?
Pejuang keadilan tak harus adil. Dia bahkan boleh
mengoyak-ngoyak keadilan itu asal honornya luar biasa besar. Jadi, Pak Yap,
kelihatannya dia tak peduli sama sekali. Pak Yap boleh marah. Boleh menangis
dengan air mata darah, tak peduli. Pak Yap boleh resah di kuburan sana, dia
tak peduli. Bagaimana dia mau peduli pada Pak Yap kalau pada dirinya sendiri
dia sudah tak peduli? Membela koruptor besar bukan suatu cela.
Dia tak peduli apa kata orang. Risiko apa pun dia tak peduli.
Menjadi lawyer tua, tak dihormati orang, dan kehilangan pesona? Ya, sebagai
lawyer tua, tanpa pesona, apa dia bisa terima? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar