Antara
Kritik dan Fitnah
Mohammad Ichlas El Qudsi ; Anggota Fraksi PAN DPR RI
|
REPUBLIKA,
21 Februari 2014
Beberapa waktu lalu, Republika17/2/2014 memuat tulisan Joko
Riyanto, Kritik Dibalas Somasi. Tulisan yang menyorot langkah hukum Presiden
SBY terhadap para pengkritiknya mela lui kuasa hukum yang ditunjuknya. Dengan
merujuk pada tiga kasus yang disomasi oleh kuasa hukum Presiden SBY dan adanya
jaminan kritik dalam konstitusi, Joko Riyanto berkesimpulan bahwa SBY alergi
terhadap kritik. Pembaca tentu punya perspektif yang beragam terhadap langkah
hukum Presiden SBY.
Tulisan ini tidak bermaksud membedah tiga kasus yang diangkat
dalam artikel Joko Riyanto, karena selain debatable,
juga saat ini sedang dalam proses "penyelesaian". Karena itu,
tulisan ini akan lebih melihat dari sisi filosofis kritik, sehingga kebebasan
yang berkembang dalam demokrasi kita bisa lebih produktif, bukan destruktif.
Semantik
"kritik"
Kata kritik banyak ditemukan dalam literatur ilmu sastra. Kritik
digunakan oleh ahli linguistik untuk menelaah sebuah karya sastra. Kritik,
menurut para ahli sastra, bersumber dari bahasa Yunani, yakni krites yang
berarti hakim. Dalam kamus bahasa Indonesia kritik diartikan sebagai kecaman
atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Dalam politik praktis, kritik disamakan dengan komentar atau
diskusi tentang kebijakan, perilaku (politisi) atau pemerintahan, termasuk
tentang partai politik. Komentar berarti tanggapan atas suatu kebijakan yang
diambil oleh pemerintah, sekutu, atau lawan politik, termasuk juga terkait
fenomena yang ada dalam masyarakat. Suatu komentar lahir dari kegiatan yang
(akan atau sedang atau sudah) dilakukan. Komentar tidak hadir sendiri tanpa
didahului suatu peristiwa yang menyertainya. Hal yang sama dengan kritik,
hadir karena adanya hajatan atau ungkapan yang hendak dikomentari.
Realisasi dari kritik banyak terlihat dalam panggung politik
praktis, meskipun kajian-kajian akademis sudah memasukkannya dalam literatur
berbagai bidang ilmu, namun politik praktis paling menonjol dalam menggunakan
kritik. Politik praktis menjadikan kritik setidaknya dalam dua hal. Pertama,
sebagai cara untuk menemukan solusi bagi suatu perbaikan dan untuk mengevaluasi
sekaligus menyempurnakan program-program yang dikerjakan pemerintah. Kedua,
untuk mengoreksi perilaku politik yang tidak lazim (melanggar norma dan
hukum), termasuk memperbaiki kinerja dan sistem partai politik.
Demokrasi; kawah kontrol
Demokrasi menampung kritik dan berbagai bentuk ketidakpuasan
lainnya sebagai instrumen penopang keterbukaan. Demokrasi menjamin semua
pihak dapat menyampaikan pendapatnya, bahkan kritik difasilitasi dengan
aturan sebagai tameng bagi para penyampai kritik. Semakin tinggi intensitas
kritik, pertanda adanya kepedulian, kepekaan, dan partisipasi. Sistem
demokrasi juga mewadahi kritik sebagai pola interaksi dan cara bergaul di
antara sesama pelaku politik (politisi), karena itu kritik tidak bisa
dilarang.
Yang menjadi masalah adalah kritik sering berwujud gunjingan
atau cibiran yang tujuannya merendahkan martabat seseorang atau pemerintah
tanpa tawaran solusi yang jelas. Kritik tidak lagi berperan sebagai
katalisator perbaikan, tapi berfungsi sebagai alat reduksi bagi kerja-kerja
positif yang diperlihatkan pemerintah. Kritik dijadikan amunisi untuk
menyerang lawan politik tanpa melihat prestasi-prestasi yang diraih. Makna
kritik menjadi bias. Istilah asal beda, asal bunyi, dan asal bicara ada lah
contoh kritik yang melenceng.
Celakanya, sumber informasi (argumentasi) dari kritik yang
disampaikan adalah gosip yang asal-usulnya tidak jelas. Keburukan dibesarkan
dan kebaikan disembunyikan, padahal memberi hormat atas prestasi seseorang
(pemerintah)
juga merupakan kritik, setidaknya agar kebaikan itu lebih
ditingkatkan. Mencibir, menggunjing, dan kritik bukan sinonim tapi antonim.
Mencibir sama dengan mengejek, mencemooh, dan menistakan. Sedangkan
menggunjing berarti mengumpat dan memfitnah. Kritik membekali diri dengan
bukti, sedangkan mencibir, menggunjing, dan memfitnah berdasar kabar berita
yang samar dan tidak jelas. Karena itu, suatu komentar atau pendapat yang
tidak didasari fakta bukanlah kritik, melainkan fitnah yang dapat dijerat
dengan pasal pencemaran.
Perilaku santun bukan berarti sikap lunak dan takluk pada
kebijakan pemerintah atau patuh pada tawaran partai politik. Santun dalam
politik praktis bermakna kritik dengan fakta dan memberi cara alternatif
untuk menyelesaikan masalah.
Seorang politisi cerdas selalu membekali diri dengan pengetahuan
tentang suatu masalah, informasi yang diterima tidak akan diumbar sebanyak
yang diketahuinya. Hal ini dimaksudkan sebagai siasat untuk melihat reaksi
terhadap pernyataan (kritik) yang diutarakan. Inilah yang membedakannya
dengan pengamat (analis) politik; mengetahui sedikit informasi, tapi bisa
dianalisis dalam ribuan kalimat.
Politik adalah sarana mencapai kekuasaan dengan tujuan membentuk
kebijakan yang menyejahterakan, karena itu politik menata tata cara berinteraksi,
agar tumbuh penghormatan dan saling menghargai di antara sesama politisi.
Oleh sebagian ahli politik, penggunaan cara-cara "kotor"
diperbolehkan untuk meraih kekuasaan, tapi sebagian besarnya menentang dan
menolak. Sebab, penggunaan strategi-taktik "busuk" hanya akan
merugikan rakyat.
Sejarah politik Indonesia membuktikan bahwa membungkam hanya
menghasilkan generasi semu dan protes (perlawanan) terhadap otoritarian akan
selalu muncul. Untuk itulah negara-negara demokratis memagari diri dengan
menegakkan aturan sebagai payung dalam berpolitik praktis. Demokrasi tidak
mem benarkan fitnah, meskipun demokrasi menjunjung keterbukaan dan kebebasan.
Perbedaan pendapat dihargai, tapi seorang politisi yang menyampaikan pendapat
dengan muatan fitnah tidak dilindungi, bahkan agama menyebut dengan kalimat
yang tegas, "fitnah lebih kejam
dari pembunuhan". Hindari fitnah dan sampaikanlah kritik agar kualitas
demokrasi meningkat. Konsitusi hanya menjamin kritik, bukan fitnah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar