Sales
Politic Girl
Umbu
TW Pariangu ; Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana
Kupang
|
JAWA
POS, 23 Februari 2014
PADA 2014 sebuah gelaran pasar akbar lima tahunan yang menyita
perhatian ratusan juta warga akan dihelat. Pasar itu dibuka di seluruh tanah
air dan diikuti warga yang telah memenuhi persyaratan. Ia disebut sebagai
pasar politik, pemilihan umum. Di tempat itulah rakyat akan bertransaksi,
membeli kepemimpinan wakil-wakil rakyatnya dengan hak politik yang
dimilikinya. Sepertinya rakyat sangat senang dan antusias karena mereka akan
dimanjakan dengan "produk-produk mewah" partai politik yang
berwujud figur calon anggota legislatif (caleg).
Strategi Unik
Belakangan ada strategi unik yang dipakai caleg untuk
memperkenalkan diri kepada masyarakat, yakni menggunakan jasa sales promotion girl (SPG). Para SPG
itu menyambangi rakyat dari rumah ke rumah sambil membagikan kartu nama caleg
maupun alat peraga kampanye. Untuk jasa menyampaikan visi-misi caleg, SPG
cantik tersebut diganjar dengan bayaran Rp 500.000 per hari oleh caleg yang
bersangkutan sebagaimana pengakuan seorang caleg dari Padangsidempuan (Sindo,
14/2).
Menurut dia, SPG memiliki riwayat kemampuan yang terlatih dalam
memasarkan produk kepada pembeli sehingga sangat membantu caleg
mengomunikasikan maksud dan gagasannya kepada konstituen. Tentu saja
kelebihan bahasa tubuh dan penampilan yang menarik menjadi unique selling point.
Menurut Poerwadarminta (1987:198), sales promotion girl adalah profesi yang digeluti wanita yang
memiliki karakter fisik menarik untuk memasarkan atau mempromosikan suatu
produk demi menarik perhatian konsumen. Penggunaan tenaga SPG dapat dilakukan
berdasar jenis produk yang dipromosikan dengan mempertimbangkan kesesuaian
antara produk yang dipromosikan dan kualifikasi SPG yang akan menentukan
ketertarikan konsumen terhadap produk yang dipromosikan (Carter, 1999:37).
Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa SPG merupakan
"instrumen hidup" dalam strategi pemasaran untuk mencapai laba
sekaligus menaikkan citra perusahaan. Wanita juga memiliki kemampuan
komunikasi interpersonal yang menggugah dan memengaruhi kecenderungan serta
sikap calon konsumen untuk menentukan pilihan.
Namun, akan menjadi distortif jika fungsi SPG dialihkan untuk
mempromosikan kepentingan politik, khususnya para caleg. Bagaimanapun, para
caleg bukanlah produk mati. Mereka adalah produk politik yang memiliki sikap,
orientasi, dan kemampuan untuk mengemban fungsi-fungsi politik. Karena produk
politik, caleg mestinya memiliki keahlian dasar mengomunikasikan gagasannya
sendiri kepada rakyat tanpa perantara untuk beropini sekaligus meyakinkan
rakyat. Itu sesuai dengan nama parlemen yang berasal dari bahasa Prancis,
parle yang berarti berbicara. Menyuarakan kepentingan rakyat terkait dengan
masalah-masalah yang dihadapi publik untuk dibahas serta dicarikan solusi.
Seorang caleg harus memiliki kemampuan beretorika, yang -dalam
tradisi kaum sofis di Yunani kuno- menjadi basis legitimasi kemampuan seorang
wakil rakyat. Retorika tidak sebatas mengutarakan gagasan dengan bahasa yang
indah, tetapi juga memuat nilai substansi dan kebenaran di dalam praktik.
Menurut filsuf Socrates, tanpa kemampuan retorika yang dimiliki seorang
pemimpin atau wakil rakyat, dia akan sulit mendapatkan apa yang disebut
sebagai kebenaran. Karena itu, tidak heran jika pemimpin di zaman retorika
Yunani selalu mewariskan kumpulan naskah-naskah pidato di akhir
kepemimpinannya.
Sampah
Kini fungsi bicara dan retoris tidak lagi menjadi prasyarat
mutlak kepantasan caleg atau politisi di parlemen. Kalaupun dimiliki, ia
sekejap menjadi residu perdebatan politik yang dicampakkan dalam tong-tong
sampah etika dan moral. Bukan lagi sebagai atribut yang melahirkan daya tarik
rasa (taste magnitude) bagi rakyat
karena gagasan dan visi cemerlang. Fungsi tersebut telah diambil alih oleh
iklan, poster, imaji, gesture, dan gaya komunikasi politisi dalam kemasan hiperrealitas
yang lihai menyembunyikan fakta sesungguhnya.
Para caleg tak ubahnya produk jualan yang sikap dan perilakunya
direkayasa menurut "selera industri" agar menjadi sosok yang
santun, ramah, jujur, dan berwibawa sesuai dengan proyeksi masyarakat untuk
kemudian ditempelkan ke wajah caleg. Maka, tak ada lagi perbedaan antara
caleg bekas koruptor dan caleg bersih. Semuanya lebur dalam kekencangan
libido menjual kesalehan dan popularitas sebagai politisi baik dengan
menggandeng sales politic girl.
Fenomena SPG dalam pasar politik pemilu semakin melestarikan apa
yang disebut sebagai era restyling of politics atau perubahan gaya politik (Corner dan Pels, 2003) yang
mengintegrasikan peranti nilai jual politik dalam wadah mudah karat, politik
kemasan dan padat modal, bukan politik otentik dan sarat mutu. Untuk caleg
yang lekat dengan wanita cantik, sudah pasti mudah dibaca seperti apa selera
dan gaya hidupnya.
Sangat disayangkan, dalam ritual politik bernapas demokrasi
seperti saat ini, rakyat justru dihadapkan pada deretan etalase yang berisi
caleg atau politisi doyan gincu alias tidak percaya diri pada kemampuan
masing-masing, yang membuat mereka terempas dari komunitas beradab (homo homini socius). Moga-moga rakyat
semakin cerdas dan awas membeli produk politik agar tidak pulang memikul
kucing dalam karung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar