Refleksi
Tiga Tahun UU Desa
Sri Palupi ; Peneliti Institute for Ecosoc Rights
|
KOMPAS,
14 Februari
2018
Undang-Undang
Desa saja tak cukup untuk membela desa karena kurangnya daya. Ini salah satu
kesimpulan dari refleksi tiga tahun pelaksanaan UU Desa yang diselenggarakan
Panitia Bersama Organisasi Masyarakat Sipil bersama 150 delegasi desa dari
sejumlah daerah pada 24-25 Januari lalu.
Refleksi
dimaksudkan untuk membaca kembali UU Desa dalam konteks tantangan yang
dihadapi desa kini dan ke depan. Ada banyak catatan reflektif atas UU Desa
dan pelaksanaannya. Tiga di antaranya penting untuk digarisbawahi. Pertama,
pelaksanaan UU Desa sarat distorsi. Kedua, meskipun sudah lahir undang-undang
desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan
desa. Ketiga, UU Desa saja tak cukup untuk membela desa.
Sarat distorsi
Dengan
disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dapat pengakuan hak
otonominya dalam sistem pemerintahan nasional. Desa bukan lagi obyek bagi
proyek-proyek pembangunan, melainkan subyek pembangunan yang mandiri. Dengan
itu, kehadiran UU Desa diharapkan dapat membawa perubahan bagi desa, yang
selama ini banyak dilucuti hak-haknya. Dengan dilaksanakannya UU Desa, desa
diharapkan makin berdaulat, pembangunannya kian partisipatif dan sistem
ekonomi-politiknya makin demokratis.
Hasil
refleksi menunjukkan, pelaksanaan UU Desa sarat distorsi. Mandat UU Desa tak
sepenuhnya dijalankan.
Ini
tampak dari kebijakan dan program pemerintah yang condong memperlemah posisi
desa. Pelemahan ini bisa dinilai, di antaranya dari reduksi pemahaman
terhadap UU Desa, kuatnya intervensi pemerintah pusat dan daerah dalam
menentukan program pembangunan, miskinnya program pemberdayaan masyarakat dan
program yang memperkuat karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat
desa, pelemahan dan pereduksian pendampingan terhadap desa, dan diabaikannya
dimensi sosial-ekologis.
Sejak
awal UU Desa dipahami hanya sebatas dana desa sehingga pelaksanaannya
terperosok pada urusan birokratisasi dana desa. Sementara realisasi pengakuan
hak asal-usul hilang dari wacana. Hak desa atas dana desa sudah diberikan,
tetapi hak desa atas kewenangan yang dimandatkan UU Desa belum sepenuhnya diwujudkan.
Pemerintah
pusat mengatur secara ketat penggunaan dana desa dengan pengawasan yang
melibatkan banyak lembaga tanpa disertai penguatan literasi masyarakat desa.
Sementara pemerintah kabupaten begitu kuat melakukan intervensi atas
pencairan dan penggunaan dana desa. Dampaknya, desa-desa terjebak dalam
urusan administratif dan mengabaikan demokrasi dan partisipasi warganya.
Desa-desa juga dikondisikan tunduk pada kehendak kabupaten, melakukan ”suap”
pada pihak kabupaten demi kelancaran pencairan dana desa, dan rela dijadikan
alat penguasa daerah untuk mendapatkan kekuasaan dalam politik pilkada.
Padahal, UU Desa memandatkan pemerintah daerah berperan sebagai pendamping,
bukan ”bos” bagi desa.
Miskinnya
program pemberdayaan dan penguatan karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif
masyarakat desa bisa dinilai dari proporsi penggunaan dana desa, di mana
lebih dari 80 persen untuk pembangunan infrastruktur. Sementara untuk
pemberdayaan masyarakat hanya 7,8 persen, pemenuhan kebutuhan dasar 5,53 persen,
pengembangan potensi ekonomi lokal 2,55 persen, pembinaan kemasyarakatan 1,05
persen. Dengan alokasi seperti ini, tak heran jika peningkatan secara
signifikan kucuran dana desa tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di
perdesaan secara signifikan.
Kurang daya
Betapapun
telah lahir UU Desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan
memperlakukan desa. Desa tetap dilihat dan diperlakukan sebagai subsistem
dari kota dan bukan ruang hidup dengan corak kehidupan perdesaan yang
memiliki logika reproduksi dan regenerasinya sendiri. Cara pandang ini
membawa konsekuensi serius bagi desa.
Status
desa condong menjadi sekadar ”ruang hidup sementara”, yang sewaktu-waktu bisa
dibongkar, digusur, dan bahkan dihapuskan ketika negara atau korporasi membutuhkannya
untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif demi peningkatan
pendapatan. Indikasinya, desa-desa penuh dengan izin investasi pertambangan,
perkebunan sawit, properti, atau izin eksploitatif lainnya. Desa menjadi area
perebutan sumber daya alam dan arena konflik agraria.
Area
desa bisa dengan mudah berpindah menjadi area konsesi korporasi atau lokus
proyek strategis pemerintah, sementara warganya tak berdaya ketika dipaksa
melepaskan hak mereka atas lahan dan ruang kehidupannya.
Desa-desa
di lingkar industri pertambangan dan perkebunan sawit, misalnya, kebanyakan
warganya kehilangan lahan dan berubah status dari petani mandiri menjadi
buruh. Ada desa yang keberadaannya dihapuskan karena areanya dikuasai
korporasi atau menjadi lokus proyek strategis pemerintah. Bahkan desa-desa
yang lahan pertaniannya sudah bersertifikat sekalipun, warganya bisa dengan
mudah kehilangan haknya. Juga ada banyak desa yang kehilangan sebagian atau
seluruh ruang hidupnya karena pemerintah secara sewenang-wenang menetapkan
wilayah desa sebagai kawasan hutan. Padahal, warga sudah tinggal di desanya
jauh sebelum republik ini berdiri. Ada lebih dari 30.000 desa yang berada di
kawasan hutan tanpa akses atas sumber daya agraria.
Dalam
konteks posisi desa sebagai subsistem kota, UU Desa saja tak cukup untuk
membela desa. Memang ada banyak peluang positif dalam UU Desa, tetapi peluang
ini kurang daya berhadapan dengan ancaman kekuatan oligarki ekonomi-politik
yang destruktif. Selain itu, UU Desa pada dirinya juga mengandung kelemahan.
Salah satunya adalah ketentuan yang ada dalam UU Desa tidak cukup memberikan
perlindungan bagi warga kebanyakan dari kesewenangan elite desa.
UU
Desa memberikan kuasa begitu besar pada kepala desa, tetapi tak menyediakan
instrumen memadai bagi warga dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk
melakukan kontrol. Akibatnya, pelaksanaan UU Desa di tingkat desa rentan
penyelewengan oleh kepala desa dan para pembantunya.
Dengan
mempertimbangkan berbagai faktor di atas, refleksi atas UU Desa dan
pelaksanaannya sampai pada kesimpulan, untuk memperkuat pembelaan terhadap
desa, UU Desa harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan UU lain yang
memberikan perlindungan dan keadilan bagi desa, di antaranya UU Pokok
Agraria, UU Penataan Ruang, UU tentang Perlindungan Lahan Pangan
Berkelanjutan, UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Lingkungan
Hidup dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan
Petambak Garam.
Akhir
kata, sudah lama republik ini melakukan kekerasan pada desa. Karena itu,
penting bahwa pelaksanaan UU Desa dilandasi oleh semangat pemulihan hak dan
”tindakan afirmatif” bagi desa dengan sepenuhnya mewujudkan kewenangan desa
atas ruang kehidupannya, pemulihan ruang hidup bagi desa-desa yang mengalami
kerusakan ekologis dan menghentikan distorsi dalam pelaksanaan UU Desa.
Dengan cara inilah kita membayar utang kita kepada desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar