Kamis, 01 Februari 2018

Mencari Negarawan

Mencari Negarawan
Denny Indrayana ;  Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Melbourne Law School, dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia
                                                     KOMPAS, 01 Februari 2018



                                                           
Siapakah ”negarawan”? Secara hukum, tidak ada aturan yang mendefinisikannya. Meskipun muncul sebagai syarat hakim konstitusi dalam Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945, tidak diatur apakah yang dimaksud dengan negarawan tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negarawan adalah seseorang yang ”ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksaanaan dan kewibawaan”.

Saya mendefinisikan negarawan adalah pemimpin negeri yang selalu mengedepankan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok tertentu. Karena itu, seorang negarawan yang berkontestasi menjadi pemimpin tidak punya ambisi pribadi meraih kekuasaan, apalagi kekayaan semata, tetapi betul-betul sebagai sarana pengabdian untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.

Seorang negarawan yang ikut dalam kontestasi pemilu tak akan menggunakan cara-cara yang tidak beretika, apalagi koruptif. Negarawan tak akan menggunakan kampanye hitam, mengedepankan isu SARA yang memecah belah, apalagi menggunakan strategi jual-beli suara, atau politik uang. Bahwasanya pemilu kita masih sarat berita hoaks bernuansa diskriminatif dan politik uang, itu mengindikasikan bahwa bangsa ini masih kekurangan calon pemimpin berkualifikasi negarawan. Dalam kasus korupsi, terjeratnya menteri negara, pemimpin parpol, ketua DPR, ketua DPD, kepala daerah, dan lain-lain adalah indikasi lain kontestasi politik kita masih gagal menjaring negarawan.

Hakim konstitusi negarawan

Yang lebih ironis adalah ketika persoalan korupsi itu menjerat profesi hakim, apalagi hakim konstitusi. UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan ”negarawan” yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi. Tidak ada posisi pemimpin lain yang mendapatkan syarat sedemikian terhormat. Walaupun bukan berarti menjadi presiden ataupun posisi lain tak mensyaratkan negarawan. Namun, khusus untuk hakim konstitusi, syarat itu dipertegas.

Dari sudut pandang hukum tata negara, syarat negarawan bagi hakim konstitusi adalah sudah sewajibnya. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pengawal harkat dan martabat konstitusi, hukum dasar kehidupan bernegara. Apalagi, kewenangan MK mencakup penyelesaian konflik bernegara yang sensitif dan strategis, yaitu menguji konstitusionalitas UU, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil pemilu—termasuk pemilihan presiden, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden layak dimakzulkan (impeachment).

Semua kewenangan MK itu sarat dengan berbagai godaan politik praktis, yang karenanya membutuhkan hakim dengan pribadi negarawan, sosok yang mengedepankan kepeaantingan negara dan bangsa di ataas kepentingan apa pun. Hal itulah yang menyebabkan kami mengusulkan ada syarat jeda tidak menjadi anggota parpol bagi seorang calon hakim konstitusi. Syarat jeda non-parpol itu kami adopsi dari putusan MK sendiri bahwa calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bebas dari keanggotaan parpol selama lima tahun. MK menyatakan hal itu diperlukan untuk menjaga kemandirian KPU.

Dengan argumentasi bahwa independensi hakim konstitusi dalam memutus berbagai kasus politik kenegaraan harus kokoh, termasuk dalam memutus sengketa hasil pemilu, kami mengusulkan syarat jeda nonparpol minimal tujuh tahun. Sayangnya, rumusan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang disetujui DPR menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 justru kemudian dibatalkan oleh MK, dengan alasan diskriminatif. Aneh dan tidak konsisten karena argumentasi tersebut tidak digunakan MK ketika memutuskan syarat jeda nonparpol bagi komisioner KPU.

Jeda nonparpol

Syarat jeda nonparpol bagi hakim konstitusi bukanlah diskriminasi. Apalagi, syarat jeda nonparpol dibatasi hanya untuk tujuh tahun sebelum mencalonkan diri jadi hakim konstitusi, bukan untuk selamanya. Syarat demikian adalah ikhtiar hukum untuk mengeliminiasi kemungkinan terpilihnya hakim konstitusi yang partisan, yang non-negarawan. Bagaimanapun, calon hakim konstitusi berlatar belakang parpol akan lebih rentan terhadap pengaruh kepentingan politik praktis. Meski, bukan berarti calon nonparpol pasti lebih baik.

Saya berpendapat, dibandingkan masa awal berdirinya, hakim konstitusi saat ini lebih rentan dari kepentingan politik praktis. Di era kepemimpinan Jimly Asshiddiqie yang akademisi, MK berhasil membangun kredibilitas dan profesionalitas sebagai lembaga negara terhormat. Di era Moh Mahfud MD yang akademisi dan juga politisi, MK masih relatif bertahan dari godaan politik. MK di bawah Profesor Mahfud beberapa kali menjadi benteng pertahanan antikorupsi yang kokoh guna mencegah pelemahan dan pembubaran KPK oleh para koruptor. Di era kepemimpinan Akil Mochtar, MK terpuruk ke titik nadir karena yang bersangkutan tertangkap tangan KPK.  Kasus korupsi di KPK pula yang menjerat hakim Patrialis Akbar. Sayangnya, kedua hakim yang terjerat kasus korupsi itu adalah politisi.

Tentu perlu ditegaskan bahwa bukan berarti kader parpol pasti korup dan hakim nonparpol pasti lebih bersih. Banyak kader parpol yang profesional dan bersih, sebagaimana tidak sedikit akademisi yang korup dan kotor. Namun, saya tetap berpandangan bahwa kader parpol lebih rentan terhadap kepentingan politik praktis. Maka, saya mengusulkan, syarat jeda nonparpol bagi hakim konstitusi tetap layak dipertimbangkan menjadi bagian dalam perubahan UU MK di masa depan.

Masih terkait menjaga independensi dan imparsialitas hakim konstitusi, ke depan ada baiknya masa jabatan hakim konstitusi tidaklah dua periode, tetapi cukup satu kali dengan rentang waktu lebih panjang. Konsep saat ini, di mana hakim menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali, terbukti rentan dari godaan politik praktis. Hakim konstitusi yang ingin terpilih kembali pada periode kedua cenderung akan menjadi hakim yang ”bermain aman” dan lemah independensinya. Apalagi, waktu seleksi hakim konstitusi yang sering kali beririsan dengan agenda pemilu legislatif DPR dan pilpres menyebabkan proses perekrutan rentan dari kepentingan politik untuk menempatkan hakim konstitusi yang pada saatnya bisa mengamankan kasus sengketa hasil pemilihan DPR dan pilpres.

Negarawan minus etika

Persoalan teranyar yang menjerat Ketua MK Arief Hidayat membuktikan, bahwa untuk terpilih lagi yang bersangkutan kembali melakukan pelanggaran etika karena bertemu secara tidak resmi dengan Komisi Hukum DPR. Pertemuan di forum informal dengan pihak yang terkait perkara demikian sebenarnya adalah pelanggaran serius. Pasal 36 dan 37 UU KPK melarang komisioner, penasihat, dan pegawai KPK ”mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara”. Larangan ini disertai ancaman pidana lima tahun penjara berdasarkan Pasal 65 dan 66 UU KPK.

Bahwasanya pertemuan tak resmi Arief Hidayat dianggap hanya pelanggaran ringan, sangat patut diperdebatkan. Demikian pula, sanksi ringan sebelumnya yang dijatuhkan untuk persoalan katebelece yang beliau terbitkan. Bagaimanapun, memberikan katebelece adalah tindakan kolutif dan tidak sejalan dengan upaya menegaskan MK sebagai lembaga antikorupsi.

Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini: apakah artinya negarawan? Kalaupun tak ada definisi hukumnya, saya yakin negarawan seharusnya tak menerbitkan katebelece yang koruptif. Saya percaya, negarawan bukan berarti boleh bertemu secara tak resmi dengan pihak beperkara, apalagi berkait dengan proses seleksinya menjadi hakim konstitusi. Makna negarawan terlalu mulia untuk direndahkan dengan tindakan-tindakan demikian.

Negarawan sejati adalah orang yang tak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhkan sanksi pelanggaran etika, apalagi dua kali. Negarawan bukan hanya tak akan melanggar hukum, melainkan juga dia akan sangat menjaga etika pribadi, terutama etika bernegara. Sebagaimana Ronald Dworkin menegaskan, ”Moral Principle is the foundation of law”. Etika moral adalah fondasi utama bagi tegaknya bangunan hukum. Tanpa penghormatan terhadap etika, hukum akan runtuh, keadilan akan roboh. Negarawan tanpa etika batal demi hukum kenegarawanannya dan, karenanya, tidak memenuhi syarat jadi hakim konstitusi.

Ini bukan soal pribadi hakim konstitusi. Ini tentang menjaga wibawa institusi MK. Sebelum MK bisa mengawal konstitusi, kita harus pastikan hakim konstitusi betul-betul pribadi yang bisa menjaga harkat, martabat, dan kehormatan sebagai sang negarawan. Kita tak ingin syarat negarawan bagi hakim konstitusi hanya menjadi pajangan. Kita tidak ingin punya negarawan minus etika. Kita tidak rela bangsa ini menjadi negara tanpa negarawan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar