Kontroversi
Jenderal Aktif Jadi Penjabat Gubernur
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI
2004-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Februari 2018
KEINGINAN Mendagri Tjahjo Kumolo untuk
memosisikan Plt (atau penjabat) gubernur dari unsur Polri aktif tampaknya
semakin bergairah. Jika sebelumnya itu direncanakan hanya di dua provinsi,
yakni Jawa Barat (Jabar) dan Sumatra Utara (Sumut), kini wacananya akan
ditambah lagi untuk Papua dan Papua Barat. Bahkan, di dua provinsi terakhir
ini akan ditempatkan juga unsur perwira tinggi TNI aktif. Kehendak politik
ini memperoleh reaksi kritis dari sejumlah kalangan, mulai aktivis demokrasi,
akademisi, sampai politisi. Umumnya mereka tidak setuju jika hal itu
diwujudkan. Pada pokoknya, pemosisian jenderal polisi dan TNI aktif pada
jabatan politik, meskipun bersifat sementara, dianggap sebagai kemunduran
demokrasi, di samping tentu saja menabrak sejumlah aturan perundangan yang
berlaku, termasuk konvensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Mendagri pasti tahu persis ada UU No
10/2016 tentang Pilkada, yaitu pada pasal 201 ayat (1) secara tegas
dinyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat
gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan
gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada juga UU No
2/2002 tentang Polri, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar
kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian
(pasal 38 ayat 3). Demikian juga dalam UU No 34/2004 tentang TNI ditegaskan,
prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau
pensiun dari dinas aktif keprajuritan (pasal 47 ayat 1). Posisi Plt atau
penjabat gubernur merupakan posisi jabatan politik yang bersifat sementara,
yang dalam konvensi atau kebiasaan yang berlaku selama ini (yang juga diatur
dalam Permendagri No. 76/2016) dijabat aparatur sipil negara (ASN) dalam
jabatan eselon I (jabatan pimpinan tinggi utama/IA atau jabatan pimpinan
tinggi madya/IB).
Begitu jelas aturan yang melarang tentang
unsur aparat Polri dan TNI untuk menduduki jabatan di luar lingkungan
instansi mereka, termasuk larangan untuk menduduki jabatan politik. Jika pun
menyetarakan jabatan asal jenderal Polri dan TNI yang hendak diposisikan jadi
Plt atau penjabat gubernur sama dengan jabatan pimpinan tinggi (JPT) di
jabatan birokrasi sipil, harus ada dua tahapan khusus yang mesti dilewati,
yaitu harus mundur dari status sebagai anggota Polri atau TNI. Dan setelah
itu diangkat untuk posisi jabatan ASN tersebut. Ketentuan yang disebut
terakhir ini diatur khusus dalam PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS (pasal
159). Namun, rupa-rupanya kehendak pemosisian jenderal polisi dan atau TNI itu
akan terus saja dipaksakan. Ada tiga isyarat utama untuk itu. Pertama, adanya
kebijakan yang muncul sekonyong-konyong di awal tahun ini, yakni Permendagri
No 1/2018 sebagai revisi dari Permendagri No 76/2016.
Kebijakan baru Mendagri itu sudah membuka
ruang lebar bagi Plt atau penjabat gubernur diisi figur pejabat dari luar
lingkungan Kemendagri, yang tentu saja sudah termasuk untuk para jenderal
itu. Bahkan ada yang sudah ada yang suudzon kalau hal itu sudah by design
disiapkan untuk para jenderal polisi dan atau TNI. Kedua, pernyataan Wapres
Jusuf Kalla (JK) yang tidak mempermasalahkan posisi Plt dan atau penjabat
gubernur dari jendral polisi atau TNI. Sudah karakter JK memang yang suka
berpikir praktis sehingga terkadang tak berpikir lebih jauh tentang aturan-aturan
terkait yang harusnya dipatuhi atau dijadikan rujukan legal. Inilah yang akan
jadi modal utama Mendagri Tjahjo Kumolo untuk terus menjalankan keinginannya.
Sebabnya, sebagaimana biasanya, jika suatu kebijakan bawahan sudah diamini
atau tidak dipersoalkan atasan, itu dianggap sah-sah saja untuk dilanjutkan.
Ketiga, sikap Mendagri Tjahjo Kumolo sendiri yang terkesan ‘pasang badan’
dengan kehendak untuk mengimplementasikan kebijakannya dengan terus
memosisikan figur jenderal asal Polri dan juga TNI pada jabatan Plt atau
penjabat gubernur dalam Pilkada Serentak 2018 (dan juga tentu bisa seterusnya
ke depan). Dengan memperoleh ‘restu’ dari Wapres, Tjahjo Kumolo tentu merasa
aman-aman saja, apalagi jika kelak politisi di Senayan membiarkannya.
Menggiring
Mendagri Tjahjo Kumolo tampaknya mencoba
menggiring opini terkait dengan potensi konflik atau instabilitas sosial
politik di beberapa daerah (provinsi) tertentu dalam Pilkada Serentak 2018
ini. Jawa Barat, Sumatra Utara, Papua, dan Papua Barat dianggap merupakan
daerah rawan konflik sehingga ia merasa perlu menempatkan figur jenderal
polisi atau TNI. Logikanya sederhana, figur jenderal polisi atau TNI aktif
memiliki dua keunggulan untuk bisa mencegah (atau mengatasi) terjadinya
konflik sosial politik lokal karena pengalaman dalam perjalanan tugasnya dan
sekaligus bisa bersinergi dengan aparat polisi dan TNI di daerah. Apalagi ada
preseden yang boleh dikatakan sebagai proyek ‘uji coba’ saat menempatkan
Irjen Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulbar dalam Pilkada 2017,
yang barang kali dianggap berhasil membawa misi kepentingan politik tertentu
tanpa kritik publik yang luas.
Persoalannya, jika kebijakan yang diambil
dan diimplementasikan sudah secara terang-terangan bertentangan dengan aturan
perundangan yang berlaku, sungguh-sungguh itu merupakan pelanggaran terhadap
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dalam konteks ini, justru
pihak pemerintah atau pimpinan negara yang memberikan contoh terbuka
‘melanggar hukum’. Jika ini terus saja dibiarkan, Presiden Joko Widodo tidak
diragukan lagi’melanggar sumpah dan janji’ saat dilantik jadi Presiden, yang
berarti pula pelanggaran UUD 1945. Ini artinya, dari perspektif hukum,
presiden berpotensi untuk di impeach. Tentu kita semua tidak berharap itu
akan terjadi.
Sungguh
ironis
Secara praktis, pemaksaan pemosisian
jenderal polisi atau TNI aktif untuk jadi Plt atau penjabat gubernur bukan
mustahil akan terjadi sebaliknya ketimbang yang diharapkan pemerintah untuk
menciptakan pilkada damai. Soalnya, niscaya akan ada kecurigaan tentang
adanya kepentingan bahwa Plt atau penjabat gubernur memiliki agenda untuk
memaksakan calon pasangan gubernur diusung parpol asal Mendagri dan atau
Presiden. Jajaran keluarga polisi dan atau TNI juga akan terus tergiring
dalam opini negatif sebagai ‘tidak netral’. Jika itu terjadi, potensi konflik
horisontal maupun bernuansa vertikal (utamanya sentimen perlawanan terhadap
aparat Polri dan TNI), akan muncul dan atau bersatu dari dua kekuatan, rakyat
lokal dan kekuatan parpol yang berseberangan dengan penguasa. Ini artinya,
kebijakan itu telah akan memproduksi instabilitas sosial politik lokal.
Sungguh ironis.
Maka, bukankah sebaiknya pemerintah
memperkecil atau meniadakan kebijakan politik yang mudaratnya lebih banyak,
sebaliknya memberikan contoh bagaimana berjalan di atas rel hukum yang benar?
Kita percaya jajaran polisi bisa menciptakan rasa aman bagi rakyat dalam
proses-proses politik, mengantisipasi, dan atau sekaligus mengatasi keamanan
tanpa perlu melanggar peraturan perundangan yang berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar