Kamis, 01 Februari 2018

Kontroversi Jenderal Aktif Jadi Penjabat Gubernur

Kontroversi Jenderal Aktif Jadi Penjabat Gubernur
Laode Ida ;  Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
                                           MEDIA INDONESIA, 01 Februari 2018



                                                           
KEINGINAN Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memosisikan Plt (atau penjabat) gubernur dari unsur Polri aktif tampaknya semakin bergairah. Jika sebelumnya itu direncanakan hanya di dua provinsi, yakni Jawa Barat (Jabar) dan Sumatra Utara (Sumut), kini wacananya akan ditambah lagi untuk Papua dan Papua Barat. Bahkan, di dua provinsi terakhir ini akan ditempatkan juga unsur perwira tinggi TNI aktif. Kehendak politik ini memperoleh reaksi kritis dari sejumlah kalangan, mulai aktivis demokrasi, akademisi, sampai politisi. Umumnya mereka tidak setuju jika hal itu diwujudkan. Pada pokoknya, pemosisian jenderal polisi dan TNI aktif pada jabatan politik, meskipun bersifat sementara, dianggap sebagai kemunduran demokrasi, di samping tentu saja menabrak sejumlah aturan perundangan yang berlaku, termasuk konvensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Mendagri pasti tahu persis ada UU No 10/2016 tentang Pilkada, yaitu pada pasal 201 ayat (1) secara tegas dinyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada juga UU No 2/2002 tentang Polri, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian (pasal 38 ayat 3). Demikian juga dalam UU No 34/2004 tentang TNI ditegaskan, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan (pasal 47 ayat 1). Posisi Plt atau penjabat gubernur merupakan posisi jabatan politik yang bersifat sementara, yang dalam konvensi atau kebiasaan yang berlaku selama ini (yang juga diatur dalam Permendagri No. 76/2016) dijabat aparatur sipil negara (ASN) dalam jabatan eselon I (jabatan pimpinan tinggi utama/IA atau jabatan pimpinan tinggi madya/IB).

Begitu jelas aturan yang melarang tentang unsur aparat Polri dan TNI untuk menduduki jabatan di luar lingkungan instansi mereka, termasuk larangan untuk menduduki jabatan politik. Jika pun menyetarakan jabatan asal jenderal Polri dan TNI yang hendak diposisikan jadi Plt atau penjabat gubernur sama dengan jabatan pimpinan tinggi (JPT) di jabatan birokrasi sipil, harus ada dua tahapan khusus yang mesti dilewati, yaitu harus mundur dari status sebagai anggota Polri atau TNI. Dan setelah itu diangkat untuk posisi jabatan ASN tersebut. Ketentuan yang disebut terakhir ini diatur khusus dalam PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS (pasal 159). Namun, rupa-rupanya kehendak pemosisian jenderal polisi dan atau TNI itu akan terus saja dipaksakan. Ada tiga isyarat utama untuk itu. Pertama, adanya kebijakan yang muncul sekonyong-konyong di awal tahun ini, yakni Permendagri No 1/2018 sebagai revisi dari Permendagri No 76/2016.

Kebijakan baru Mendagri itu sudah membuka ruang lebar bagi Plt atau penjabat gubernur diisi figur pejabat dari luar lingkungan Kemendagri, yang tentu saja sudah termasuk untuk para jenderal itu. Bahkan ada yang sudah ada yang suudzon kalau hal itu sudah by design disiapkan untuk para jenderal polisi dan atau TNI. Kedua, pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang tidak mempermasalahkan posisi Plt dan atau penjabat gubernur dari jendral polisi atau TNI. Sudah karakter JK memang yang suka berpikir praktis sehingga terkadang tak berpikir lebih jauh tentang aturan-aturan terkait yang harusnya dipatuhi atau dijadikan rujukan legal. Inilah yang akan jadi modal utama Mendagri Tjahjo Kumolo untuk terus menjalankan keinginannya. Sebabnya, sebagaimana biasanya, jika suatu kebijakan bawahan sudah diamini atau tidak dipersoalkan atasan, itu dianggap sah-sah saja untuk dilanjutkan. Ketiga, sikap Mendagri Tjahjo Kumolo sendiri yang terkesan ‘pasang badan’ dengan kehendak untuk mengimplementasikan kebijakannya dengan terus memosisikan figur jenderal asal Polri dan juga TNI pada jabatan Plt atau penjabat gubernur dalam Pilkada Serentak 2018 (dan juga tentu bisa seterusnya ke depan). Dengan memperoleh ‘restu’ dari Wapres, Tjahjo Kumolo tentu merasa aman-aman saja, apalagi jika kelak politisi di Senayan membiarkannya.

Menggiring

Mendagri Tjahjo Kumolo tampaknya mencoba menggiring opini terkait dengan potensi konflik atau instabilitas sosial politik di beberapa daerah (provinsi) tertentu dalam Pilkada Serentak 2018 ini. Jawa Barat, Sumatra Utara, Papua, dan Papua Barat dianggap merupakan daerah rawan konflik sehingga ia merasa perlu menempatkan figur jenderal polisi atau TNI. Logikanya sederhana, figur jenderal polisi atau TNI aktif memiliki dua keunggulan untuk bisa mencegah (atau mengatasi) terjadinya konflik sosial politik lokal karena pengalaman dalam perjalanan tugasnya dan sekaligus bisa bersinergi dengan aparat polisi dan TNI di daerah. Apalagi ada preseden yang boleh dikatakan sebagai proyek ‘uji coba’ saat menempatkan Irjen Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulbar dalam Pilkada 2017, yang barang kali dianggap berhasil membawa misi kepentingan politik tertentu tanpa kritik publik yang luas.

Persoalannya, jika kebijakan yang diambil dan diimplementasikan sudah secara terang-terangan bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku, sungguh-sungguh itu merupakan pelanggaran terhadap prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dalam konteks ini, justru pihak pemerintah atau pimpinan negara yang memberikan contoh terbuka ‘melanggar hukum’. Jika ini terus saja dibiarkan, Presiden Joko Widodo tidak diragukan lagi’melanggar sumpah dan janji’ saat dilantik jadi Presiden, yang berarti pula pelanggaran UUD 1945. Ini artinya, dari perspektif hukum, presiden berpotensi untuk di impeach. Tentu kita semua tidak berharap itu akan terjadi.

Sungguh ironis

Secara praktis, pemaksaan pemosisian jenderal polisi atau TNI aktif untuk jadi Plt atau penjabat gubernur bukan mustahil akan terjadi sebaliknya ketimbang yang diharapkan pemerintah untuk menciptakan pilkada damai. Soalnya, niscaya akan ada kecurigaan tentang adanya kepentingan bahwa Plt atau penjabat gubernur memiliki agenda untuk memaksakan calon pasangan gubernur diusung parpol asal Mendagri dan atau Presiden. Jajaran keluarga polisi dan atau TNI juga akan terus tergiring dalam opini negatif sebagai ‘tidak netral’. Jika itu terjadi, potensi konflik horisontal maupun bernuansa vertikal (utamanya sentimen perlawanan terhadap aparat Polri dan TNI), akan muncul dan atau bersatu dari dua kekuatan, rakyat lokal dan kekuatan parpol yang berseberangan dengan penguasa. Ini artinya, kebijakan itu telah akan memproduksi instabilitas sosial politik lokal. Sungguh ironis.

Maka, bukankah sebaiknya pemerintah memperkecil atau meniadakan kebijakan politik yang mudaratnya lebih banyak, sebaliknya memberikan contoh bagaimana berjalan di atas rel hukum yang benar? Kita percaya jajaran polisi bisa menciptakan rasa aman bagi rakyat dalam proses-proses politik, mengantisipasi, dan atau sekaligus mengatasi keamanan tanpa perlu melanggar peraturan perundangan yang berlaku. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar