Masa
Depan Anak-anak "Koko" dan "Tika"
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
|
DETIKNEWS,
01 Februari
2018
Di samping menggugat cerai istrinya (sebutlah
Tika), terpidana penistaan agama --sebut saja Koko-- diberitakan media juga
mengajukan ke majelis hakim permintaan untuk memperoleh hak asuh atas
anak-anaknya. Kilas balik, Koko sebenarnya masih beruntung. Perbuatan pidana
yang ia lakukan tidak berujung pada putusan hakim berupa pencabutan hak asuh.
Permintaan akan hak asuh tergolong
wajar dan hampir selalu diajukan oleh suami dan istri yang bercerai.
Persoalan menjadi menarik dibahas karena Koko berstatus sebagai orang yang
sedang menjalani hukuman penjara. Bagaimana prospeknya untuk memperoleh hak
asuh sebagaimana isi gugatannya? Bagi saya, pertanyaan itu jauh lebih krusial
ketimbang menyoal spekulasi publik tentang adanya motif beraroma konspirasi
ala Thaksin di balik rencana perceraian bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Satu unsur yang dipertimbangkan hakim
setiap kali menyidang perkara perebutan hak asuh adalah seberapa jauh
masing-masing pihak yang bercerai mampu menjadi orangtua yang efektif. Tolok
ukurnya beragam, salah satunya adalah di mana anak akan bertempat tinggal.
Diasumsikan bahwa anak akan bisa diasuh dengan lebih optimal jika bermukim di
tempat tinggal yang kondusif bagi proses tumbuh kembangnya. Dan, ketika hak
asuh diberikan ke salah satu pihak, diasumsikan pula bahwa orangtua tersebut
bermukim di tempat yang sama dengan anaknya.
Syarat tempat tinggal tersebut
tampaknya memosisikan Koko berhadapan dengan kartu mati. Hakim, sebagaimana
awam, hampir bisa dipastikan memandang bahwa penjara sama sekali tidak layak
untuk dihuni oleh anak-anak. Itu karena penjara dianggap sebagai tempat
sampah bagi penjahat yang justru tengah dikucilkan dari masyarakat. Anak,
pada sisi lain, adalah manusia suci yang tidak sepantasnya dicemari oleh
orang di balik jeruji besi, betapa pun orang itu adalah oran tua kandung si
anak sendiri.
Kontra argumen bisa saja disodorkan.
Bahwa ternyata, berdasarkan studi, anak-anak yang dibesarkan oleh orangtuanya
di dalam penjara bisa berkembang secara memadai. Orangtua yang diberikan
kesempatan mengasuh darah dagingnya di dalam penjara juga memiliki tingkat
residivisme lebih rendah daripada narapidana secara umum. Pengasuhan anak
oleh terpidana di dalam penjara ternyata juga memiliki efek rehabilitasi yang
positif.
Masalahnya, praktik yang dilatari oleh
temuan studi di atas selama ini dikenakan kepada anak-anak yang berusia masih
sangat belia. Termasuk anak-anak yang masih mengonsumsi air susu ibu dan
masih amat membutuhkan kesempatan untuk membangun ikatan emosional dengan
tokoh lekat utamanya. Juga, dengan kondisi anak seperti itu, narapidana yang
dikenakan perlakuan sedemikian rupa niscaya berjenis kelamin perempuan.
Hal-hal ini tidak bisa diterapkan terhadap Koko.
Namun karena Koko dikabarkan tidak
dipenjara di lembaga pemasyarakatan umum, bisa saja fasilitas yang selama ini
telah diberikan kepadanya itu dilanjutkan dengan pemberian sarana-prasarana
lebih eksklusif. Yaitu, kelengkapan yang memungkinkan Koko tinggal bersama
anak-anaknya sembari mengasuh mereka. Tentu, ini sebuah gagasan yang
membutuhkan terobosan --berarti nyali-- luar biasa untuk dieksperimenkan.
Hingga di situ, hitung-hitungan
sederhana sampai pada perkiraan bahwa hakim tidak akan memenuhi permintaan
Koko untuk memperoleh hak asuh.
Tinggal satu pertanyaan: Andai istri
Koko, yaitu Tika, juga memperebutkan hak asuh atas kedua anak dari
perkawinannya dengan Koko, akankah majelis hakim mengabulkan permintaan Tika?
Dari sekian banyak putusan hakim,
perselingkuhan bahkan perzinaan salah satu pihak yang bercerai tidak mutlak
membuat hakim menyerahkan hak asuh atas anak-anak ke pihak lain. Kendati
demikian, tak bisa dielakkan, perselingkuhan membuat pelakunya terkesan
sebagai orangtua yang tidak stabil dan tidak bertanggung jawab.
Perselingkuhan, dengan demikian, bisa saja dijadikan acuan berpikir hakim
bahwa kelak jika hak asuh diberikan kepada pelaku, pihak penerima hak asuh
tersebut akan berperilaku tidak bertanggung jawab pula terhadap anak-anaknya.
Demikian pula dari sisi anak, azas yang
harus hakim pertimbangkan adalah kepentingan terbaik anak. Kepentingan (baca:
kebutuhan) anak tidak sebatas kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan moral.
Orangtua seharusnya merupakan mercusuar moral bagi anak. Seberapa legitimate
orangtua yang berselingkuh layak menjadi model ideal tentang moralitas bagi
anak, hakim akan menakarnya.
Terdapat sejumlah alternatif tentang
pihak-pihak yang nantinya bisa majelis hakim putuskan untuk menjadi pemegang
hak asuh atas anak-anak Koko dan Tika. Pertarungan memperebutkan hak asuh
tidak tertutup kemungkinan akan lebih mendidih ketimbang induk permasalahan
yaitu perceraian antara Koko dan Tika. Apalagi karena perceraian konon
dilatarbelakangi oleh perselingkuhan, dan skandal itu dilakukan saat Koko
sedang menjalani masa sebagai pesakitan, efek pengkhianatan berpotensi
memantik permusuhan dan kebencian nan dahsyat antarpihak.
Perceraian, perebutan hak asuh,
berlanjut dengan penutupan akses terhadap mantan pasangan untuk berhubungan
dengan anak. Itulah kasus segitiga maut yang paling banyak diadukan ke
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Seiring meningkatnya kasus-kasus
perceraian, meninggi pula peristiwa penutupan akses.
Berhadapan dengan pengaduan masyarakat
perihal segitiga maut, mediasi antarpihak patut dikedepankan. LPAI berupaya
meyakinkan ayah (mantan suami) dan bunda (mantan istri) bahwa terbukanya
akses bukan hanya kebutuhan mantan pasangan, tetapi juga kebutuhan hakiki
anak. Sepanjang tidak ada alasan pembenaran, orangtua pelaku penutupan akses
akan diperingatkan bahwa tindakannya tersebut tidak bisa dibenarkan.
Ketika langkah mediasi menemui jalan
buntu, dan situasi penutupan akses semakin buruk, sudah selayaknya disusun
rekomendasi bagi penerapan langkah pidana untuk menjebol tembok yang menutup
akses anak-orangtua. Bagi sebagian kalangan, rekomendasi tersebut barangkali
akan dinilai brutal. Tetapi semuanya harus sepakat bahwa, demi kepentingan
terbaik anak, penutupan akses anak-orangtua pada akhirnya harus disikapi
tegas sebagai situasi yang salah. Orangtua yang menutup akses, atas dasar
itu, harus diposisikan sebagai pelaku kekerasan terhadap anak.
Putuskan Sendiri
Dengan penuh empati, saya terutama
membayangkan beratnya kehidupan yang barangkali dilalui Koko suatu saat
nanti. Dalam perkara perebutan hak asuh, di samping terhambat oleh statusnya
sebagai narapidana, Koko --sebagaimana yang dialami para lelaki lainnya--
harus bertarung melawan mitos bahwa perempuan (mantan istri) niscaya
merupakan manusia nomor wahid dalam urusan pengasuhan. Risiko terburuk bagi
Koko adalah hidup di bui, ditinggal istri, jauh dari buah hati. Adakah dunia
yang lebih sunyi daripada itu?
Bagaimana atmosfer persidangan
perceraian serta penentuan hak asuh antara Koko dan Tika nantinya, saya
berharap tulus awan teduh akan menaungi ruang sidang. Dalam keadaan ketika
biduk perkawinan tidak mungkin diselamatkan, daripada menyerahkan keputusan
tentang hak asuh kepada majelis hakim, padahal sangat mungkin akan berujung
sangat menyakitkan, lebih arif seandainya Koko dan Tika membangun kesepakatan
mengenai masalah itu di luar persidangan.
Satu kata untuk membesarkan anak-anak
yang dibangun secara mandiri mudah-mudahan akan lebih memuaskan Koko dan
Tika. Di atas itu semua, lebih memungkinkan terpenuhinya kepentingan terbaik
anak-anak secara maksimal. Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar