Langkanya
Kedamaian
Sudjito Atmoredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum;
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
2013-2015
|
KORAN
SINDO, 14 Februari 2018
MENGAPA
kedamaian di negeri ini semakin langka? Kerusuhan, kekerasan, dan pembunuhan
justru merebak di mana-mana. Di Jakarta banyak kekerasan berujung pembunuhan.
Di Madura beda pendapat antara guru dan murid berujung pembunuhan. Di Jawa
Barat ustaz dibunuh tanpa sebab yang jelas. Di Sleman pastor dibacok tanpa
sebab yang jelas pula. Gejala macam apa ini? Bagaimana kita harus melihatnya?
Kita
bersyukur diberi Allah SWT organ tubuh bernama mata. Mata adalah alat untuk
melihat. Dengan melihat, dapat ditangkap keberadaan realitas di sekitar kita.
Nyatalah, di situ ada bermacam-ragam realitas. Ada kedamaian, pun kerusuhan,
dan sebagainya.
Bagi
orang-orang arif dan alim, mata itu identik "pisau tajam". Mata
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan amat luas. Bila digunakan untuk melihat
ke dalam diri (introspeksi), dengan "pisau tajam", dapat dikupas
"kerak-kerak kehidupan" yang menyelimuti hati.
Hati
kemudian kembali menjadi jernih, salim, dan sehat. Kejernihan hati membuka
pintu lebar-lebar masuknya nur ilahi. Pada siapa pun yang terjaga hati
nuraninya, akan tergerak jiwa-raganya untuk berbuat kebaikan bagi sesama.
Berbuat baik adalah buah dari pohon penglihatan, yakni penglihatan dengan
mata hati maupun mata kepala.
Terinspirasi
dari sini, penting sekali menatap langkanya kedamaian dengan menggunakan mata
hati, bukan sekadar mata kepala. Dari sini pula, dapat dicegah penghakiman
atas orang lain dengan ukuran-ukuran diri sendiri. Pendekatan
sosial-kemanusiaan akan mengantarkan perjalanan kehidupan bersama sarat
dengan belas kasih (compassion). Muaranya, terwujud kedamaian.
Hemat
saya, pembicaraan tentang langkanya kedamaian di negeri ini wajib ditukikkan
pada nilai-nilai Pancasila, melalui pemahaman yang benar, utuh, menyeluruh,
dan berdasarkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". "Bhinneka
Tunggal Ika" secara linguistik berarti beraneka ragam, tetapi satu.
Rangkaian
kata-kata ini merupakan semboyan, slogan, atau moto agar maknanya mudah
diingat untuk dipahami tentang ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Dari
semboyan itu tersirat pemberitahuan kepada siapa pun tentang jiwa dan
semangat keanekaragaman suku, agama, bahasa, dan berbagai aspek kebudayaan
lain di Indonesia.
Keanekaragaman
itu bukan untuk dipertentangkan satu dengan lainnya, tetapi untuk digali dan
diselami potensi, daya, atau kekuatannya agar daripadanya diperoleh rahmat
sehingga semakin menyatu di dalam wadah keindonesiaan.
Dalam
perspektif ideologi, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai-nilai
religius, yang digali dari agama-agama yang ada di Indonesia. Islam
mengajarkan kepada umatnya tentang makna perbedaan, kebinekaan, dan
keberagaman agar daripadanya saling mengenal.
Allah
SWT berfirman: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah yang paling berta k wa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal " (QS 49: 13).
Makna
kenal-mengenal dalam perbedaan itu jauh melampaui apa yang disebut toleransi.
Toleransi merupakan sikap saling menghormati antarkelompok atau antarindividu
disertai upaya menjauhkan dari diskriminasi. Puncak dari pemaknaan
kenal-mengenal dalam perbedaan adalah takwa. Sampai derajat ketakwaan itulah
mestinya pengimplementasian Bhinneka
Tunggal Ika.
Semakin
kuat pemahaman tentang makna keanekaragaman pada diri seseorang, atau suku,
atau golongan, akan semakin terbuka peluang bagi orang, suku, atau golongan
itu untuk berkontribusi mewujudkan kedamaian bersama. Dari kenal-mengenal
dapat ditarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna peningkatan kadar
ketakwaan masing-masing.
Langkanya
kedamaian ditengarai berjalan seiring dengan langkanya budaya memberi dan
budaya berbagi antarsesama. Masing-masing etnis, golongan, suku, pemeluk
agama cenderung mendesakkan kepentingannya sendiri, seraya memaksa pihak lain
untuk mengakuinya.
Klaim
bahwa dirinya memiliki hak individual setara dengan hak individual pihak lain
memicu munculnya sikap egois-individual, eksklusif, dan arogan. Padahal,
dalam fitrahnya manusia selain makhluk individu, juga makhluk sosial. Dalam
agama pun ada fungsi individu dan ada fungsi sosial. Dalam kelangkaan
kedamaian itu, layak dipertanyakan, sudahkah ajaran sosial-keagamaan
dipraktikkan secara benar?
Maraknya
kerusuhan-kerusuhan di negeri ini merupakan bukti gagalnya pendidikan
karakter. Teramat sulit ditemukan "guru" dalam makna esensialnya
sebagai orang yang pantas "digugu dan ditiru". Teramat langka
pemimpin yang mampu memberi keteladanan. Pendidikan budi pekerti, tinggal
impian, tanpa kenyataan.
Implikasinya,
penyakit peradaban merebak di mana-mana. Indikatornya: (1) keengganan
menjalin hubungan kenal-mengenal; (2) keengganan berbagi ilmu, berbagi harta,
berbagi kasih-sayang; (3) semakin kuatnya ego pribadi, ego institusi, ego
kelompok; (4) semakin sengitnya persaingan (utamanya di bidang politik dan
bisnis); (5) teganya menihilkan atas rival-rivalnya.
Kini
begitu banyak saudara-saudara kita salah persepsi. Dia kira harta berjibun,
kekuasaan kuat, kepopuleran memikat menjadi garansi terwujudnya kehidupan
damai dan mulia. Tidak demikian. Semua itu fatamorgana belaka. Kesalahan
persepsi itu berakibat fatal. Banyak orang tersesat menjadi koruptor,
teroris, ekstremis, perampok, pembunuh, dan perilaku jahat lain. Mereka
itulah perusak-perusak kedamaian.
Demi
negeriku Indonesia, sesungguhnya introspeksi dan pengendalian diri merupakan
perbuatan mulia untuk mewujudkan kedamaian. Dalam kesunyian, marilah kita
bertanya: "Apa yang telah kuperbuat untuk negeri ini"? Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar