Trump
Menghukum Rezim Suriah
Smith Alhadar ; Penasihat The Indonesian Society for Middle
East Studies (ISMES); Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
|
MEDIA
INDONESIA, 08 April 2017
PADA 4 April, di luar dugaan siapa
pun, warga sipil di Kota Khan Sheikhun, Suriah, jadi sasaran serangan senjata
kimia. Serangan keji menggunakan gas beracun sarin itu menewaskan 86 orang,
termasuk puluhan anak dan perempuan. Saat ditemukan dan dievakuasi, mereka
rata-rata mengalami kejang-kejang, menggelepar, dan dari mulut mereka keluar
busa. Dunia pun mengecam tindakan itu, termasuk Rusia dan Iran, yang
merupakan pendukung Presiden Bashar al-Assad.
Tanpa banyak bicara, AS menghukum
rezim Assad dengan meluncurkan 60 unit rudal tomahawk ke Bandara Shayrat,
Homs, untuk menghancurkan landasan pacu, menara kontrol, depot senjata, dan
pesawat tempur.
AS yakin senjata kimia itu
diluncurkan dari jet-jet tempur pemerintah Suriah yang terbang dari Bandara
Shayrat. Inilah pertama kalinya AS menyerang rezim Assad sejak perang saudara
meletus di Suriah pada 2011.
Namun, benarkah rezim Suriah
pelaku serangan senjata kimia ke Khan Shaikhun? Apa motifnya?
AS dan sekutunya memastikan
pelakunya adalah rezim Assad. Toh, rezim ini pernah menggunakannya di Gouta,
Suriah Timur, pada 2013. Lagi pula, pada saat kejadian itu jet-jet tempur
pemerintah Suriah sedang melakukan serangan ke Khan Sheikhun.
Karena itu, AS yang merasa
serangan itu telah melewati garis merah merasa harus menghukum negara yang mengganggu
norma-norma hukum dan ketertiban internasional.
Rusia menentang keras tindakan
sepihak AS ini karena berpendapat pelakunya bukan rezim Assad. Senjata kimia
itu sedang berada di gudang milik kelompok oposisi yang terkena serangan
udara pasukan pemerintah Suriah.
Memang tidak mudah memastikan
pelakunya adalah rezim Assad.
Pertama, pemerintah Suriah dan
Rusia sedang menerapkan perang jangka panjang di Provinsi Idlib tempat Kota
Khan Sheikhun berada.
Serangan udara pemerintah Suriah
dan Rusia bertujuan melemahkan kelompok oposisi secara perlahan sebelum
dilakukan serangan darat pada waktunya nanti.
Dengan kata lain, ini bukan perang
hidup-mati yang memaksa pihak yang berperang menggunakan senjata apa saja
demi mempertahankan hidup.
Kedua, setelah insiden Gouta,
pemerintah Suriah menandatangani Konvensi Senjata Kimia yang diikuti
penyerahan seluruh stok senjata kimia miliknya kepada PBB untuk menghindari
serangan AS.
PBB pun menyatakan tidak ada lagi
senjata kimia yang disembunyikan pemerintah Suriah.
Ketiga, pada akhir Maret
pemerintahan Presiden Donald Trump menyatakan akan memfokuskan diri pada
perang melawan Islamic State (IS) dan Al-Qaeda, serta tidak lagi fokus pada
pemakzulan Assad.
Maka penggunaan senjata kimia
merupakan tindakan bodoh yang hanya merugikan Assad sendiri.
Tindakan itu juga memojokkan Rusia
dan Iran, dua negara yang selama ini mati-matian mendukung Assad.
Keempat, AS tidak hanya memerangi
IS, tapi juga Jabhat Fath al-Syam (dulu Front al-Nusra, Al-Qaeda cabang
Suriah), serta afiliasinya, yaitu Jabhat Ahrar al-Syam dan Jabhat Tahrir
al-Syam. Ketiganya merupakan kelompok oposisi terbesar dan terkuat di Idlib
sehingga niat AS menyerang mereka akan sangat menguntungkan rezim Assad.
Sebaliknya, serangan senjata kimia
di Khan Sheikhun telah membuat Trump berubah pikiran terhadap Assad.
Jadi, bisa jadi pelakunya adalah
kelompok oposisi, khususnya tiga kelompok oposisi di atas, guna membuyarkan
rencana Trump berkerja sama dengan Rusia dan rezim Assad untuk menyerang
mereka.
Namun, asumsi ini menimbulkan
pertanyaan: kalau kelompok oposisi memiliki senjata kimia, mengapa senjata
itu tidak digunakan menyerang pasukan pemerintah dan justru digunakan untuk
menyerang warganya sendiri?
Pertanyaan lain, kalau bukan rezim
Assad pelakunya, mengapa Rusia menentang draf resolusi DK PBB yang dibuat AS,
Inggris, dan Prancis yang menuntut dilakukan investigasi menyeluruh atas
insiden itu oleh PBB?
Kalau pelakunya adalah rezim
Suriah, mungkin motifnya adalah sebagai berikut.
Rezim Assad sengaja menciptakan
kehebohan untuk mengalihkan perhatian internasional dari upaya mobilisasi
pasukan ke Suriah Timur.
Sebagaimana diketahui, Pasukan
Demokratik Suriah (SDF) pimpinan AS sedang mengepung Raqqa, ibu kota de facto
IS di Suriah.
Kota lain di Suriah Timur adalah
Deir az-Zour, terletak di selatan Raqqa, yang masih diduduki IS.
Setelah Raqqa, SDF dengan bantuan
serangan udara AS akan bergerak ke Deir az-Zour.
Rezim Assad khawatir Raqqa dan
Deir az-Zour jatuh ke tangan AS yang kemudian membentuk wilayah federal
Suriah Timur setelah etnik Kurdi membentuk wilayah federal di Suriah Timur
Laut.
Maka pasukan Suriah dikerahkan ke
Raqqa dan Deir az-Zour untuk ikut ambil bagian dalam pembebasan dua kota itu
sehingga rezim Assad ikut menentukan nasib kedua kota strategis yang sangat
penting bagi Damaskus. Raqqa merupakan lumbung gandum dan Deir az-Zour adalah
kota minyak sehingga keduanya penting bagi ekonomi rezim Assad.
Memang AS belum pernah membuat
komitmen mendukung pembentukan negara federasi Suriah. Namun, bisa jadi
solusi perang saudara Suriah hanya bisa dilakukan dengan menciptakan federasi
berdasarkan garis etnik dan mazhab. Etnik Kurdi akan membentuk wilayah
federal di timur laut, Arab Sunni di wilayah timur, Alawiyah di utara dan
barat laut, dan Druz di selatan. Hal ini sudah lama menjadi keprihatinan
rezim Suriah yang hendak mempertahankan negara kesatuan Republik Arab Suriah.
Apa pun, insiden Khan Sheikhun
seharusnya dicarikan dulu alasan logisnya. AS tidak perlu tergesa-gesa
melancarkan serangan sepihak terhadap rezim Assad, yang membantah keras
sebagai pelaku serangan Khan Sheikhun.
Serangan AS itu bisa menjadi
kendala bagi kerja sama AS-Rusia dalam memerangi IS dan Al-Qaeda di Suriah. Lebih
jauh, serangan itu bisa melemahkan upaya perdamaian antara rezim Assad dan
oposisi.
Toh, tindakan AS disambut gembira
pihak oposisi dan dikecam rezim Assad, Iran, dan Rusia.
Semoga saja peristiwa ini tidak
bereskalasi menjadi konflik yang lebih luas, yang melibatkan Rusia dan AS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar