Paradoks
MA dalam Kisruh DPD
Refly Harun ; Praktisi dan Dosen Hukum Tata Negara
di Program Pascasarjana UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 08 April 2017
DRAMA perebutan kursi pimpinan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terjadi awal pekan ini terasa amat kering
dari cara-cara yang beradab. Nalar sehat demokrasi dalam balutan hukum
dikebiri sedemikian rupa. Ruang dialog politik yang semestinya diisi dengan
sikap penuh kedewasaan, justru tampak bak forum tak bertuankan akal. Bahkan,
hukum pun raib dari ruang sidang paripurna yang mulia itu. Karenanya muruah
DPD sebagai representasi daerah dan golongan betul-betul tercoreng.
Kontestasi berebut jabatan politik
di lembaga politik seperti DPD tentu bukan sesuatu yang haram. Itu merupakan
sebuah keniscayaan bila ia dimaknai sebagai karier politik. Berebut jabatan
baru menjadi masalah ketika syahwat politik justru diletakkan sebagai
tunggangannya sebab bila sudah demikian, semua cara akan dihalalkan.
Agar tidak terjerembap ke jurang
itu, hukum telah disediakan sebagai pagarnya. Ada rambu dan ketentuan yang
mesti dipatuhi agar kontestasi politik tidak bergerak liar. Begitu juga
dengan proses politik pengisian jabatan pimpinan di DPD. Ada Peraturan Tata
Tertib No 1/2014 sebagai hukum yang memagari agar segala proses politik yang
dilakukan berjalan secara baik.
Hanya saja, dalam perjalanannya,
dinamika politik yang terjadi di DPD menghendaki agar Peraturan Tatib
tersebut diubah menjadi Tatib No 1/2016 dan diubah lagi menjadi Tatib No
1/2017, yakni salah satu poin penting yang diamendemen adalah terkait dengan
masa jabatan pimpinan, yang awalnya selama lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Perubahan tersebut berujung dengan
munculnya gugatan dalam bentuk pengujian Tatib kepada Mahkamah Agung. Melalui
proses pengujian tersebut, MA melalui Putusan No 38 P/HUM/2016 dan No 20
P/HUM/2017, membatalkan Peraturan Tatib No 1/ 2016 dan Peraturan Tatib No
1/2017. Selain membatalkan, MA juga memerintahkan agar Peraturan Tatib
dimaksud dibatalkan.
Terhadap putusan dimaksud,
pimpinan DPD peride 2014-2019 pun kemudian menindaklanjutinya dengan
membatalkan Tatib No 1/2017 pada 31 Maret 2017, dan pada saat yang sama juga
menyatakan memberlakukan kembali Tatib No 1/2014.
Sayangnya, keputusan pembatasan Tatib No 1/2017 dimaksud tidak diindahkan
sebagai anggota DPD. Sikap itu pun
ditindaklanjuti dengan dilakukannya proses pemilihan pimpinan baru DPD
merujuk Tatib No 1/2017. Dari proses itulah kemudian terpilih Oesman Sapta
Odang dkk, sebagai pimpinan baru DPD. Pimpinan baru ini terpilih berdasarkan
Peraturan Tata Tertib yang sudah dibatalkan MA, dan sudah pula
ditindaklanjuti pembatalannya melalui paripurna DPD.
Dalam kondisi seperti itu, MA
sebagai lembaga peradilan yang telah membatalkan Tatib yang dijadikan panduan
dalam proses terpilihnya pimpinan baru idealnya bersikap membela putusannya. Dalam
arti, segala proses yang dilakukan secara bertentangan dengan apa yang telah
diputus tidak akan mendapatkan dukungan dari MA.
Namun, yang terjadi justru
sebaliknya, MA dengan diwakili oleh Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial justru
tetap memandu proses pengambilan sumpah Oesman Sapta Odang, Nono Sampono, dan
Darmayanti Lubis, sebagai pimpinan baru DPD. Padahal, secara faktual proses
pemilihannya nyata-nyata didasarkan pada peraturan tata tertib DPD yang telah
ia batalkan sendiri. Dalam konteks ini, jelas bahwa dewi keadilan tengah
menghujamkan pedang ketidakadilan ke jantungnya sendiri.
Pendapat
berbeda
Apa yang terjadi di DPD memang
telah menimbulkan pro-kontra. Banyak kalangan menilai bahwa proses
terpilihnya OSO dkk ialah tidak sah. Sebaliknya, juga ada ahli yang
menilainya sah. Misalnya, Yusril Izha Mahendra, menyatakan kepemimpinan
Oesman Sapta Odang di DPD sah. Menurutnya, 'Putusan Mahkamah Agung yang
membatalkan sebuah peraturan perundang-undangan tidaklah berlaku serta-merta,
tetapi diperintahkan kepada lembaga atau instansi yang membuat peraturan itu
untuk mencabutnya sehingga Peraturan Tatib No 1/ 2016 dan Peraturan Tatib No
1/ 2017 masih tetap berlaku karena belum dicabut pimpinan DPD, atau belum
lewat waktu 90 hari sejak putusan dibacakan Mahkamah Agung'.
Sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, penilaian yang diberikan Prof Yusril sesungguhnya belum
komprehensif karena belum memberikan penilaian terhadap fakta bahwa
sesungguhnya DPD telah menindaklanjuti putusan pembatasan Tatib 1/2017.
Bila sampai pada penilaian hal
demikian, barangkali beliau tidak akan menyimpulkan bahwa Tatib No 1/2017
yang dijadikan dasar dalam proses pemilina OSO dkk masih berlaku. Tentu, juga
tidak akan berkesimpulan bahwa pimpinan baru DPD ialah sah.
Dengan demikian, berangkat dari
fakta bahwa Putusan MA No 38 P/HUM/2016 dan No 20 P/HUM/2017, telah
ditindaklanjuti pimpinan DPD, mutatis mutandis keberadaan Oesman Sapta Odang,
Nono Sampono, dan
Darmayanti Lubis sama sekali tidak
salah secara hukum dan oleh karenanya juga berakibat hukum pada cacatnya
proses sumpah yang dilakukan Mahkamah Agung.
Koreksi
MA
Sebagaimana dikemukan Wakil Ketua
MA, proses memandu pengambilan sumpah pimpinan DPD hanya sebuah tindak
administratif.
Itu sebagai sebuah tindakan
administratif, apabila terdapat kekeliruan dalam pelaksanaannya, upaya
perbaikan mesti dilakukan segera.
Proses pengambilan sumpah pimpinan
DPD yang dipilih berdasarkan Peraturan Tatib DPD No 1/2017 jelas merupakan
sebuah kekeliruan.
Di samping alasan sebagaimana
dijelaskan di atas, proses yang dilakukan Wakil Ketua MA juga bertentangan
dengan ketentuan Pasal 52 UU No 30/ 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Atas kekeliruan dimaksud, MA tidak
memiliki pilihan kecuali melakukan koreksi. Dalam konteks ini, Ketua MA-lah
pejabat yang berwenang melakukannya.
Koreksi yang dimaksud tidak saja
penting guna memberikan kepastian hukum terhadap kepemimpinan di DPD, tetapi
juga diperlukan untuk menyelamatkan muruah MA di mata masyarakat.
Jika langkah perbaikan ini tidak
ditempuh, sikap paradoks MA ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan
penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar