Reformasi
Pangan
untuk
Seimbangkan Produksi-Inflasi
Agung Hendriadi ; Kepala Biro Humas dan Informasi
Publik
Kementerian Pertanian
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2017
KONTRIBUSI sektor pertanian terhadap produk domestik bruto
(PDB) turun bukan selalu berarti sektor pertanian tidak berkembang.
Pertumbuhan sektor industri dan jasa di banyak negara berkembang umumnya
berkembang lebih pesat jika dibandingkan dengan pertumbuhan di sektor
pertanian. Hal itu tentu berakibat menurunnya kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB nasional. Sebagai contoh, kontribusi sektor pertanian terhadap
PDB di beberapa negara pada 1995 jika dibandingkan dengan 2014 umumnya
mengalami penurunan. World Bank melaporkan untuk Malaysia turun dari 12,9%
menjadi 8,9%, Tiongkok 19,6% menjadi 9,1%, Vietnam 27,2% menjadi 17,7%, dan
Kamboja 49,6% menjadi 30,5%.
Namun demikian, tidak perlu dikhawatirkan, penurunan
kontribusi ini akan mengarah kepada situasi kurang pangan. Negara-negara
tersebut, termasuk Indonesia, membuktikan pada periode itu mampu mewujudkan
kemandirian dalam produksi pangan. Bahkan, sebagian di antaranya menjadi
eksportir pangan. Hal yang sama pasti berdampak juga kepada penurunan serapan
tenaga kerja. Walaupun serapan tenaga kerja untuk sektor pertanian di Indonesia
1991 sebesar 55,1% dan turun menjadi 31,9% pada 2016, produksi pangan kita
menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan sebagai imbas dari peningkatan
produktivitas dan luas lahan, termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi.
Hal serupa juga terjadi di negara lain. Pada periode 1994
sampai dengan 2010, World Bank melaporkan tenaga kerja di sektor pertanian di
negara Tiongkok turun dari 50% menjadi 3%, Thailand turun dari 56% menjadi
38%, dan Filipina 45% menjadi 33%. Situasi itu, menurut peneliti Center for
South East Asia Study yang mendalami migrasi tenaga kerja di sektor pertanian
di negara-negara Asia, tidak perlu dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan
produksi pangan asalkan t knologi yang diperlukan dipersiapkan dengan baik.
Pemerintah, dalam hal ini, telah mengantisipasi dengan
pemanfaatan 180 ribu alat mesin pertanian untuk mengurangi beban kerja petani
dan meningkatkan efisiensi produksi. Fakta menunjukkan selama 32 tahun
terhitung mulai 1984 hingga 2014, pembangunan pertanian Indonesia masih
bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kini,
sepanjang 2015 sampai dengan 2016 Indonesia telah mampu meningkatkan produksi
pangan strategis sehingga volume impor turun bahkan tidak impor untuk beras,
bawang, dan cabai, serta impor jagung dapat ditekan 66%. Secara rinci
produksi komoditas strategis dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan.
Produksi padi naik 11%, jagung naik 21,8%, cabai naik
2,3%, dan bawang merah naik 11,3%. Peningkatan produksi komoditas unggulan
peternakan terjadi, daging sapi naik 5,31%, telur ayam naik 13,6%, daging
ayam naik 9,4%, dan daging kambing naik 2,47%. Begitu pun produksi komoditas
perkebunan, tebu naik 14,42%, kopi naik 2,47%, karet 0,14%, dan kakao naik
13,6%. Terkait dengan neraca produksi dan konsumsi beras yang dihitung
Direktur Eksekutif Departemen Riset Kebijakan Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia Dody Budi Waluya, perlu dikoreksi. Menurut Dody, dengan
prediksi jumlah penduduk Indonesia pada 2020 sebesar 270 juta, dibutuhkan 55
juta ton beras.
Itu berarti kalau dihitung balik, konsumsi per kapita
masyarakat Indonesia pada 2020 sebesar 203 kg per kapita per tahun. Angka
konsumsi per kapita itu tidak sesuai dengan hasil survei terakhir, bahwa
konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia hanya 113 kg per kapita per
tahun (2014). Angka konsumsi per kapita itu sebenarnya cenderung turun dari
tahun ke tahun, sebagai contoh pada 2010 konsumsi per kapita masih 124 kg per
kapita per tahun. Kecenderungan turunnya konsumsi beras per kapita itu, salah
satunya, dipengaruhi meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat dan secara
keseluruhan meningkatnya indeks pembangunan manusia atau human development
index (HDI). Beberapa program pemerintah yang terkait dengan upaya untuk
menekan inflasi pangan (volatile food inflation) dan meningkatkan
kesejahteraan petani, di antaranya di tingkat produsen melalui pengendalian
harga dengan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga dasar.
HPP dan harga dasar tersebut ditetapkan secara hati-hati
dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima petani agar terus
berproduksi dan tidak mendongkrak inflasi. Di tingkat konsumen, pemerintah
menetapkan harga acuan pangan strategis melalui Permendag No 63 Tahun 2016.
Penetapan harga acuan itu diharapkan mampu mengendalikan margin yang diterima
pedagang agar konsumen menerima harga yang wajar. Sebagai contoh, HPP untuk
gabah kering panen Rp3.700 per kg dan harga beras di pasar induk ditetapkan
Rp7.300 per kg.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah
melakukan pengendalian distribusi pangan dengan memangkas rantai pasok dari 9
titik menjadi 3 titik. Di antaranya dengan membangun Toko Tani Indonesia
(TTI). Pada 2016 telah terbangun TTI sebanyak 1.218 unit dan pada 2017 dalam
proses pembangunan untuk 1.000 TTI. Upaya pengendalian harga melalui
penetapan HPP, harga acuan, pemangkasan rantai pasok, dan kerja sama
kemitraan penyerapan produksi dengan industri pangan/pakan diharapkan mampu
menekan tingginya inflasi pangan dan meningkatkan pertumbuhan produksi pangan
dalam dua sampai tiga tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar