Sandiwara
Politik Naif DPD
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa
Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 05 April 2017
KERICUHAN
berupa aksi saling dorong dan gebrak meja terjadi dalam Rapat Paripurna DPD
di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/4). Rapat paripurna sedianya
membaca putusan MA yang membatalkan Peraturan Tatib DPD No 1/ 2017 sesuai
dengan kesepakatan Panmus 3 April 2017. Berdasarkan agenda pascapembacaan
putusan MA, tidak akan ada pergantian pimpinan DPD, sebab masa jabatan
pimpinan DPD tetap 5 tahun. Situasi memanas terjadi di awal rapat saat
anggota DPD asal Maluku Utara Basri Salama melakukan interupsi. Menurutnya,
seharusnya ada penyerahan penanggung jawab sidang dari pimpinan DPD kepada
pimpinan sementara yang dibahas dalam Panitia Musyawarah (Panmus). Sebab,
masa jabatan dua pimpinan sidang, yakni Farouk Muhammad dan GKR Hemas,
dianggap sudah berakhir jika mengikuti tatib masa jabatan 2,5 tahun. Suasana
menjadi tidak terkendali. Sandiwara konyol pun terlihat: suara gaduh
bersahut-sahutan lewat pengeras suara di meja rapat seperti riuh di pasar,
saling dorong, rampas mikrofon, bahkan ada yang tersungkur sambil menyebut
nama Tuhan.
Infantil
Cuplikan
kericuhan itu kembali membuat kita menepuk jidat dan sebal tak
habis-habisnya. DPD berkeras ingin mengganti pimpinan dengan mengacu ke tatib
yang sudah dibatalkan MA. Seolah-olah prinsip hukum tak ada wibawanya di mata
mereka. Keegoan, menang sendiri, masih menjadi libido yang dikantongi di
dalam jas-jas eksklusivisme mereka ketika menyelesaikan persoalan. Gus Dur
benar bahwa karakter parlemen kita tak ubahnya TK yang sikut-sikutan ketika
berebutan permen. Tak peduli teman lain sakit, menangis, suasana kacau, yang
penting saya kebagian. Kini mereka bukan lagi anak kecil, melainkan sudah
bermetamorfosis menjadi ‘orang besar’. Namun, perubahan ‘fisik’ itu tak
disertai mentalitas dan sikap yang cerdas dan konstruktif sehingga pada satu
kesempatan Gus Dur pernah menyesal menyandingkan anak-anak dengan DPR.
Anak-anak memiliki sifat yang suci, kreatif, dan cerdas, sedangkan DPR kotor
dan kreatif mencari uang (Merdeka.com 13/3/2016). Memang diksi itu agak
vandalis untuk melukiskan konduite anggota DPD, tapi kenyataannya memang
demikian. Padahal, kalau ditengok dari profil anggota DPD 2014-2019, mereka
orang-orang yang bisa digolongkan ‘beradab’, berpendidikan tinggi,
berpengalaman dalam organisasi-organisasi sosial-politik. Latar belakang
pendidikan, misalnya, 34% magister/S-2, doktor 10%, S-1 39%. Untuk latar
belakang profesi, 15% dosen, 19% pengusaha/wiraswasta. (Puskapol UI, 2014).
Artinya, secara virtualitas, pendidikan, latar belakang, dan pengalaman
semestinya keberadaan mereka layak disambut 'karpet merah’ di parlemen.
Meskipun secara filosofis, ‘wajah baru’ itu tetap perlu dicurigai. Imanuel
Levinas mengatakan wajah bukan sebatas merepresentasikan kehadiran seseorang,
melainkan juga penampakan konkret moralitas. Dengan demikian, kehadiran
seorang wakil rakyat secara integratif mengandung virtualitas diri, kelompok
sekaligus nilai moral. Jika salah satunya lenyap, sifat-sifat politisi yang
ideal dan berwajah kemanusiaan pun tercederai.
Politik naif
Perseteruan
politik di panggung parlemen itu ialah negasi kemanusiaan paling konkret di
tengah kondisi kesejahteraan rakyat yang masih berdebu penuh masalah.
Belakangan pun, tidak ada akselerasi kinerja berarti yang ditunjukkan anggota
DPD. Kontribusi mereka dalam aspek pengawasan dan regulasi juga tertatih-tatih.
Gejala masuknya intensi dan spirit parpol ke dalam tubuh DPD belakangan ini
bahkan diklaim sebagian kalangan merupakan momentum perapuhan DPD sebagai
institusi yang mewakili langsung kepentingan daerahnya tanpa embel-embel
parpol. Frederich Nietzsche (dalam Riyanto 2011) mungkin benar politik selalu
dekat dengan kenaifan. Politik di tangan politisi hedonis, defisit etika, dan
komitmen sekarang direduktivikasi sebatas urusan kursi, uang dan pemilu.
Padahal Aristoteles dalam buku Politics mengatakan anggota parlemen
seharusnya menjadi orbit utama penegakan kedaulatan dan instrumen pengamanan
kesejahteraan publik. Mereka merupakan para pecinta kebijaksanaan yang eksper
dalam merundingkan urusan kepublikan karena memiliki modal artikulatif,
kemampuan berdebat, beretorika, dengan penuh kecerdasan, bukan dengan memakai
otot atau emosi saat sidang soal rakyat. Wakil rakyat, termasuk DPD, ialah
wajah sejati rakyat karena merupakan sekumpulan orang terpilih yang diserahi
mandat oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasinya dengan memanfaatkan
kapabilitasnya. Disebut orang-orang terpilih karena secara pendidikan, moral,
integritas, mereka dianggap memiliki nilai lebih untuk memerankan
fungsi-fungsi keparlemenan sejati.
Karena
itu, logikanya, ketika mereka duduk di parlemen, yang harus ditunjukkan ialah
kecemerlangan kemampuan berargumen untuk menghasilkan solusi konkret terkait
dengan persoalan rakyat. Mempraktikkan seni dalam meyakinkan anggota yang
lain tentang motivasi dan orisinalitas argumen konstruktif kerakyatan serta
memiliki kecerdasan emosi saat harus bekerja di bawah tekanan dan juga mampu
membangun kolegialitas kerja atas nama edukasi politik terhadap publik.
Sayang, semua harapan itu berujung paradoks. Para anggota DPD lebih memilih
memeras peluh untuk mengurusi berahi kekuasaan ketimbang berdarah-darah
menyerap dan memperjuangkan kepentingan rakyat dan daerahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar