Perlindungan
Pelapor Korupsi
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Maret 2017
HASIL penilaian Global Corruption Barometer (GCB) 2017
mengindikasikan, sebagian besar masyarakat masih menilai level korupsi
meningkat (65%). Namun di sisi lain, publik juga mulai merasakan pemerintah
telah melakukan berbagai perubahan, khususnya terkait dengan layanan publik.
Timpangnya persepsi publik dengan perubahan di level pemerintah perlu
difasilitasi agar ke depan perbaikan di level pemerintah juga disokong
persepsi dan perilaku masyarakat ketika berhadapan dengan birokrasi/pelayanan
publik. Ada potensi yang cukup besar (78%) memanfaatkan keinginan mayoritas
publik untuk berperan dalam memberantas korupsi.
Namun, keinginan publik ini tergerus oleh suatu situasi
ketiadaan perlindungan yang memadai ketika masyarakat aktif melaporkan kasus
korupsi. Secara garis besar ada tiga problem mendasar. Pertama, fakta tentang
konsekuensi yang diterima ketika melaporkan kasus korupsi. Kedua, tidak
mengetahui di mana akan melapor beserta prosedurnya. Ketiga, pesimistis ada
tindak lanjut atas laporan itu. Pascaperubahan UU No 13/ 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban melalui UU No31/2014, keberadaan pelapor
menjadi sangat penting sebagai salah satu aktor pengungkapan tindak pidana
sebab sebelumnya, UU tidak secara tegas mengatur mengenai perlindungan yang
diberikan kepada pelapor layaknya perlindungan yang diberikan kepada saksi
dan korban tindak pidana.
Jika merujuk pada KUHAP keberadaan pelapor sebetulnya
telah diakui secara implisit sebagai salah satu subjek terkait dengan laporan
adanya peristiwa pidana. Pasal 1 angka 24 KUHAP menyebutkan, “Laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No
31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara
terang dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk melaporkan tentang
adanya dugaan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam
Peraturan Pemerintah No 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
]
Secara umum ada dua cakupan perlindungan yang diberikan
kepada pelapor, yaitu perlindungan atas status hukum dan perlindungan atas
rasa aman. Pertama, perlindungan atas status hukum berupa jaminan tidak dapat
dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang,
atau telah diberikannya, kecuali laporan itu diberikan tidak dengan iktikad
baik (Pasal 10 UU 31/2014).
Dalam konteks perlindungan hukum ada ketidaksesuaian
antara apa yang diatur di dalam PP 71/2000 dengan UU 31/2014. Di dalam PP
disebutkan, ada dua kondisi, yakni perlindungan hukum tidak akan diberikan
jika (i) berdasarkan hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti kuat
keterlibatan pelapor atas tindak pidana korupsi yang dilaporkan. Dan (ii)
apabila terhadap pelapor dikenai tuntutan dalam perkara lain.
Sementara di dalam UU 31/2014 secara jelas mewajibkan
untuk menunda tuntutan hukum hingga kasus yang dilaporkan diputus oleh
pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, UU juga memberi
celah bagi terjadinya risiko hukum bagi pelapor ketika laporan disampaikan
tidak dengan iktikad baik. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa, ‘tidak
dengan iktikad baik’ dimaksudkan berupa tindakan memberikan keterangan palsu,
sumpah palsu, dan pemufakatan jahat.
Kesimpulannya, perlindungan hukum tidak utuh diberikan
kepada pelapor korupsi. Masih ada peluang bagi terjadinya risiko hukum bagi
pelapor baik yang berasal dari pihak yang dilaporkan, biasanya pelapor akan
dilaporkan kembali kepada penegak hukum karena melakukan pencemaran nama
baik, dan seterusnya. Selain itu, peluang ini juga datang dari penyalahgunaan
diskresi yang terlalu besar diberikan kepada penegak hukum untuk menilai
sebuah laporan dilakukan dengan iktikad baik atau tidak dengan iktikad baik.
Kedua, perlindungan atas rasa aman. Secara normatif,
perlindungan atas rasa aman sebetulnya sudah cukup jika dilaksanakan menurut
ketentuan UU. Namun, dalam praktiknya, kebijakan di level institusi tidak
selalu sesuai dengan standar yang diatur di dalam UU. Akibatnya dalam kasus
tertentu, identitas pelapor kasus korupsi terkadang malah tersebar luas
kepada publik. Dalam review yang dilakukan Institute for Criminal Justice System
(ICJR) 2016 menyebutkan, tren ancaman terhadap pelapor masih sangat tinggi,
khususnya terhadap pengungkapan kasus korupsi. Hal ini mengonfirmasi temuan
GCB 2017 bahwa salah satu problem mendasar untuk memaksimalkan partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi ialah minimnya perlindungan hukum yang
diberikan.
Maka, dari sisi regulasi masih perlu diperbaiki, baik di
level UU maupun aturan teknis lainnya. Tantangan berikutnya, bagaimana
memastikan setiap institusi menerapkan standar sama atas perlindungan
terhadap pelapor korupsi, baik yang berasal dari masyarakat umum maupun
internal institusi. Harapannya, melalui penguatan instrumen bagi pelapor
korupsi akan terjadi percepatan penurunan tingkat korupsi dalam skala
nasional sehingga perbaikan yang dilakukan lembaga publik juga diimbangi
dengan pengawasan yang memadai dari masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar