Parpolisasi
Komisioner KPU
Saiful Anam ; Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute;
Praktisi dan Akademisi Hukum Tata
Negara; Kandidat Doktor Ilmu Hukum UI
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Maret 2017
SETELAH kembalinya sejumlah anggota Pansus RUU Pemilu dari
kunjungan kerja dari Jerman dan Meksiko, muncul berbagai wacana, salah
satunya pelibatan parpol dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dengan
dalih belajar dari kedua negara itu, pelibatan parpol dalam penyelenggaraan
pemilu dinilai efektif oleh beberapa anggota DPR yang melakukan studi banding
itu. Mereka beralasan perwakilan parpol yang duduk dalam keanggotaan
penyelenggara pemilu akan saling mengawasi agar pemilu tidak dicurangi.
Selain itu, beberapa kalangan di DPR menganggap keanggotaan KPU yang
diserahkan kepada lembaga independen justru lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya. Penyebabnya, anggota KPU yang seharusnya netral kenyataannya
tidak jarang bekerja untuk sekelompok kepentingan parpol tertentu.
Langkah mundur
Dalam perspektif penulis, usulan itu merupakan bagian dari
langkah mundur dalam upaya membangun demokratisasi di RI. Alasan dan
pertimbangan ada lima catatan terhadap problem pelibatan parpol dalam
penyelenggaran pemilu di Indonesia. Pertama, secara konstitusional Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 telah menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan suatu
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Pengertian
dan makna yang terkandung dalam Perdebatan penyusunan UUD 1945 telah nyata,
jelas, dan tegas bahwa Komisi Pemilihan Umum wajib bersifat mandiri yang
berarti harus independen, lepas dari campur tangan kekuasaan pihak mana pun.
Termasuk kepentingan parpol. Dengan demikian, dalam perspektif konstitusional
tidak memungkinkan komisioner KPU berasal dari perwakilan parpol.
Kedua, MK melalui Putusan No 81/ PPU-IX/ 2011 tertanggal 4
Januari 2012, terhadap gugatan uji materi atas UU No 15/2011 tentang
Penyelenggara Pemilu telah menyatakan inkonstitusional terhadap keanggotaan
penyelenggara pemilu yang berasal dari unsur atau utusan parpol. Adapun yang
menjadi alasan dan pertimbangan MK bahwa asas jujur dan adil hanya dapat
terwujud jika antara lain penyelenggara pemilihan umum tidak dapat
diintervensi atau dipengaruhi pihak manapun.
Karena itu, penyelenggara pemilihan umum tidak dapat
diserahkan kepada pemerintah maupun parpol, sebab berpotensi dan rawan
dipengaruhi atau dimanfaatkan berbagai kepentingan. Karena itu, pemilihan
umum harus diselenggarakan suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri. Dengan demikian, dapat menghindarkan dari peluang
keberpihakan penyelenggara pemilu kepada peserta Pemilu yang akan
mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang tidak fair dan
membuka peluang keberpihakan. Ketiga, putusan MK selain bersifat final and
binding (pertama dan terakhir), berlaku asas erga omnes (bersifat umum) dan
berlaku asas res judicata pro veritate habetur (harus dipatuhi seluruh
kalangan), juga mewajibkan DPR atau presiden untuk menindaklanjuti putusan MK
itu dalam salah satu materi muatan yang harus diatur dari suatu UU (vide
Pasal 10 Ayat (1) UU 12/2011). Selain itu, prolegnas wajib membuat daftar
kumulatif terbuka yang salah satunya akibat atau berdasar Putusan MK (vide
Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011). Dengan demikian, tidak ada alasan bagi
pembentuk UU untuk memolarisasi kembali pelibatan parpol dalam
penyelenggaraan pemilu.
Keempat, perspektif sejarah keanggotaan komisioner KPU
yang berasal dari perwakilan parpol nyata pernah gagal dipraktikkan dalam
penyelenggaraan Pemilu 1999. Ketika itu, KPU diisi unsur parpol peserta
pemilu. Saat itu pula anggota KPU terdiri atas 48 wakil parpol peserta Pemilu
1999, ditambah lima wakil pemerintah. Deadlock tidak terelakkan karena raihan
suara yang minim dan anggota KPU tidak independen dengan saling membawa
kepentingan politik tiap-tiap parpol. Dengan demikian, tidak jarang memaksa
rapat KPU berakhir tanpa hasil. Akibatnya, penetapan hasil pemilu berulang
kali tertunda. Kelima, apabila dicermati, kedua negara baik Jerman dan
Meksiko yang dijadikan bahan perbandingan DPR sangat berbeda dengan RI,
perihal bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dianut. Jerman dan Meksiko
sama-sama menganut negara federal. Sistem pemerintahan Jerman ialah
parlementer, sedangkan Meksiko kongresional. Dalam sistem pemerintahan
parlementer di Jerman, kekuasaan parlemen lebih dominan daripada eksekutif.
Sebaliknya dalam sistem pemerintahan kongresional di Meksiko kekuasaan
eksekutif lebih dominan daripada kekuasaan legislatif. Dengan demikian,
sistem penyelenggaraan pemilunya sangat jauh berbeda dengan sistem yang
dianut Indonesia. Indonesia menganut bentuk negara kesatuan dan sistem
pemerintahan presidensial yang dalam penyelenggaran pemerintahan menganut
checks and balances system, tidak terdapat lembaga negara yang lebih dominan
antarsatu sama lainnya.
Menuju sistem nasional
Wacana komisioner KPU berasal dari perwakilan parpol
sangat mencederai pembangunan demokrasi yang berkualitas dan cenderung
bertentangan dengan cita hukum bangsa. Untuk itu, diharapkan terdapat
pemahaman bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan baik pada
tingkatan yang paling tinggi sampai pada tingkatan peraturan yang terendah
sekalipun ialah bagian suatu jalinan sistem yang tidak dapat saling bertentangan.
Pembentuk RUU Pemilu harus melihat produk hukum yang akan dibentuk sebagai
suatu kesatuan sistem. Pemahaman umum tentang sistem hukum merupakan suatu
kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri atas bagian-bagian yang
berhubungan satu sama lain. Lawrence M Friedmen membagi sistem hukum menjadi
tiga bagian yang tak dapat terpisahkan, yakni berupa struktur hukum,
substansi hukum, dan budaya hukum. Ketiga pilar itulah yang harus berjalan
serasi, selaras, dan seimbang serta berkaitan erat.
Suatu sistem hukum tidak mungkin hadir dan berwujud dari
ruang yang hampa. Ketiganya harus hadir dan bertumbuh kembang dalam pengakuan
setiap bangsa dengan ciri khas yang unik berupa kesadaran nasional bangsa
atau yang mengekspresikan dirinya sebagai volksgeist (jiwa bangsa) yang
berbeda-beda antarnegara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sangat
tidak mungkin penerapan hukum dalam suatu negara dengan serta-merta dapat
diambil alih dan diterapkan pada suatu negara tertentu dengan atau tanpa
mempertimbangkan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum yang
berbeda-beda pula. Semoga ini semua menjadi bahan renungan bagi pembentuk RUU
Pemilu dalam upaya membangun demokrasi yang berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar