Ahok
vs Anies di Mata Najwa, Siapa yang "Menang"?
Najwa Shihab ; Pemandu Acara “Mata Najwa” di Metro-TV
|
KOMPAS.COM, 29 Maret 2017
BANYAK sekali yang bertanya ke saya, siapa yang
“memenangkan” Debat Mata Najwa Babak Final Pilkada Jakarta, Senin
(27/3/2017)? Pertanyaan yang tentu tidak mungkin saya jawab dengan alasan
yang saya yakini juga Anda pahami.
Tapi, ada hal yang ingin saya bagi. Cerita tentang proses
kami merancang dan mencari format debat Pilkada DKI.
Sejak awal, saya langsung teringat serunya debat final
Donald Trump dan Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat
tempo hari.
Selain gaya masing-masing yang mengasyikkan, adu argumen
antarkandidat sangat cair karena debat diramu dalam diskusi terbuka yang
tidak dibatasi durasi atau aturan yang terlampau ketat.
Debat antar kandidat yang disiarkan televisi di AS adalah
tradisi demokrasi yang sudah berjalan sejak pertarungan antara Richard Nixon
vs John F Kennedy di Pilpres AS pada 1960.
Sejak itulah debat capres di televisi menjadi instrumen
utama kontestasi politik yang diperlakukan sangat serius di AS.
Sampai-sampai dibentuk komisi independen khusus (CPD- The
Commission on Presidential Debates) yang bertugas merumuskan format,
menentukan moderator dan merancang aturan main debat.
Sejak 1987, CPD telah mengembangkan beragam format debat
yang fokus untuk memaksimalkan waktu dan perhatian publik kepada capres dan
pandangan mereka.
Model debat pun bervariasi. Mulai dari menggunakan satu
moderator hingga panel yang terdari dari tiga jurnalis atau model town hall
meeting dengan mengundang perwakilan warga untuk bertanya pada kandidat.
Pemilihan topik, pembagian waktu, hingga pengaturan tempat
dan variasi meja dalam debat juga menjadi perhatian komisi independen ini.
Semua itu bertujuan utama memberikan kesempatan maksimal
kepada pemilih untuk mendapatkan informasi dan membandingkan pilihan mereka.
Jadi, ketika kami berkesempatan untuk merancang sebuah
debat politik, kami tidak ragu untuk mengadopsi sejumlah format yang telah
diuji dalam berbagai debat pilpres AS.
Walaupun tentu saja itu bukan tanpa keraguan. Selama ini
debat-debat pemilihan pejabat publik di negeri ini berlangsung dalam format
yang kaku dan cenderung searah dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
panelis atau moderator.
Interaksi antarkandidat juga dibatasi pada format ‘saling
bertanya’ yang kerap kali berujung hambar karena masing-masing kandidat akan
berangkat dengan isu yang diyakini menguntungkan posisinya.
Sementara format diskusi terbuka yang kami rancang akan
“memaksa” kandidat untuk beradu argumen secara langsung atas topik yang
ditentukan oleh moderator.
Durasi yang lebih cair dalam debat juga membuat para
kandidat leluasa berbicara sembari menyodorkan data yang paling relevan,
mengatur ritme, hingga mengontrol emosi.
Hampir tidak ada sekat dalam proses pertukaran ide.
Masing-masing kandidat harus saling beradu pendapat secara cepat dan
terkadang spontan. Dengan format ini kandidat tidak hanya perlu piawai
menyampaikan pendapat tapi juga peka untuk mendengarkan jawaban lawan.
Meyakinkan para kandidat
Saya juga ditanya oleh seorang teman, butuh waktu berapa
lama untuk menyakinkan kedua kandidat hadir di debat Mata Najwa. Saya
menjawab terus terang, meyakinkan kandidatnya tidak sulit, karena toh Mata
Najwa kerap kali mengundang keduanya sendiri-sendiri maupun berdua.
Bahkan seperti diakui oleh Pak Basuki dan Pak Anies di
Ulang Tahun Mata Najwa ke-7, mereka pertama kali berjumpa dan berkenalan
justru di forum Mata Najwa beberapa tahun silam.
Tetapi tentu saja momen pilkada mempengaruhi banyak hal,
terlebih saat pertarungan akhir seperti ini. Tim sukses kandidat kadang
bekerja ‘terlalu’ maksimal, untuk menjaga jagoan masing-masing.
Tantangan justru ada pada proses menyakinkan tim sukses
soal aturan main debat yang menurut kami lebih ideal ini. Format baru yang
rasanya jarang atau bahkan mungkin belum pernah dilakukan dalam debat-debat
pejabat publik selama ini.
Kami sangat sadar debat dengan format apa pun akan sangat
mudah berubah menjadi diskusi yang normatif jika saja isu yang dibahas
terlalu umum. Karenanya pertanyaan awal maupun pertanyaan lanjutan dirancang
spesifik untuk membuat para kandidat mengutarakan pendapat secara detail dan
terperinci.
Angle perbandingan program pun sengaja dimaksudkan agar
kedua kandidat bisa saling menunjukkan perbedaan, jika ada.
Kami berangkat dari asumsi bahwa pemilih Jakarta sudah
sedikit banyak mengetahui sejumlah program unggulan kandidat, toh kampanye
sudah berlangsung selama 6 bulan.
Saling klaim sebagai pionir dan tudingan saling contek
program sejak awal kampanye sengaja kami tonjolkan untuk menggambarkan
sengitnya pertarungan.
Kartu Jakarta Pintar vs Kartu Jakarta Pintar Plus, Kartu
Jakarta Lansia vs Tunjangan Orang Tua, Ok Otrip vs integrasi moda
transportasi, misalnya.
Serupa tapi tak mau dibilang sama, siapa yang lebih dulu
dan siapa yang hanya bisa meniru. Itu pun hanyalah bumbu dalam debat.
Bumbu yang kami perlukan untuk meramu tontonan, walau
diam-diam kami sesungguhnya sadar bahwa orisinalitas program tidak punya
nilai lebih dalam demokrasi.
Karena seharusnya yang diukur bukan itu, melainkan
efektivitas, kapasitas dan komitmen kandidat untuk menjalankan berbagai
programnya.
Itu juga alasan mengapa secara khusus saya bertanya tentang
gaya kepemimpinan. Meminta kandidat untuk menggambarkan gaya masing-masing
dan menbandingkannya dengan lawan.
"Rahasia" tersisa
Ada satu "rahasia". Saya sesungguhnya masih
menyimpan satu pertanyaan lanjutan untuk kedua kandidat.
Siapa lebih cocok menjadi anak buah siapa? Apakah Anies
lebih cocok menjadi anak buah Ahok? Atau Anies lebih pantas menjadi bos Ahok?
Tapi saya memutuskan untuk menghentikan perdebatan soal itu saat Ahok dan
Anies saling berbalas tentang siapa yang bisa memecat siapa.
Ada banyak PR kami sebagai penyelenggara debat. Masukan
soal topik, alur debat dan kesempatan berbicara untuk ke dua kandidat secara
lebih cair saat diskusi terbuka menjadi catatan pembelajaran penting untuk
Mata Najwa yang sejak awal berusaha sekuat tenaga untuk menjaga
keberimbangan.
Apresiasi tertinggi tentu harus diberikan kepada Pak
Basuki dan Pak Anies. Tidak ada keharusan bagi mereka untuk hadir di Mata
Najwa.
Karena ini bukanlah debat resmi yang diselenggarakan KPU,
institusi yang bisa memberikan sanksi kepada kandidat yang mangkir. Namun,
keduanya tidak sekadar datang memenuhi undangan, tapi juga telah bersedia
berpartisipasi dalam suatu "eksperimen" demokrasi.
Berdebat terbuka atas gagasan dan isu. Hasilnya? Semoga
cukup seru dan bisa membantu Anda yang masih ragu. Sampai bertemu di Mata
Najwa tiap Rabu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar