Pemisahan
Agama dan Negara
Yusril Ihza Mahendra ; Ketua Umum Partai Bulan Bintang
|
JAWA
POS, 01
Agustus 2017
Hubungan antara agama dan negara itu bukan permasalahan
sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu–dua kalimat sebagaimana isi pidato
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Barus, Sibolga, Sumatera Utara, Jumat pekan
lalu (24/3). Sebab, hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam sejarah pemikiran politik di tanah air, debat
intelektual tentang hubungan agama dengan negara pernah dilakukan antara
Soekarno dan Mohammad Natsir sebelum kita merdeka. Debat mereka berkisar
sekularisme di Turki dan kitab Al Islam wa Ushulul Hukm karya Ali Abdurraziq,
seorang pemikir Islam dari Mesir pada zaman itu.
Debat hubungan agama dengan negara menjadi topik hangat
dalam sidang-sidang BPUPKI ketika the founding fathers merumuskan falsafah
bernegara kita, yang berujung dengan kompromi. Baik melalui Piagam Jakarta 22
Juni maupun kompromi pada 18 Agustus 1945 yang melahirkan kesepakatan Pancasila
sebagai landasan falsafah bernegara kita.
Debat berulang dalam sidang konstituante yang berakhir
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang sekali lagi berupaya mencari jalan
tengah, jalan kompromi yang dapat diterima semua golongan. Dekrit kembali ke
UUD 1945 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955.
Termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai ”sebuah
kenyataan” meski di konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara.
Dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah
bernegara kita, negara Republik Indonesia (RI) adalah jalan tengah antara
negara Islam dan negara sekuler. Indonesia tidak merdeka menjadi sebuah
negara berdasar Islam dan juga tidak berdasar sekularisme yang seperti
dikatakan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI, yakni ”negara yang memisahkan
urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan”. Negara berasas falsafah Pancasila
adalah kompromi yang dapat menyatukan pendukung Islam dengan pendukung
sekularisme.
Jalan tengah yang bersifat kompromistis itu tidak perlu
diutak-atik lagi dengan ajakan ”pemisahan politik dengan agama” oleh Presiden
Jokowi. Apalagi, ajakan tersebut diungkapkan tanpa memahami dengan
sungguh-sungguh latar belakang historinya dan implikasi-implikasi politiknya
yang bisa mendorong kembalinya debat filosofis tentang landasan bernegara
kita. Dalam konteks kita membangun bangsa dan negara dewasa ini, ajakan
seperti itu lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat.
Dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ketuhanan ditempatkan
dalam urutan kelima sesudah empat sila yang lain. Sila ketuhanan itu malah
dapat diperas menjadi ekasila, yakni gotong royong. Dalam kompromi pada 22
Juni dan 18 Agustus 1945, sila ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama,
yang menandakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama kita dalam
membangun bangsa dan negara.
Dalam konteks historis seperti itu, secara filosofis
mustahil kita akan memisahkan agama dengan negara dan memisahkan agama dengan
politik. Karena itu, saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu
bersifat ahistoris atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali. Para pendiri
bangsa seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H Agus Salim, KH Wahid Hasyim,
dan Ki Bagus Hadikusumo semua berpendapat seperti itu.
Di Eropa pada zaman renaisans memang ada polemik pemisahan
antara gereja dan negara (scheiding van kerk en staat/separation of church
and state), tapi bukan pemisahan agama dengan negara. Institusi dan
kepemimpinan gereja Katolik dengan institusi dan kepemimpinan negara memang
sangat mungkin dipisahkan. Tetapi, pemisahan agama dengan politik adalah
sesuatu yang sukar untuk dilakukan.
Dr Notohamidjojo, seorang pemimpin Partai Kristen
Indonesia di masa lalu, menulis dalam bukunya, Iman Kristen dan Politik,
bahwa tidaklah mungkin agama Kristen dipisahkan dengan politik. Prof Zainal
Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi, menulis pula dalam bukunya, Membentuk
Negara Islam. Dalam bukunya itu Zainal menyatakan, barang siapa bisa
memisahkan gula dari manisnya, maka bisalah dia memisahkan Islam dari
politik.
Ajaran Kristen, kata Notohamidjojo, ada di dalam otak dan
hati pemeluk Kristen dan keyakinan itu sedikit banyaknya akan memengaruhi
sikap serta perilaku politik tiap pemeluk Kristen. Begitu juga agama Islam.
Hanya orang yang otak dan hatinya sekuler (menganggap agama itu perkara
sampingan) yang bisa memisahkan agama dengan politik. Selama seseorang itu
sungguh-sungguh beriman dengan ajaran agamanya, mustahil baginya dapat
memisahkan agama dengan politik.
Dalam membangun bangsa dan negara kita yang masih banyak
ditandai perilaku korup para pemimpin dan politikusnya, memperkuat etik
keagamaan dalam berpolitik justru menjadi sangat penting. Saya ingat ucapan
filsuf Jerman Immanuel Kant: barang siapa mencari sistem moral yang paling
kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama. Saya
berkeyakinan bahwa pandangan Kant itu sejalan dengan falsafah negara kita,
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar