Urgensi
Ekonomi Jalan Tol
Ronny P Sasmita ; Senior Economic Action Indonesia
(EconAct)
|
JAWA
POS, 29
Maret 2017
Dalam Rencana Strategis (Renstra) 2015–2019, pemerintah
memproyeksikan pembangunan jalan tol baru mencapai 1.000 kilometer (km).
Namun, proyeksi itu mungkin terlampaui seiring adanya percepatan proses
pembebasan lahan melalui dana talangan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).
Berdasar data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), jalan tol yang dalam proses
konstruksi hingga 2019 tercatat sepanjang 1.568 km dan yang direncanakan
dibangun dalam rentang waktu 2015–2025 adalah sepanjang 3.583 km.
BPJT juga mencatat, realisasi penambahan jalan tol pada
2015 mencapai 132 km dan pada 2016 sepanjang 44 km. Lalu, pada 2017
diproyeksikan ada tambahan 391,9 km dan 615 km pada 2018. Tahun berikutnya,
penambahan jalan tol diproyeksikan 669 km. Dengan demikian, total penambahan
jalan tol dalam kurun waktu 2015–2019 akan menjadi 1.851,9 km.
Dilihat dari sisi urgensi ekonomi strategis, penambahan
panjang jalan tol memang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Terutama
untuk wilayah yang arus kendaraannya padat seperti di Jabodetabek. Lihat
saja, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi mobil, bus, dan
kendaraan barang mencapai 21,2 juta unit pada 2014. Sedangkan sepanjang
2015–2016, penjualan mobil, bus, dan angkutan barang tercatat 2,1 juta unit.
Sehingga total populasi mobil, bus, serta angkutan barang mencapai 23,3 juta
unit.
Terlebih, jumlah kendaraan roda empat diproyeksikan masih
terus bertambah. Khusus mobil penumpang, penjualannya diperkirakan tumbuh
rata-rata 11,5 persen per tahun sepanjang periode 2017–2021. Hal tersebut
didorong terus bertambahnya jumlah kelas menengah-atas di Indonesia. Dan
memang selama ini kendaraan penumpang menjadi motor pertumbuhan pasar mobil
domestik.
Karena itu, mau tidak mau, penambahan volume kendaraan itu
mesti didukung penambahan kapasitas jalan tol. Kemacetan yang sudah menjadi
pemandangan sehari-hari di ruas jalan tol dalam kota Jakarta maupun tol
Jakarta–Cikampek dan Jakarta–Bogor–Ciawi (Jagorawi) menjadi pelajaran bahwa
pertumbuhan ruas jalan tol di Jabodetabek harus ditingkatkan. Berita baik
lainnya, sebagai upaya mengatasi kepadatan di ruas tol dalam kota dan tol
Jakarta–Cikampek serta mendukung akses ke Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), PT
Jasa Marga Tbk (Persero) berencana membangun jalan tol layang (elevated)
Cawang–Pluit–Cengkareng.
Untuk membangun proyek sepanjang 40 km dan menelan
investasi Rp 14 triliun itu, BUMN jalan tol yang satu ini akan bekerja sama
dengan PT Angkasa Pura II (Persero). Proyek tol tersebut dibangun sekaligus
sebagai upaya antisipasi kepadatan dan akomodasi pergerakan penumpang pesawat
di Bandara Soetta yang ditaksir mencapai 70 juta orang dalam beberapa tahun
ke depan. Tahun lalu jumlah penumpang domestik maupun internasional di
bandara terbesar di tanah air itu sudah mencapai 27 juta orang.
Dengan dibangunnya jalan tol layang, akses ke Bandara
Soetta bertambah dari akses tol eksisting. Penambahan akses ke Bandara Soetta
juga dilakukan PT Angkasa Pura II dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan
membangun proyek kereta ke bandara. Rencananya, kereta bandara yang
menghubungkan Stasiun Manggarai dan stasiun di Bandara Soetta sepanjang 36,3
km mulai beroperasi Juli 2017.
Dari total jarak tempuh tersebut, terdapat rel atau jalur
baru (new track) sepanjang 12,1 km antara Stasiun Batu Ceper dan stasiun
bandara. Sementara sisanya yang sepanjang 24,2 km lagi adalah jalur lama
(existing track) yang menghubungkan Stasiun Manggarai hingga Stasiun Batu
Ceper. Selain Stasiun Manggarai, nanti Stasiun Jakarta Kota juga akan
digunakan sebagai tempat pemberhentian kereta bandara. Rutenya adalah Stasiun
Kota menuju Kampung Bandan, Angke, Duri, kemudian Batu Ceper dan ke bandara.
Kereta bandara akan mampu melayani 35.000 penumpang per
hari dan dapat mengurangi 20 hingga 30 persen volume kendaraan umum atau
pribadi yang menuju bandara. Jasa Marga juga telah memulai konstruksi tol
Jakarta–Cikampek II Elevated sepanjang 36,4 km sebagai solusi mengatasi
kemacetan di simpang susun Cikunir hingga Karawang dan diharapkan bisa
selesai dalam waktu dua tahun.
Jalan tol melayang di atas jalan tol eksisting itu menjadi
solusi dalam mengatasi kepadatan lalu lintas dari Jakarta menuju Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Proyek tol Jakarta–Cikampek II Elevated tersebut mungkin
disambungkan dengan tol layang Cawang–Pluit–Cengkareng di Cikunir.
Saya kira, meski terdengar seperti proyek mercusuar, dari
sisi ekonomi strategis, publik memang layak mendukung pembangunan jalan tol
baru. Baik oleh perusahaan BUMN maupun badan usaha swasta. Dengan kata lain,
berdasar realitas lapangan yang ada, penambahan ruas jalan tol tidak bisa
ditawar lagi. Penambahan jalan tol diperlukan untuk mendukung mobilitas
manusia dan arus barang dari satu daerah ke daerah lainnya. Contohnya
pembangunan tol Jakarta–Cikampek II Elevated yang akan membantu meningkatkan
pelayanan jalan tol Jakarta–Cikampek eksisting yang telah menjadi salah satu
ruas utama distribusi barang dan jasa sejak kali pertama dioperasikan pada
1988.
Intinya, jalan bebas hambatan berperan penting untuk
mendorong konektivitas dan peningkatan daya saing maupun mendukung penurunan
biaya logistik. Infrastruktur jalan tol juga dapat memberikan efek pengganda
(multiplier effect) bagi perekonomian suatu kawasan. Dengan terbangunnya
infrastruktur jalan tol, akan tumbuh pusat-pusat ekonomi baru di daerah
sehingga terjadi pemerataan pembangunan.
Jadi, saya kira pemerintah memang harus terus mendorong
pembangunan jalan tol hingga beberapa tahun ke depan. Penambahan jalan tol
baru dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitasnya seiring makin tingginya
volume lalu lintas. Rendahnya penambahan kapasitas jalan tol yang tidak mampu
mengimbangi pesatnya pertumbuhan kendaraan mengakibatkan kemacetan di
sejumlah ruas tol, terutama tol dalam kota Jakarta, Jakarta–Cikampek, dan
Jagorawi.
Berdasar data BPJT, jalan tol yang telah dioperasikan di
seluruh tanah air saat ini mencapai 984 km. Angka tersebut masih kalah dengan
Malaysia yang sudah mengoperasikan jalan tol sejauh 3.000 km. Padahal,
Indonesia lebih dulu membangun jalan tol daripada Malaysia. Bahkan, negeri
jiran itu berguru ke Indonesia sebelum memulai pembangunan jalan tol di
negaranya.
Tidak hanya kalah dalam hal panjang jalan tol, Indonesia
juga kalah oleh Malaysia dalam hal lamanya rata-rata waktu tempuh di jalan
tol. Di negeri jiran tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak 100
km hanya 1,5 jam, sedangkan di Indonesia sekitar 2,7 jam. Hal itu disebabkan
padatnya arus kendaraan di sejumlah ruas tol di Indonesia.
Pendek kata, secara umum, penambahan ruas jalan tol dalam
konteks infrastruktur ekonomi memang sangat diperlukan karena bertujuan
meningkatkan konektivitas yang diharapkan dapat mendorong pemerataan
pembangunan di daerah. Pasalnya, salah satu teknologi andalan untuk mengatasi
semua kendala percepatan laju perekonomian regional adalah pembangunan
infrastruktur berupa jalan raya, jalan tol atau jalan penghubung, ataupun
dapat berupa sarana lapangan terbang perintis dengan fasilitas pesawat dan
SDM bandara yang memadai. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar