Menyikapi
Perdagangan Manusia
Bibit Santoso ; Mayjen TNI (Purn);
Tenaga Profesional Bidang Sosial,
Budaya, dan Pertahanan Lemhannas RI
|
KOMPAS, 29 Maret 2017
Indonesia merupakan negara yang menjadi negara asal
perdagangan orang ke luar negeri dengan tujuan Malaysia, Singapura, Brunei,
Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah. Indonesia juga menjadi negara
tujuan perdagangan orang yang berasal dari China, Thailand, Hongkong,
Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina dengan tujuan
eksploitasi seksual.
Menurut Protokol Palermo pada ayat tiga, definisi
aktivitas transaksi meliputi: perekrutan, pengiriman, pemindahtanganan,
penampungan atau penerimaan orang, yang dilakukan dengan ancaman, atau
penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain seperti penculikan,
muslihat atau tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan posisi
rawan, menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga
diperoleh persetujuan secara sadar (consent)
dari orang yang memegang kontrol atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya pelacuran (eksploitasi prostitusi)
orang lain, atau tindakan lain seperti kerja atau layanan paksa, perbudakan
atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan, atau pengambilan organ
tubuh.
Dalam hal perdagangan anak, yang dimaksud anak adalah
mereka yang umurnya kurang dari 18 tahun. Bukti empiris menunjukkan,
perempuan dan anak paling banyak menjadi korban.
Dalam laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS tentang
Perdagangan Orang tahun 2011, Indonesia masuk lapis kedua dalam standar
perlindungan korban perdagangan orang (TPPO). Indonesia dinilai termasuk
sumber utama perdagangan perempuan, anak-anak dan laki-laki, baik sebagai
budak seks maupun korban kerja paksa. Data Pemerintah Indonesia yang dikutip
dalam laporan itu, sekitar enam juta warga Indonesia menjadi pekerja migran
di luar negeri, termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah.
Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4,3 juta di antaranya berdokumen resmi
dan 1,7 juta lainnya digolongkan pekerja tanpa dokumen. Sekitar 69 persen
pekerja migran Indonesia perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan 20 persen
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri jadi korban
perdagangan manusia. Saat ini ada 6,5 juta-9 juta TKI bekerja di luar negeri.
Berdasarkan data Organisasi Migrasi Internasional (IOM), 70 persen modus
perdagangan manusia di Indonesia berawal dari pengiriman TKI secara ilegal ke
luar negeri.
Wilayah yang diperkirakan menjadi pusat perekrutan adalah
Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, dengan tujuan negara-negara di Asia,
Timur Tengah, dan Eropa. Unicef mengestimasikan sekitar 100.000 perempuan dan
anak di Indonesia diperdagangkan setiap tahun untuk eksploitasi seksual
komersial di Indonesia dan luar negeri. Sekitar 30 persen perempuan pelacur
di Indonesia di bawah usia 18 tahun dan 40.000-70.000 anak jadi korban agency exploitation.
Perdagangan orang merupakan bentuk perbudakan secara
modern, terjadi baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi, modus
kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. Perdagangan orang bukan
kejahatan biasa, terorganisasi, dan lintas negara sehingga dapat
dikategorikan sebagai transnational organized crime. Demikian canggihnya cara
kerja perdagangan orang, harus diikuti perangkat hukum yang dapat menjerat
pelaku. Perlu instrumen hukum khusus untuk melindungi korban.
Setiap korban perdagangan orang berhak mendapat bantuan
hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak
atas korban perdagangan orang meliputi memperoleh rehabilitasi baik fisik
maupun psikis akibat perdagangan dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan
kepada lingkungan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan bagi yang
masih berstatus sekolah. Tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai
ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma
kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Sulitnya pembuktian
Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi
pada tersangka atau terdakwa, sementara hak-hak korban sering diabaikan.
Dalam rangka perlindungan hukum bagi korban, dikeluarkan UU No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang,
mutlak diperlukan pembuktian. Secara teoretis, dikenal empat macam sistem
pembuktian dalam perkara pidana termasuk perdagangan orang. Pertama, Conviction
in time, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an
sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya
kesalahan yang didakwakan. Kedua, Conviction in Raisonee, adalah sistem
pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan
tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan. Faktor
keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan pada
alasan-alasan yang logis (reasonable). Ini yang membedakan dengan sistem yang
pertama.
Ketiga, Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal
dengan sistem pembuktian positif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman
pada alat bukti yang telah ditentukan oleh UU dalam memberikan putusan
tentang terbukti atau tak terbuktinya kesalahan yang didakwakan. Keempat,
Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian
negatif, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah
ditentukan oleh UU dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang
terbukti atau tak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa
(Sudikno Mertokusumo, 2006 : 141)
Pada konteks Indonesia, sistem pembuktian yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum dalam Pasal
183 yang rumusannya: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa
yang bersalah melakukannya”. Dari rumusan pasal itu terlihat bahwa pembuktian
harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah disertai dengan
keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja belum
cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim
sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua
alat bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah
memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.
Sistem pembuktian itu terkenal dengan nama sistem negatief wettelijk.
Perdagangan anak
Hasil studi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menunjukkan di
dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu,
sekitar 9,5 juta berada di Asia. Sisanya tersebar, 1,3 juta di Amerika Latin
dan Karibia, 660.000 di Sub-Sahara Afrika, 260.000 di Timur Tengah dan Afrika
Utara, 360.000 di negara-negara industri, dan 210.000 di negara-negara
transisi. Sekitar 40-50 persen anak di bawah 18 tahun.
Indonesia berada di urutan kedua kejahatan perdagangan
manusia yang melibatkan kekerasan maupun eksploitasi seksual terhadap
anak-anak pada 2012. Menurut PBB, Indonesia masuk wilayah tujuan, transit dan
negara asal (sending, transit and producing area) untuk perdagangan manusia.
Penyebab utama maraknya praktik ini karena impitan ekonomi dan tak
tersedianya lapangan kerja, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat keamanan
yang rendah, dan kurangnya rasa peduli pemerintah sehingga peluang-peluang
itu diambil oknum-oknum tak bertanggung jawab. Anehnya, bos besar perdagangan
manusiatak pernah tertangkap di Indonesia maupun di luar negeri, padahal
sudah banyak korban.
Salah satu penyebab kian maraknya perdagangan manusia
adalah keuntungan yang diperoleh pelakunya sangatlah besar, mencapai 32
miliar dollar AS setiap tahun menurut ILO. Menurut PBB, perdagangan manusia
adalah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia, menghasilkan sekitar
9,5 juta dollar AS dalam pajak tahunan, dan salah satu perusahaan kriminal
paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang, perdagangan
narkoba, pemalsuan dokumen, dan penyeludupan manusia.
Di Indonesia, kasus perdagangan anak telah mencapai
tingkat sangat memprihatinkan. Perdagangan anak ini sangat berhubungan erat
dengan kesejahteraan penduduknya. Sebagian besar anak yang diperjualbelikan
berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, dengan pelaku tak jarang
orangtuanya sendiri.
Negara, dalam hal ini pemerintah, terbilang sangat peduli
dan telah menyediakan beberapa ”amunisi” untuk melindungi hak-hak anak
penerus generasi bangsa. Terdapat empat UU yang memiliki poin-poin krusial
berkenaan dengan permasalahan hak asasi anak, yakni UU Kesejahteraan Anak, UU
Hak Asasi Manusia, UU Konservasi Anak, serta UU Hukum Pidana. Namun,
penerapannya terbukti banyak hambatan karena berbenturan dengan sistem sosial
dan akar budaya Indonesia yang sebagian besar masih mendiskriminasikan
anak-anak dan wanita.
Permasalahan perdagangan manusia seperti fenomena gunung
es yang kita belum mampu mengalkulasi datanya dengan pasti sampai ke
dasarnya. Di Indonesia, Protokol PBB tentang Trafficking diadopsi dalam
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan PerdaganganPerempuan dan Anak. RAN
dikuatkan dalam bentuk Keppres RI Nomor 88 Tahun 2002.
Hampir semua pola perdagangan ilegal dan perbudakan
memerlukan tanggapan bilateral dan multilateral. Artinya, dengan melibatkan
beberapa negara dengan yurisdiksi yang berbeda-beda. Perlu kerja sama dan
peraturan bersama, misalnya tentang pemulangan korban dan peradilan pidana.
Nantinya, Konvensi ASEAN Anti Perdagangan manusia bisa menjadi instrumen
penting memerangi perdagangan manusia dengan lebih efektif.
Berikut beberapa saran untuk mengatasi perdagangan
manusia. Pada level komunitas, memberikan pelatihan padat karya kepada komunitas-komunitas
yang belum mempunyai kemampuan untuk meningkat perekonomian komunitas dan
memberikan pengetahuan tentang perdagangan manusia. Pada level nasional
antara lain menegakkan UU No 21 Tahun 2007, meningkatkan keamanan penjagaan
di perbatasan negara, baik darat maupun laut dan udara, meningkatkan keamanan
di imigrasi (izin keluar negeri), meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan
pendidikan, menutup tempat-tempat yang berpotensi terjadi eksploitasi
seksual.
Pada level luar negeri antara lain meningkatkan hubungan
kerja sama antar-negara, mengadakan operasi bersama, dan membentuk organisasi
untuk memerangi perdagangan orang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar