Penyelenggara
Pemilu Harus Independen
Ramlan Surbakti ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga di
Bidang Perbandingan Politik; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Ketua Komisi Pemilihan Umum
2004-2007
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Maret 2017
SALAH satu hasil studi banding Pansus RUU Penyelenggaraan
Pemilu DPR ke Meksiko dan Jerman ialah keinginan sejumlah anggota untuk
menempatkan anggota partai sebagai penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Keinginan
itu konon diajukan karena kedua negara tersebut menempatkan anggota partai
sebagai anggota KPU. Dua catatan hendak disampaikan untuk menanggapi usul
sebagian anggota pansus tersebut.
Pertama, pengalaman kedua negara tersebut dan kedua,
pengalaman Indonesia.
Bentuk keterlibatan partai politik dalam proses
penyelenggaraan pemilu di suatu negara selalu terkait dengan pengalaman
bangsa itu terhadap keterlibatan partai politik di negara tersebut. Jarang
atau bahkan tidak ada suatu negara mengadopsi begitu saja pengalaman negara
lain. Ide atau inspirasi bisa muncul dari pengalaman dari negara lain, tetapi
penerapannya selalu terkait dengan konteks tempat ide itu akan diterapkan.
Pengalaman Jerman dan Meksiko
Di Jerman tidak ada lembaga khusus yang bersifat permanen
untuk menyelenggarakan pemilu. Apa yang disebut Badan Penyelenggara Pemilu
(Electoral Management Body/EMB) di Jerman terbentuk ketika menteri dalam
negeri menunjuk kepala badan statistik, yang dalam bahasa Inggris disebut
Federal Returning Officer, menjadi ketua. Ketua itu kemudian membentuk
panitia pemilihan yang beranggotakan sembilan orang, termasuk dirinya sebagai
ketua.
Delapan anggota itu dicalonkan ketua kepada Bundestag
(Parlemen) untuk mendapat persetujuan. Delapan orang itu berasal dari
birokrat, partai, akademisi, dan NGO. Rekrutmen keanggotaan itu bukan
representasi setiap unsur tersebut, melainkan dicalonkan berdasarkan
profesionalisme dan kemampuan kerja sama.
Jadi, keterlibatan partai dalam penyelenggaraan pemilu
bukan representasi setiap partai yang memiliki kursi di Parlemen. Masa
keanggotaan delapan orang itu berakhir ketika Bundestag terbentuk.
Penyelenggara pemilu di Meksiko telah berubah tiga kali. Pada
1990 dibentuk suatu badan penyelenggara pemilu yang diberi nama IFE,
Instituto Federal Electoral (bahasa Spanyol) atau Federal Electoral Institute
(bahasa Inggris). Badan yang beranggotakan sebanyak 11 orang diketuai ex
officio (karena jabatannya) menteri dalam negeri dan Sekretaris Eksekutif IFE
dijabat Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri. Anggotanya kebanyakan
dari partai yang secara terus-menerus memenangi pemilu, yaitu Partido
Revolucionario Institucional (PRI).
Seperti dalam negara birokratik-otoriter lainnya,
kemenangan PRI bahkan sudah dapat diketahui sebelum pemilu.
Boleh dikatakan sampai dengan 1999, IFE Mexico sama dengan
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) di Indonesia yang juga diketuai menteri dalam
negeri dan dengan Sekretaris Umum LPU dijabat Sekretaris Jenderal Departemen
Dalam Negeri.
Golongan Karya di Indonesia ialah PRI-nya Meksiko.
Itulah salah satu sebabnya mengapa Golkar mengusulkan
salah seorang kader mereka (David Navitulu) menjadi Duta Besar Indonesia
untuk Meksiko pada era itu.
Ketika PRI mengalami kekalahan dalam Pemilihan Presiden
2000, Meksiko mengalami transisi ke demokrasi.
IFE mengalami perubahan besar-besaran: IFE menjadi lembaga
independen terlepas dari lembaga eksekutif dan pegawai IFE bukan lagi pegawai
Depdagri, melainkan pegawai IFE yang direkrut berdasarkan pendidikan dan
keahlian.
Anggota IFE tetap 11 anggota independen mempunyai hak
bicara (menyampaikan pandangan) dan suara (membuat keputusan), sedangkan 7
orang dari wakil parlemen dan 7 orang dari wakil partai politik yang tercatat
secara nasional, dan Sekretaris Eksekutif IFE mempunyai hak bicara, tetapi
tidak memiliki hak suara.
Pegawai IFE mengalami proses profesionalisasi dalam tata
kelola pemilu. Pada November 2001, saya dan empat anggota KPU lainnya
berkunjung selama lima hari untuk mempelajari bagaimana IFE menyelenggarakan
pemilu di Meksiko.
Kami berdiskusi bukan dengan ketua dan anggota IFE yang
hanya ke kantor bila bersidang, melainkan dengan para direktur/Biro
Sekretariat Eksekutif IFE.
IFE setelah mengalami reformasi memang merupakan salah
satu KPU terbaik di dunia.
Pada 2014, IFE berganti nama menjadi INE, Instituto
Nacional Electoral (National Electoral Institute).
Bila sebelumnya IFE hanya menangani pemilu federal (pemilu
presiden, DPR, dan senat) sesuai dengan namanya, dengan nama baru Badan
Penyelenggara Pemilu Meksiko sekarang juga menyelenggarakan pemilu di negara
bagian.
Karena itu, KPU Meksiko sekarang sama dengan Indonesia
yang bersifat nasional, permanen, dan independen.
Keanggotaan INE tetap 11 orang dengan masa jabatan 9 tahun
yang bersifat staggering: 3 anggota dengan masa jabatan 3 tahun, 4 anggota
dengan masa jabatan 6 tahun, dan 3 anggota yang memulai dengan masa jabatan 9
tahun.
Ketua dan 10 anggota lainnya dicalonkan tim yang dibentuk
presiden kepada Camara de Diputados (DPR) untuk mendapatkan persetujuan.
Kantor INE menempati markas besar IFE, satu kompleks
dengan Kantor Electoral Tribunal (Pengadilan Khusus Pemilu).
Singkat kata, peran partai politik sebagai penyelenggara
pemilu semakin lama semakin hilang.
Peran partai politik dalam proses penyelenggaraan pemilu
semakin menonjol pada bidang pengawasan di samping sebagai pembuat
undang-undang yang mengatur pemilu.
Pengalaman Indonesia
Proses penyelenggaraan pemilu selama pemerintahan Orde
Baru dilukiskan para ilmuwan politik sebagai authoritarian election (pemilu
otoriter) yang ditandai setidak-tidaknya dua karakteristik: persaingan
antarpeserta pemilu tidak adil dan tidak bebas (Golkar didukung sepenuhnya
oleh pemerintah, ABRI, dan birokrasi) dan hasil pemilu sudah diketahui
sebelum pemilu.
Pengalaman pemilu tidak demokratis itulah yang kemudian
menjadi alasan partai politik mendesak agar setiap partai politik peserta
pemilu diwakili dalam KPU dan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) sebagai
penyelenggara pemilu.
Pada Pemilu 1999, KPU beranggotakan sebanyak 53 orang: 48
wakil partai dan 5 wakil pemerintah, tetapi hak suara antara wakil partai dan
wakil pemerintah sama (50%:50%).
Apa yang terjadi pada pelaksanaan Pemilu 1999? Pertama,
KPU gagal menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu karena hanya 17 dari 48
partai yang bersedia menandatangani berita acara dan hasil pemilu.
Satu-satunya alasan ialah kecewa karena harapan tidak
tercapai.
Panwas 1999 meminta agar yang keberatan mengajukan bukti
pelanggaran, tetapi hanya satu partai yang mengajukan.
Kami dari Panwas waktu itu mengusulkan kepada Presiden BJ
Habibie sebagai kepala negara untuk mengambil alih penetapan dan pengumuman
hasil Pemilu 1999 (yang menyusun dan menyerahkan surat Panwas itu masih
hidup, seperti Satya Arinanto, Todung Mulya Lubis, dan Ketua Panwas Pemilu
1999 [Hakim Agung Sudarto]).
Kedua, peraturan pemilu bisa diubah setelah pemungutan dan
penghitungan suara untuk memenuhi kepentingan partai, seperti calon di suatu
daerah mengisi kursi partai di daerah lain, perjanjian beberapa partai untuk
mendapatkan sisa kursi, dan surat dari Ketua KPU untuk memenuhi kepentingan
partai.
Jenderal Rudini sebagai Ketua KPU waktu itu mengakui
menandatangani hampir setiap surat yang disodorkan anggota KPU/partai
walaupun bertentangan tidak saja dengan undang-undang, tetapi juga dengan
surat yang ditandatangani sebelumnya.
Bagi partai waktu itu, kepentingan partailah yang menjadi
hukum pemilu.
Artinya, bila menyangkut kepentingan partai, undang-undang
yang tidak mendukung kepentingan itu harus diubah dengan segala cara.
Karena itu, bila ada anggota DPR mengatakan Pemilu 1999
sebagai pemilu terbaik, berarti anggota yang terhormat tidak tahu apa yang
terjadi pada waktu itu.
Pengalaman cara kerja KPU pada Pemilu 1999 itulah yang
menjadi alasan mengapa pemerintah mengajukan perubahan terhadap UU Nomor
3/1999 kepada DPR.
Yang diubah dalam UU Pemilu tersebut hanya mengenai
keanggotaan KPU: jumlah anggota paling banyak 11 orang, dan keanggotaan KPU
harus berasal dari kalangan independen dan nonpartisan.
Kesepakatan itu diadopsi dalam Perubahan UUD 1945, yaitu
Pasal 22E ayat (5): Pemilihan Umum diselenggarakan suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
KPU yang bersifat mandiri berarti pemilihan umum tidak
diselenggarakan anggota partai yang cenderung bertindak partisan seperti pada
Pemilu 1999, tetapi diselenggarakan mereka yang bukan anggota partai, tetapi
tidak antipartai.
Atas permohonan sejumlah warga negara untuk membatalkan
sejumlah pasal pada UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD
dan DPRD, Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilu diselenggarakan mereka yang
bukan anggota partai atau telah mengundurkan diri sebagai anggota partai
terhitung lima tahun dari saat pendaftaran.
Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa sejumlah anggota
pansus yang melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko mengajukan usul
yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, Amar Putusan MK, dan
pengalaman/bukti empiris kegagalan partai menyelenggarakan pemilu? Apakah
karena kekaguman atas apa yang terjadi di kedua negara tersebut, yang
ternyata (keterlibatan anggota partai di KPU) tidak seperti yang dibayangkan
anggota DPR? Apakah karena tidak tahu pengalaman kegagalan anggota partai
menyelenggarakan Pemilu 1999? Atau, karena partai kekurangan peran dalam
pemilu?
Partai politik di DPR bersama pemerintah (yang juga
peserta pemilu) merumuskan dan menetapkan Undang-Undang Pemilu, menyeleksi
dan menetapkan anggota KPU dan Bawaslu, dan menjadi peserta pemilu.
Apakah partai politik hendak memonopoli pemilu (KPPU
mungkin perlu turun tangan)?
Satu lagi peran partai yang selama ini cenderung diabaikan
ialah mengawasi proses penyelenggaraan pemilu. Di mana pun di dunia ini
partai politik sebagai peserta pemilu merupakan salah satu pengawas pemilu.
KPU yang bersifat independen/mandiri sudah selesai baik
secara konstitusional maupun bukti empiris. Mengapa membuang energi untuk
sesuatu yang sudah selesai? Bukankah masih banyak isu penting dari RUU Pemilu
tersebut yang perlu didialogkan secara terbuka?
Isu penting itu seperti bagaimana menjamin equal
representation (jumlah penduduk untuk satu kursi DPR setara untuk seluruh
provinsi) sebagaimana dikehendaki Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (prinsip
kesetaraan antarwarga negara dalam politik dan pemerintahan belum pernah
dijamin dalam 11 kali pemilu di Indonesia), bagaimana KPU mengelola proses
penyelenggaraan pemilu (apakah para anggota KPU menetapkan peraturan dan
kebijakan dan melaksanakan secara teknis setiap tahapan pemilu masih
dipertahankan?), dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu
yang adil dan tepat waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar