Zaman
Edan
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS, 06 April 2017
Orang gila, baik laki maupun perempuan, sering kita jumpai
telanjang bulat di tengah jalan ramai. Bagi si gila, telanjang itu kewarasan
meski di tengah kerumunan. Namun, bagi rakyat umumnya telanjang semacam itu
tidak waras alias gila. Kini banyak pejabat tinggi yang ketahuan korup dan
ditelanjangi KPK serta pengadilan, merasa dirinya waras-waras saja, bahkan
menuduh KPK sebagai lembaga edan. Mereka telanjang bulat di depan umum di
halaman gedung KPK dan pengadilan, tetapi menampakkan kebanggaannya dan
mengumbar senyum serta lambaian tangan, mirip wong edan di jalanan.
Zaman semakin edan. Kekuasaan negara adalah medan
petualangan, yaitu suatu medan kaum soldier of fortune, tentara bayaran.
Kalau mau cepat kaya raya selama lima tahun berusaha keraslah memperoleh
jabatan kekuasaan negara, tingkat mana pun. Bagaimana caranya Pak? Ah,
kura-kura dalam perahu, ya bersahabatlah dengan parpol. Hanya mereka yang
dapat mengantar kamu ke gerbang kekuasaan.
Siapa yang dapat kamu pilih sebagai yang berkuasa
ditentukan parpol, mungkin mengikuti tradisi negara-negara maju yang telah
ratusan tahun berdemokrasi. Namun, jumlah partai mereka tak banyak dan rakyat
yang dengan sederhana memahami idealisme politik mereka.
Di Indonesia terlalu banyak partai. Pada Pemilu 1955
terdapat 100 lebih gambar partai. Rakyat tak tahu-menahu idealisme setiap
partai. Dengan demikian, kepemimpinan demokrasi kita bersemboyan: dari
partai, oleh partai, dan mudah-mudahan untuk rakyat, bukan untuk partai.
Semboyan terkenal Abraham Lincoln, "Pemerintahan Dari
Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat tak akan lenyap dari muka bumi",
tak berlaku di Indonesia. Apakah pemerintahan kita akan lenyap dari muka
bumi?
Kegemaran orang mendirikan partai baru belum lenyap sampai
kini. Membangun parpol tentu butuh dana besar, mirip membangun perusahaan
nasional. Masalahnya apa orang bersedia menggelontorkan uang demi idealisme
kekuasaan? Di zaman pergerakan nasional (zaman kolonial), mungkin hanya butuh
idealisme tanpa memikirkan uang.
Uang membangun politik, politik butuh uang. Dalam
lingkaran setan kekuasaan semacam itu tidak mengherankan apabila kekuasaan
berarti uang. Idealisme politik tak lagi penting. Orang tak lagi mau berkorban
diri demi politik, seperti dilakukan Bapak-Bapak Bangsa sampai 1950-an.
Banyak dari mereka hidup miskin di hari tuanya.
Mau cepat kaya, bosan hidup miskin terus-menerus? Duduklah
di kursi kekuasaan negara ini. Pendapatan mereka edan untuk ukuran PNS. Untuk
dapat penghasilan satu juta rupiah saja, seorang dosen harus pergi-pulang
naik kereta api ke luar kota yang jauh jaraknya. Tak dapat membayangkan
bagaimana seorang pejabat memperoleh pendapatan ratusan juta, bahkan miliaran
rupiah, untuk kerja yang sama.
Kondisi abnormal
Korupsi adalah semacam "hak istimewa" para elite
kekuasaan. Korupsi, apa pun bentuknya, adalah way of life kaum elite ini.
Justru mereka yang berkuasa dan tak edan korupsi akan dinilai kurang waras
dan dimusuhi. Barang siapa tak mau edan akan disingkirkan dari kelompok ini.
Dicari segala macam alasan untuk digulingkan dari kekuasaan. Memang sudah
zaman edan.
Zaman edan adalah kemerosotan rohani atau spiritual para
penguasa. Dalam mitos-mitos kerajaan Jawa, yang mengenal hierarki kekuasaan
negara, korupsi edan-edanan kerap terjadi sejak zaman Mataram Kuno. Dan, jika
hal ini terus berlanjut, negara di ambang keruntuhannya. Pujangga Keraton
Jawa abad ke-19, Ronggowarsito, memberikan kesaksian sebagai berikut:
meskipun negara dipimpin oleh orang-orang yang mulia hatinya dan cerdas
pemikirannya, mereka tak kuasa menghapus zaman edan.
Dalam zaman edan, yang tak edan tak kebagian kekayaan
(negara). Namun, beruntunglah mereka yang eling (ingat Tuhan) dan senantiasa
waspada (tahan melawan godaan) karena hanya mereka yang akan selamat. Mereka
yang edan tak akan selamat dari pengadilan rakyat apa pun bentuknya, dirinya
ataupun keturunannya. Kejahatan tersembunyi ada waktunya akan terbuka. Itulah
kepercayaan mitos.
Bagaimana pemecahan logosnya? Kondisinya sudah amat luar
biasa, sudah edan. Dalam keadaan abnormal tak mungkin dipecahkan secara
normal. Pemecahannya harus edan juga. Lembaga semacam KPK adalah bentuk
ketaknormalan itu. Ia boleh menyadap, yang dalam keadaan normal dapat
diajukan ke pengadilan. Ia boleh membawa semua rahasia pribadi tersangka. Ia
boleh menanyai siapa pun dengan paksa.
Pemerintah pun juga harus berani edan dengan memecat
bawahannya yang ketahuan kumat. Pemecatan orang edan adalah normal, jangan
dimasalahkan dari segi kondisi zaman normal. Memiskinkan koruptor itu amat
normal di zaman edan ini. Jelas dia maling uang negara dan sudah dibuktikan
oleh pengadilan.
Mengapa uang negara yang dikorup tak dikembalikan ke
pemiliknya? Kalau saya kecurian mobil dan pencurinya sudah tertangkap, masak
mobil saya boleh dimiliki pencurinya? Yang edan siapa? Revolusi mental jangan
hangat-hangat tahi ayam. Revolusi harus dari atas, percuma membersihkan dari
bawah, ketika yang atas dibersihkan, bawah yang sudah bersih akan kotor lagi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar