Timur Tengah dalam Pepatah
Novriantoni Kahar
; Pengamat
Timur Tengah; Dosen Paramadina
|
KORAN
TEMPO, 30 Maret 2015
Apa yang bisa
kita simpulkan dari benang kusut yang kini melilit-lilit Timur Tengah? Kalau
bagi saya, persoalannya sederhana saja: yang gatal kepala, yang digaruk malah
punggung! Atau mungkin dapat juga disimpulkan dengan perkataan lain: lain
yang sakit, lain pula yang dirawat. Kenapa bisa begitu, apa pula masalahnya?
Kalau kita
ikuti urut-urutan pergolakan di sana secara saksama, tepatnya sejak
rezim-rezim lapuk status quo mulai bertumbangan, dimulai oleh kaburnya Ben
Ali dari Tunisia (14 Januari 2011), diikuti tergulingnya Husni Mubarak di
Mesir (10 Februari 2011), disusul matinya Muammar Qadhafi (Agustus 2011),
berlanjut ke hengkangnya Ali Abdullah Saleh dari Yaman (23 November 2012),
lalu menjalar ke Bashar al-Assad yang masih liat saja di Suriah (sejak
Januari 2012), sebetulnya penyakit Timur Tengah ini sudah jelas dan kentara:
tak mau berkongsi di bidang kekuasaan. Dalam bahasa kerennya: power sharing.
Saya masih
berpegang pada tesis ini, sampai ada tesis lain yang lebih tepercaya. Sebab,
dari enam negara yang konon diterpa badai Musim Semi Arab sejak 2011, hanya
Tunisia yang masih menjanjikan peralihan menuju demokrasi yang menjanjikan.
Kuncinya: kemauan berbagi porsi kekuasaan secara damai di antara
elite-elitenya. Makan nangka sama-sama, terkena getah pun sama-sama pula.
Sebab, nangka yang dipanen pada masa peralihan ini tampaknya sangat bergetah,
bahkan berdarah.
Nun dari
Raqqa, Ibu Kota Khilafah, Al-Baghdadi mulai menjulurkan lengan-lengannya ke
arah nangka yang mereka perebutkan. Di Bahrain, perebutan nangka reda sejak
dini karena dititipkan untuk sementara di Kerajaan Saudi.
Pada nangka
Suriah tak hanya terkandung getah, melainkan lebih banyak unsur darah. Sudah
empat tahun nangka itu menyemburkan darahnya, dan sepertiga
nangka-getah-darah itu kini justru dimangsa para petualang dari berbagai
belahan dunia. Sepertiga nangka Suriah ini-oleh seorang yang kreatif bernama
Al-Baghdadi-lalu dikawinkan dengan separuh nangka Irak yang tak lagi manis
sejak diolah Amerika pada 2003. Namun gabungan nangka Suriah dan Irak ini
justru melahirkan spesies nangka Khilafah yang diklaim akan utuh dan akan
terus membesar.
Anehnya, para
penguasa Timur Tengah sampai kini masih memandang remeh nangka Khilafah.
Padahal spesies ini telah mengancam nangka-nangka dalam negeri mereka. Yang
mereka persoalkan justru nangka Houthi asal Yaman yang mereka anggap berbau
Persia. Dimotori Saudi, ramai-ramailah mereka menghantam nangka Yaman yang
rupanya juga perpaduan jenis Houthi dan jenis Ali Salehi yang belum mati. Dan
kalaupun ada aroma Persia sebagaimana nangka Suriah, ini tentulah jenis
nangka yang agak liat.
Saya tak
paham, akan ke mana arah sengitnya perebutan nangka yang kadang dianggap
mengandung unsur Sunni-Syiah ini. Kalau persoalannya mereka benar-benar
lapar, tentu akan lebih bijak bila mereka menanam dan merawat nangka bersama-sama.
Bukan malah menebar getah atau malah memancitkan darahnya. Tapi entahlah,
apalah saya. Mungkin hanya pungguk yang merindukan nangka!
Yang pasti
saya khawatir, semua mereka semua justru hanya memperebutkan getah dan darah,
sementara yang di sana asyik menonton pertunjukan mereka, sambil mengunyah
apel Washington dan atau mengupas jeruk Tel Aviv! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar