Selasa, 21 April 2015

Pewangi

Pewangi

Putu Setia  ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO.ID, 19 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di ruang kerja saya, bercokol alat pewangi yang sudah saya beli hampir dua tahun lalu. Harganya Rp 65 ribu komplet baterai. Setiap bulan saya hanya membeli isi ulang minyak wanginya, rata-rata Rp 15 ribu. Setahun, anggaran pewangi jadi Rp 180 ribu. Kalau tiap tahun alat penyemprotnya harus diganti, total anggaran pewangi itu Rp 245 ribu. Seharusnya saya bisa berhemat kalau mau mematikan alat penyemprot itu jika saya pergi beberapa hari.

Mohon tak membandingkan dengan pewangi di ruang kerja DPR. Beda merek dan aroma, beda harga. Tapi, konon, di dunia wangi-wangian, perbedaan itu tipis. Kalau dianggap sama, berapa anggaran pewangi ideal di ruang kerja DPR? Jika ada seribu ruangan, termasuk toilet dan lorong, anggaran yang dibutuhkan cuma Rp 245 juta. Sebutlah di sudut-sudut lain juga ada pewanginya dengan kualitas lebih yahud, anggarannya tak sampai Rp 1 miliar. Ini persis seperti anggaran pewangi DPR tahun lalu. Sekarang kenapa anggaran pewangi itu membengkak sampai Rp 2,3 miliar? Kata teman saya, "Karena banyak anggota DPR sekarang berbau busuk, jadi perlu pengharum lebih banyak, meskipun tetap saja busuk."

Ah, itu sindiran teman, saya tak mau terhasut. Saya positif saja. Saya menduga anggota DPR butuh yang lebih wangi karena kini banyak dari kalangan artis yang biasa pesolek. Juga bertambah banyak perokoknya, bahkan ada yang merokok di ruang sidang, meski cepat minta maaf-karena ketahuan. Jadi, penyebab bau busuk itu, busuk yang sebenarnya bukan kiasan, karena ulah mereka sendiri.

Kelengkapan di gedung parlemen sering disebabkan oleh ulah anggota parlemen yang tak bisa mengendalikan diri. Misalnya, kini ada wacana untuk membentuk "polisi parlemen". Usul itu lahir karena sidang-sidang di gedung rakyat ini suka ricuh. Ada meja dijungkirkan, ada saling dorong, bahkan ada yang berkelahi. Petugas pengamanan internal kewalahan, maka "polisi parlemen" diusulkan. Coba kalau mereka disiplin bersidang seperti rapat-rapat masyarakat adat, tak akan ada pikiran membuat polisi khusus. Anggota parlemen perlu belajar dari rakyat.

Rumah jabatan DPR di Kalibata dan Ulujami pun tahun ini dianggarkan Rp 36 miliar lebih. Ini juga tak masuk akal, kenapa rumah itu diperbaiki terus padahal tak banyak dihuni anggota. Saya sering ke Kalibata karena teman saya jadi anggota DPR dari "fraksi hidup sederhana". Rumah jabatan itu tak besar amat. Bagi anggota DPR dari "fraksi hidup mewah", rumah jabatan itu tak dilirik. Tak ada kolam renang khusus, misalnya. Tapi ada penghuninya, heran kan?

Anggota DPR saat ini memang lain dibanding masa lalu. Perhatian mereka kepada sesama makhluk hidup sangatlah besar. Misalnya, di taman gedung DPR sekarang ada 58 ekor rusa. Anggaran makan dan perawatannya setahun Rp 650 juta atau Rp 54 juta lebih sebulan atau sehari hampir Rp 2 juta. Tidak banyak. Tapi adakah kaitan antara rusa dan hak angket? Tentu anggota DPR lebih maklum dibanding saya sebagai rakyat.

Pimpinan DPR sendiri tak peduli dengan anggaran-anggaran itu. Kutip misal pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, "Anggota DPR itu tidak ada hubungannya dengan belanja maintenance gedung, itu agak jauh, jadi itu bukan konsen anggota DPR dan pimpinan." Kalau urusan "rumah tangga" saja tak konsen, bagaimana dengan urusan rakyat yang jauh dari Senayan? Di sini saya merasa sedih sebagai rakyat, karena saya memilih anggota DPR itu sebagai wakil rakyat, artinya "petugas rakyat". Kalau tak mau disebut "petugas rakyat", ya, silakan keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar