Ogoh-ogoh
Putu Setia ; Pengarang,
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
22 Maret 2015
Tahun baru Saka, yang
disebut Nyepi, sudah berlalu kemarin. Sehari sebelumnya, umat Hindu di
berbagai tempat mengarak ogoh-ogoh ke jalanan. Ini adalah patung dari bahan
ringan yang menggambarkan wajah raksasa, simbol dari Sang Butha alias setan.
Terserah mau mewujudkan raksasa perkasa, raksasa kemayu atau raksasi, raksasa
jomblo, atau raksasa setengah binatang.
Butha itu simbol jahat
yang harus diperangi dari semesta. Juga simbol nafsu jahat dalam diri kita.
Kenapa diarak ke jalanan? Inilah perjalanan budaya salah kaprah. Dulu, ritual
membersihkan alam ini cukup dengan sesajen, dan pendeta melafalkan doa-doa
"mengusir setan". Masyarakat kurang sreg kalau tak ada visualisasi,
maka dibuatlah patung raksasa yang terbuat dari jerami dibalut kertas dan
dicat warna-warni. Lama-lama lantas ada ide, patung yang bagus itu sebaiknya
diusung di sekitar tempat ritual. Tahun-tahun berlalu, masyarakat semakin
kaya, ogoh-ogoh pun semakin bagus. Maka patung itu diarak ke jalan-jalan
desa. Dan terjadilah seperti sekarang, ogoh-ogoh semakin canggih, dibuat dari
gabus yang membuat pencinta lingkungan ngamu, dan pemuka agama pun khawatir
ogoh-ogoh itu tak lagi sakral. Tapi kegembiraan anak-anak muda itu susah
dilarang. Yang diwajibkan adalah wajah ogoh-ogoh tetaplah raksasa dan-setelah
ritual selesai-kemudian dibakar. Jangan ada kesan ogoh-ogoh simbol kejahatan
dan nafsu buruk itu justru seolah dipuja-puji, diusung dengan meriah.
Pada hari Nyepi kemarin
saya merenung (Nyepi itu hari introspeksi), jangan-jangan kita sudah salah
kaprah dalam banyak hal seperti budaya ogoh-ogoh. Yakni, orang-orang jahat,
setidaknya orang yang pernah berbuat tidak baik dan sudah dihukum, ternyata
sekarang disanjung dan didukung. Masih ingat Aceng Fikri, mantan Bupati Garut
yang diberhentikan karena pernikahan siri empat hari dengan gadis muda Fani
Oktora? Aceng dicopot dan orang mencelanya. Namun celaan itu justru
membuatnya terkenal, dan Aceng Fikri memanfaatkan keterkenalannya tersebut
dengan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kini ia jadi senator di
Senayan.
Ada pimpinan DPRD DKI
Jakarta yang kini ngotot berbicara masalah hukum dan pemberantasan korupsi,
padahal dia sendiri adalah mantan napi korupsi. Ada tokoh terkenal, kini
wakil ketua umum partai, yang ribut menyuarakan kebenaran menurut versinya,
dan orang mungkin terkagum. Ternyata dia pernah dibui untuk kasus korupsi.
Yang menarik adalah sejumlah netizen-para penggila Twitter-yang bermaksud
"mem-bully" seorang
tokoh, sampai tokoh itu menjadi trending
topic dunia, nomor tiga populer tingkat dunia. Kalau suatu ketika dia
menjadi calon presiden, misalnya, jangan-jangan banyak pemilihnya.
Masyarakat
kita tak panjang ingatan. Siapa yang populer, itulah yang dipilih. Tak peduli
masa lalunya kelam, pernah korupsi atau melecehkan perawan desa.
Apa yang mau saya katakan
selain menuturkan ogoh-ogoh? Hukum kita tak berhasil membuat orang malu
berbuat jahat. Orang tidak takut masuk bui karena korupsi, apalagi masih
dapat remisi. Tinggal di penjara tak membuat jera, toh dihuni sebentar.
Keluar dari bui, uang hasil korupsi masih berlimpah, mengandalkan kepandaian
bicara dan banyak duit, dukungan orang masih bisa diraih.
Barangkali perlu
dihidupkan kembali syarat "tak tercela" untuk jabatan publik, memperkaya surat keterangan berkelakuan baik
dari kepolisian yang selama ini basa-basi. Yang jelas, koruptor harus
dimiskinkan dan hukumannya diperberat. Jangan sampai mereka jadi manusia
ogoh-ogoh, diusung ramai-ramai padahal bernafsu setan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar