Terima
Kasih Guru
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 20 Maret 2015
Ketika
mengenang pengalaman belajar sejak tingkat SD sampai SLTA, yang muncul adalah
sosok bapak dan ibu guru yang mengesankan dan menorehkan kenangan manis di
benak saya, bukannya kurikulum dan mata pelajarannya.
Jadi,
sosok guru jauh lebih berpengaruh ketimbang mata pelajaran, bahkan fasilitas
sekolahnya. Dalam berbagai workshop pendidikan saya sering bertanya kepada
para peserta: sebutkan nama bapak atau ibu guru yang paling berkesan dan
memengaruhi perjalanan hidup Anda.
Di
situ terlihat, ada peserta yang dengan lancar menyebut nama-nama guru yang
mengesankan dan memengaruhi kepribadiannya yang masih dikenang sampai
sekarang. Namun ada pula peserta yang sulit dan ragu-ragu mengingat guru-guru
yang meninggalkan kesan mendalam.
Sewaktu
di pesantren saya pernah membaca kalimat: Atthoriqotu
ahammu minal maddah. Wal muallim
ahammu min atthoriqoh. Bahwa cara dan seni mengajar itu lebih penting
dari materi pelajarannya. Namun guru lebih penting dari metode mengajar.
Artinya, sebaik apa pun kurikulum, yang menentukan keberhasilan pendidikan
itu kualitas gurunya. Di tangan guru yang baik dan andal, pelajaran apa pun
jadi menarik dan efektif memengaruhi anak didik.
Bahkan
tempat belajar tidak mesti yang mewah. Guru yang menguasai bahan ajar dan
kreatif bisa menggunakan lingkungannya sebagai bahan dan medium pembelajaran.
Saya punya pengalaman sewaktu belajar di pesantren dengan fasilitas yang
sangat sederhana dengan menggunakan ruangan di serambi masjid lalu dibuat
sekat pembatas.
Di
situ ada papan tulis, meja, dan bangku belajar. Tapi guru-gurunya sangat
serius dan disiplin mengajar. Kami bermain voli, tenis meja, dan sepak bola
di halaman masjid. Masjid dan sekitarnya menjadi pusat bagi para santri
membangun learning community. Almarhum Kiai Hamam Jafar mengatakan, halaman
masjid itu belum Islam sebelum dibuat bersih, asri, dan dimanfaatkan dengan
baik.
Batu
dan pasir di sungai dekat pesantren juga diislamkan dengan memanfaatkannya
untuk membuat gedung sekolah secara gotong-royong antara santri dan penduduk
desa. Kiai Hamam mengajarkan konsep dan ekspresi keberislaman dengan
menanamkan rasa cinta pada ilmu dan peduli lingkungan alam maupun sosial.
Ketika ujian kenaikan kelas tak perlu diawasi, padahal soal ujian cukup
berat.
Berbohong
waktu ujian itu mengotori jiwa, merendahkan martabat diri dan melakukan
penipuan sosial. Yang tidak siap ikut ujian dengan jujur disarankan tidak
usah ikut ujian. Ujian itu untuk naik jenjang dan kalau dilakukan dengan
curang sama saja malah menurunkan kualitas dan harga dirinya. Jadi, ketika
saya belajar, yang lebih terasa itu sentuhan jiwa.
Jiwanya
yang diisi, baru kemudian informasi keilmuan. Ini hanya bisa dilakukan oleh
guru-guru yang kreatif, kaya dengan metode dan memiliki karakter serta
mencintai profesinya. Guru-guru atau pendidik seperti ini yang mestinya
dibentuk dan dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belajar itu
tidak sekadar menghimpun informasi keilmuan untuk dihafal sebagai amunisi
menjawab ulangan/ ujian.
Idealnya
juga mengetahui bagaimana proses awal sebuah dalil kebenaran itu ditemukan
dan diformulasikan. Dengan mengetahui proses dan argumentasi rasionalnya,
seorang murid didorong untuk membuat formula baru yang bobot kebenarannya
sama. Inilah yang disebut mengenalkan dan membentuk sikap ilmiah kepada
siswa.
Suatu
hari sambil kerja bakti membersihkan halaman masjid, Kiai menunjuk sebuah
parit kecil dengan airnya yang mengalir deras. Dia mengajari saya tentang
hidup dengan sebuah pertanyaan. Coba perhatikan, apa yang akan terjadi jika
air itu menggenang, tidak bergerak? Pasti akan mengundang nyamuk, menimbulkan
penyakit dan membuat kotor.
Pak
Kiai sebagai guru kehidupan menyampaikan sebuah pesan yang kemudian menjadi
virus yang tak pernah mati dalam diriku, hidup itu harus bergerak mengalir menuju
citacita. Jangan pernah berhenti belajar dan berkarya karena akan mengundang
nyamuk dan penyakit seperti dikatakan dalam Alquran: Faidza faroghta fanshob.
Wa ila robbika farghop.
Jangan
pernah berhenti setelah selesai menunaikan satu tugas dan semua yang kamu
lakukan itu serahkan kepada Tuhanmu. Bukan mencari pujian dari manusia.
Demikianlah, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pesantren, saya masih
teringat wajah satu-satu guru yang mengesankan yang pernah mengajar dan telah
menjadi bagian dari perjalanan hidup saya.
Mereka
menanamkan virus dan etos belajar sehingga hidup adalah serangkaian
pembelajaran baik di ruang kelas maupun di luarnya. Setiap saat terbuka buku
kehidupan untuk dibaca, dipelajari, dan diambil pesan dan hikmahnya untuk
memperkaya kehidupan itu sendiri.
Kita
semua menerima warisan deposito moral dan pengetahuan dari orang tua dan pada
gilirannya kita juga harus melakukan reinvestasi agar bisa memberikan warisan
moral dan ilmu pengetahuan kepada anak-cucu kita. Kita semua adalah murid dan
guru kehidupan untuk diri sendiri dan keluarga terdekat. Syukur-syukur jadi
guru untuk masyarakat lebih luas lagi.
Terima
kasih bapak-ibu guru yang telah mengenalkan kepada kita semua dunia yang
sedemikian luas dan kompleks. Yang telah membekali agar bisa berdiri dengan
tegak, percaya diri, dan berintegritas. Yang mengajarkan dan mengantarkan
anak-anak muridnya untuk memasuki kehidupan baru di masa depan yang belum
pernah mereka alami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar