Sabtu, 21 Maret 2015

Menata Ulang Megapolitan Jabodetabekpunjur

Menata Ulang Megapolitan Jabodetabekpunjur

Nirwono Joga  ;  Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau; Arsitek Tata Kota
MEDIA INDONESIA, 20 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           
MENTERI Agraria dan Tata Ruang meng hidupkan kembali konsep lama tentang megapolitan Jabode tabekpunjur saat Konferensi Internasional Ke-5 Forum Studi Jabodetabek di Bogor.

Pada awalnya pembangunan kota-kota mitra Jakarta yang terbentang dari Kota dan Kabupaten Bogor (termasuk Puncak), Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota dan Kabupaten Bekasi, hingga Kabupaten Cianjur (Jabodetabekpunjur) dimaksudkan untuk mengurangi beban Jakarta, seperti banjir, kemacetan, dan kebutuhan akan permukiman baru.

Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, kota dan kabupaten itu kini tersebar di tiga provinsi, mencakup total 29.842.692 penduduk dengan perincian Jakarta 9,5 juta, Kabupaten dan Kota Bogor 6 juta, Kota Depok 1,7 juta, Kabupaten dan Kota Tangerang termasuk Tangerang Selatan 5,9 juta, Kabupaten dan Kota Bekasi 5 juta, dan Kabupaten Cianjur sekitar 1,7 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010).

Rencana umum tata ruang (RUTR) Jabo detabekpunjur (1984) disusun sebagai acuan dalam penyusunan rencana tata ru ang wilayah (RTRW) di setiap provinsi, kota, dan kabupaten. Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekpunjur dibentuk. Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur pun dikeluarkan.

Namun, pengaturan tata kelola wilayah tetap saja masih sangat spasial, mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, akibat sikap egoisme sektoral dan otonomi daerah.

Hasilnya, pertumbuhan Jakarta tidak terkendali, perkembangan kota/kabupaten mitra melebar tidak terarah, ketidakselarasan penataan ruang antarwilayah, ketidaksiapan sumber daya manusia di daerah, dan ketidaktegasan pejabat pemangku kepentingan. Kesemrawutan itu mengakibatkan perubahan tata ruang, pola kegiatan ekonomi daerah, dan tatanan sosial, serta penurunan kualitas lingkungan seperti sampah, kemacetan, pencemaran udara, minimnya RTH, krisis air bersih, dan banjir.

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur, pemerintah harus menyelaraskan RTRW provinsi dan kota/kabupaten se-Jabodetabekpunjur, mulai RTRW Provinsi DKI Jakarta (Perda No 1/2012), RTRW Provinsi Jawa Barat (Perda No 22/2010), hingga RTRW Provinsi Banten (Perda No 2/2011).

RTRW DKI Jakarta juga harus disinkronkan dengan RTRW Kabupaten Bogor (Perda No 19/2008), RTRW Kota Bogor (Perda No 8/2011), RTRW Kota Tangerang (Perda No 6/2012), Kota Tangerang Selatan (Perda No 15/2011), Kabupaten Tangerang (Perda No 13/2011), Kota Bekasi (Perda No 13/2011), Kabupaten Bekasi (Perda No 12/2011), dan Kabupaten Cianjur (Perda No 17/2012).

Draf RTRW Kota Depok masih dalam tahap persetujuan di tingkat gubernur, Ke menterian Pekerjaan Umum (dialihkan ke Ke menterian Agraria dan Tata Ruang), dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).
Keselarasan RTRW akan memberikan kepas tian setiap pemda dalam membangun dan mengembangkan wilayahnya secara terpadu dengan tiga fokus utama pengendalian banjir, penguraian kemacetan, dan penyediaan hunian (vertikal).

Kedua, pemda se-Jabodetabekpunjur mengembangkan konsep ekohidrologi untuk penanggulangan banjir dengan menormalisasi jalur hijau sungai, merevitalisasi waduk dan situ, merehabilitasi saluran air, serta merefungsi daerah yang berubah peruntukan sekaligus menambah RTH taman dan hutan sebagai daerah resapan dan tangkapan air.

Ketiga, di bawah Dewan Transportasi Jabodetabekpunjur mengembangkan sistem transportasi massal berbasis jaringan kereta api dan bus trans-Jabodetabek sebagai moda transportasi murah dan berdaya angkut besar. Penataan bus sedang, angkutan ringan (monorel), serta jalur sepeda dan pedestrian untuk transportasi dalam kota. Pembangunan kota yang mengandalkan aksesibilitas jalan tol hanya menguntungkan kalangan menengah atas, memicu pertambahan mobil dan motor, serta tidak menyelesaikan kemacetan.

Keempat, Pemprov DKI Jakarta harus menahan laju pembangunan perumahan horizontal yang boros lahan dan mewajibkan hunian vertikal di kawasan terpadu (perkantoran, pasar, sekolah), membatalkan pembangunan jalan-jalan tol dalam kota, dan memoratorium pembangunan mal dalam lima tahun ke depan.
Kota-kota mitra Bodetabekpunjur harus membangun pusat pertumbuhan kawasan terpadu baru, mengatasi kebutuhan perumahan khususnya hunian vertikal, dan fasilitas pendukung yang saling melengkapi seperti infrastruktur air bersih, drainase, gas, serat optik, listrik, telepon.

Kelima, kepemimpinan yang tegas dan berani mulai dari wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden mutlak diperlukan dalam mengimplementasikan peraturan yang ada (dan sudah banyak) sehingga pengembangan Jabodetabekpunjur lebih terpadu dan bersinergi dengan semangat kemitraan yang setara dan sederajat. BKSP Jabodetabekpunjur harus dibekali ke wenangan besar untuk mengatur dan menindak, serta didukung dana yang sangat memadai, jika tidak, lebih baik dibubarkan saja karena memboroskan anggaran rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar