Asa
Membangun dari Desa
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua DPD RI/Timja RUU Desa DPD RI
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2015
SALAH satu capaian
legislasi yang dinilai fenomenal sepanjang periode 2009-2014 ialah lahirnya
UU No 6/ 2014 tentang Desa (UU Desa). Lahirnya UU itu setidaknya menandakan
dua hal. Pertama, perhatian pada upaya pembangunan desa semakin kuat. Kedua,
paham otonomi asli desa yang semakin kuat dipedomani dengan konsekuensi
meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang paling
bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat.
UU Desa yang kini berusia
satu tahun menandai perspektif baru tentang hakikat otonomi desa sebagai self governing community (desa adat)
ataupun local self government (desa). UU Desa menetapkan pemerintahan desa
dalam sistem pemerintahan NKRI, tetapi pengakuan terhadap otonomi desa-dalam
kerangka otonomi asli (karena hak asal usul dan tradisionalnya)--jauh lebih
jelas diuraikan di dalam UU tersebut. Hal itu dapat dirujuk dari asas yang
dianut UU Desa.
Pertama, asas rekognisi,
yaitu pengakuan atas hak asal usul desa, dan kedua asas subsidiaritas, yakni
lokalisasi kewenangan di aras desa dan pengambilan keputusan secara lokal
atas kepentingan masyarakat setempat.
Otonomi desa dimaksud
mengandung arti hak desa untuk mempunyai, mengelola, atau memperoleh sumber
daya ekonomi-politik, kewenangan untuk mengatur dan mengambil keputusan atas
pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat se tempat, dan
tanggung jawab desa untuk mengurus kepentingan publik ‘rakyat’ desa melalui
pelayanan publik.
Dana
desa
Sejalan dengan kewenangan
otonomi desa di atas, UU 6/2014 Pasal 72 menyebutkan sumber-sumber pendapatan
desa guna mendukung percepatan kemandirian dan pembangunan desa di masa
depan, yaitu pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset,
swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa; alokasi
APBN; bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;
alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota; bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/ kota;
hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain
pendapatan desa yang sah.
UU Desa mengamanatkan
kepada negara alokasi APBN yang bersumber dari belanja pusat dengan
mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.
Sementara itu, terkait dengan alokasi dana desa yang merupakan bagian dari
dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, negara wajib mengalokasi
paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam
APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus.
Adapun bagian desa dari
hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota paling sedikit 10%
dari pajak dan retribusi daerah. Jika APBN 2015 baru mengalokasi Rp9,1
triliun, jumlah itu melonjak pada APBN-P 2015 menjadi Rp20,7 triliun. Meski
belum memenuhi ketentuan UU, angka tersebut tentu tidaklah sedikit sembari
mempersiapkan infrastruktur pengelolaan dana di setiap desa di seluruh
Indonesia.
Dana tersebut haruslah
menjadi stimulus bagi pemerintah desa untuk bisa menghasilkan pendapatan
sendiri. Apalagi, UU juga telah memberikan ruang bagi desa nantinya untuk
mendapatkan dana yang bersumber dari pendapatan asli desa yang merupakan
hasil usaha yang dilakukan di desa. Kemampuan perangkat desa dalam mengelola
dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan.
Fokus pada desa ini juga
disambut pemerintahan baru hasil Pemilu 2014. Kabinet Kerja Jokowi-JK secara
khusus membentuk Kementerian Desa, lebih tepatnya Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Hadirnya kementerian khusus
tentang desa ini hendaknya tidak dimaknai sekadar birokratisasi baru
pengaturan dan pengelolaan desa, apalagi jika eksesnya menimbulkan
ketidakefektifan dan ketidakefisienan manajemen pembangunan desa. Ia harus
dimaknai sebagai bentuk kesungguhan untuk semakin menguatkan desa dalam
dimensi kebijakan.
Pada tahap awal pemerintah
harus mengonsolidasikan fungsi-fungsi perencanaan, penganggaran, hingga
pengawasan terkait dengan desa agar dapat efektif dilakukan dalam kementerian
yang khusus dibentuk untuk menangani desa itu. Jangan sampai kehadiran
Kementerian Desa justru menimbulkan permasalahan baru seperti yang tampak
mencuat soal saling silang dan sengketa kewenangan antara kementerian itu dan
Kementerian Dalam Negeri yang selama ini memang menangani pemerintahan desa.
Fokus pembangunan desa
Desa, namanya kerap
disebut dalam pergulatan pembangunan nasional, baik dalam nada positif maupun
negatif.Dalam nada positif desa disebut untuk menggambarkan kearifan lokal
bangsa Indonesia: semangat hidup, suasana kekeluargaan, gotong royong, dan
lain sebagainya. Bahkan demokrasi telah dipraktikkan di desa jauh sebelum ada
pemilu dan pilkada. Hal itu menunjukkan desa sejatinya merupakan prototipe
karakter pemerintahan Indonesia.
Meski demikian, desa juga
kerap disebut dalam nada negatif, misalnya desa-desa di Indonesia sudah
kehilangan karakternya, desa tidak lagi produktif, desa ditinggalkan para
pemuda yang lebih suka merantau ke kota-kota untuk mengadu nasib, dan porsi
kemiskinan terbesar ada di perdesaan.
Pandangan yang berkembang
tentang desa tersebut menjadi batu pijakan bagi pembuat UU untuk menjadikan
desa sebagai fokus dan lokus pembangunan. Sisi positif ataupun negatif
tentang desa nyatanya sama sekali tidak mengecilkan peran dan kedudukan desa.
Lepas dari persoalan yang membelenggu desa, desa terus menjadi harapan dan
menjadi solusi bagi berbagai permasalahan pembangunan dan penanggulangan
kemiskinan.
Semakin kuatnya arus
pembangunan desa tentu patut kita sambut dengan gembira. Namun, tidak sedikit
kalangan mengkhawatirkan bahkan merasa pesimistis jika pengarusutamaan desa
itu bisa berjalan mulus. Kekhawatiran tersebut utamanya berpokok pada politik
kebijakan yang money oriented bukan
capacity oriented, yakni politik
kebijakan yang lebih mementingkan pencapaian target dana desa bukan politik
kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan desa dalam mengelola
pemerintahan dan melaksanakan pembangunan.
Karena itu, fokus pada
desa hendaknya tidak berpusat pada dana desanya, tapi secara luas harus
dilihat dalam perspektif pembangunan dan peningkatan kesejahteraan desa yang
tampak dari peningkatan kualitas hidup manusia dan penanggulangan kemiskinan
di desa. Ini berarti kerangka konseptual dan implementasi pembangunan desa
harus jelas dijabarkan pemerintah ataupun pemerintah daerah. Itu, antara
lain, harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan secara berkelanjutan, termasuk dalam mengelola keamanan
dan ketertiban sebagaimana tertuang dalam sejumlah pasal di dalam UU.
UU Desa harus mampu
mengejawantahkan harapan baru, tidak hanya bagi pemerintah desa tetapi juga
masyarakatnya yang sejalan dengan tujuan UU Desa, yaitu menjadikan desa lebih
mandiri bukan hanya dalam penyelenggaraan pemerintahan, melainkan juga dalam
pengelolaan--termasuk penentuan dan pemanfaatan--keuangan dan aset desa.
Masyarakat, termasuk kelembagaan masyarakat, diakui sebagai elemen penting
dalam penentuan masa depan desa itu sendiri.
UU Desa sejatinya
memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan
meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang mereka
miliki. Bagi pemerintah, momentum UU Desa harus dikelola serius, jangan
terlena soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah harus
menyiapkan cetak biru (blueprint)
arah pembangunan desa jangka pendek, menengah, dan panjang berikut indikator
kesuksesan yang jelas dan terukur. Hanya dengan cara itulah asa membangun
dari desa melalui lahirnya UU Desa menjadi berkah nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar