Perpres
Golkar
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2015
Rabu
pertengahan pekan ini saya mengalami kesulitan yakni kesulitan untuk menjawab
dan menjelaskan kepada beberapa awak media yang menanyakan pendapat saya
mengenai rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkum-HAM) Yasonna Laoly
mengeluarkan peraturan presiden (perpres) untuk menyelesaikan kisruh
kepengurusan Partai Golkar.
Saya
tak mudah menjawab sesuatu yang hampir tak mungkin ada yakni pernyataan Pak
Yasonna. Tak mungkin seorang Menkum-HAM tidak paham bahwa sebuah perpres tak
bisa dikeluarkan untuk menyelesaikan kisruh sebuah parpol. Saya yakin, Pak
Yasonna tidak mengatakan itu dan, tentulah, wartawan salah memahami atau
salah mengutip atas apa yang dinyatakan oleh Pak Yasonna.
Berbeda
dari Pak Yusril yang mengatakan Pak Yasonna tak paham bidang tugasnya, saya
lebih cenderung mengira wartawan salah memahami atau salah mengutip dari Pak
Yasonna. Secara umum saya hanya menjawab bahwa Presiden tak perlu
mengeluarkan perpres untuk mengesahkan kepengurusan Partai Golkar.
Bukan
hanya tidak perlu, tetapi juga tidak bisa. Mengapa? Karena sebuah perpres di
dalam hukum itu peraturan atau produk hukum yang bersifat mengatur (regeling), sedangkan pengesahan
kepengurusan suatu partai merupakan bentuk keputusan yang bersifat penetapan
(beschikking).
Di
dalam hukum ada perbedaan mendasar antara regeling dan beschikking. Regeling
(pengaturan) itu memberlakukan sesuatu yang bersifat abstrak umum, belum ada
subjek dan objeknya yang spesifik, sedangkan beschikking (penetapan) itu
memberlakukan sesuatu yang bersifat konkretindividual.
Contohnya
sederhana. Adanya ketentuan bahwa setiap orang yang mempunyai penghasilan
sejumlah minimal tertentu harus membayar pajak sekian persen adalah regeling
(pengaturan), abstrakumum, berlaku bagi siapa saja. Tetapi, ketika ada
seorang bernama Badrun mempunyai penghasilan sekian tertentu dan kemudian
ditetapkan oleh kantor pajak kewajiban kepada Badrun untuk membayar pajak
sebesar tertentu maka itu adalah beschikking (penetapan), konkretindividual.
Hanya
berlaku bagi Badrun (individual) dalam pembayaran pajak (konkret). Penetapan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh Badrun itu tidak bisa dikeluarkan
dalam bentuk peraturan Direktur Jenderal Pajak, melainkan dalam bentuk
keputusan atau penetapan kepala kantor pajak setempat.
Contoh
lain misalnya utang piutang. Ketentuan bahwa barang siapa berutang harus
membayar itu adalah regeling, berlaku bagi siapa saja. Ketika dalam suatu
sengketa oleh pengadilan si Muis dinyatakan berutang dan harus membayar
sejumlah uang tertentu, putusan pengadilan itu beschikking.
Hanya
berlaku bagi Muis (individual) dalam masalah utang piutang tertentu
(konkret). Pembedaan seperti ini sangat mendasar dan menjadi materi awal
ketika mahasiswa Fakultas Hukum mulai belajar hukum administrasi negara.
Mengapa penting? Sebab jika terjadi sengketa karena ada pelanggaran dalam
pembuatannya, kompetensi peradilannya berbeda.
Kalau pemerintah dianggap salah dalam
membuat peraturan (regeling), upaya hukum untuk melawannya dilakukan melalui
pengujian yudisial atau judicial review. Tetapi, jika pemerintah atau pejabat
tata usaha negara dalam membuat keputusan (beschikking), upaya hukum untuk
melawannya adalah ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau administratief
rechtspraak atau bisa juga ke peradilan umum, bergantung pada isi
keputusannya.
Maksudnya,
jika keputusan yang akan digugat itu merupakan keputusan dalam bidang
administrasi atau tata usaha negara, menjadi kompetensi PTUN untuk
mengadilinya. Namun, jika keputusan yang akan dilawan itu dalam bentuk
perbuatan biasa (materiale daad) di
bidang keperdataan misalnya, menjadi kompetensi peradilan umum untuk
mengadilinya.
Dalam
kasus kisruh kepengurusan Partai Golkar itu, tentu tak bisa diselesaikan
dengan perpres sebab Partai Golkar itu secara hukum adalah ”individual” dan
masalahnya jelas menyangkut urusan kepengurusan yang sudah ”konkret”. Apa pun
ujung kisruh Partai Golkar itu hanya bisa berbentuk beschikking baik dalam
bentuk keputusan pemerintah maupun dalam bentuk vonis pengadilan.
Jadi
secara hukum tak mungkin bisa ada Perpres tentang Kepengurusan Partai Golkar
sebab perpres itu harus bersifat abstrak-umum (regeling). Sifat regeling dari kepengurusan parpol (termasuk
pengaturan konfliknya) sudah termuat di dalam UU Partai Politik yakni pada
bagian yang mengatur tata cara pendaftaran atau pencatatan susunan pengurus
bagi semua parpol.
Penetapan
kepengurusan Partai Golkar juga tak bisa dikeluarkan dalam bentuk keputusan
presiden (kepres) yang bersifat konkret-individual (beschikking). Di dalam UU
Partai Politik kewenangan menetapkan atau mencatat susunan pengurus parpol
itu sudah didelegasikan kepada Menkum-HAM.
Untuk
apa membawa-bawa Presiden lagi? Keputusan Menkum- HAM tentang itu sudah
bersifat final tanpa perlu dikepreskan. Sebagai catatan, ada jua pandangan
yang kurang tepat dari internal Partai Golkar sendiri terkait kompetensi PTUN
untuk memerkarakan surat Menkum- HAM itu.
Menurut
Pengurus Golkar kubu Aburizal Bakrie, pihaknya tidak bisa membawa kasus itu
ke PTUN sekarang karena bentuknya baru berupa surat biasa dari Menkum-HAM dan
belum berbentuk SK Pengesahan/ Pencatatan Pengurus. Ini keliru sebab
sebenarnya, menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara, keputusan pejabat tata
usaha negara bisa digugat ke PTUN meski tidak berbentuk SK resmi.
Keputusan
yang dalam bentuk surat biasa, bahkan nota atau memo yang tidak berkop atau
berstempel sekali pun, sudah bisa digugat ke PTUN asal pembuatnya jelas,
objeknya jelas, dan tidak dibantah oleh yang membuatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar