Armagedon
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom
“Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
22 Maret 2015
Demikianlah
kata Sang Pengkhotbah, ”Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di
bawah langit ada waktunya…ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.”
Dan, sekarang ini, adalah ”waktu untuk
perang.” Berperang melawan tindak angkara murka, berperang melawan
tindakan tidak berperikemanusiaan, dan berperang melawan kegelapan. Berperang
untuk menciptakan perdamaian.
Umpama
kata, inilah zaman peperangan antara kekuatan terang dan kegelapan; perang
antara kekuatan kebaikan melawan kekuatan jahat. Apa yang terjadi di Suriah
utara dan timur serta Irak utara menjadi contoh yang paling pas untuk
menjelaskan peperangan antara kekuatan terang dan kegelapan. Di wilayah
itulah, kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) mengumbar angkara murka dengan menyingkirkan siapa saja yang dianggap
tidak sejalan dengan ideologi dan keyakinan, dengan kehendaknya.
Hingga
Oktober tahun lalu, tak kurang dari 14 wartawan Irak dibunuh dengan berbagai
macam cara, ada yang ditembak, dipenggal kepalanya, dan ada pula yang dibakar
hidup-hidup. Tentu jumlah tersebut belum termasuk wartawan dari AS dan
Inggris, kontraktor asal Jepang dan pilot Jordania yang dibakar hidup-hidup.
Masih banyak lagi korban NIIS, baik itu tentara Irak, tentara Kurdi, para pekerja
sosial, perempuan, bahkan anak-anak. Ratusan ribu orang mengungsi dan
kelaparan.
Inilah
horor yang paling menakutkan di abad ke-21. Kalau semua itu dilakukan atas
nama agama, sungguh sudah hancur dunia ini; kasihanilah agama. Bukankah tidak
ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan untuk saling membunuh, untuk
membenci orang lain? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan hidup
baik? Memang, agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan.
Dari
satu sisi, agama merupakan tempat di mana orang menemukan kedamaian dan
harapan yang kukuh. Dalam agama, banyak orang menimba kekuatan dan
mendapatkan topangan berhadapan dengan penderitaan. Di sisi lain, agama
sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan (Haryatmoko, Etika, Politik dan Kekuasaan), Padahal, seperti sudah
disebut di atas, agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Namun,
manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga
menyulut kekerasan.
Masuk
akal jika para pemimpin dunia pencinta damai, masyarakat dunia yang
mendambakan kehidupan yang aman dan damai, saling menghormati sesama umat
manusia, ramai-ramai mengecam apa yang dilakukan NIIS. AS dan sejumlah negara
termasuk negara-negara Arab, bersama-sama mengerahkan kekuatan militer menggempur
posisi NIIS.
Bahkan,
Vatikan pun yang biasanya menentang penyelesaian secara militer, kini
mendukung penggunaan kekuatan militer. ”Kita
harus menghentikan genosida ini,” kata Uskup Agung Silvano Tomasi, utusan
Vatikan di PBB Geneva.
Dunia,
memang harus bersatu melawan kekuatan anti kemanusiaan, anti peradaban.
Bukankah, tidak ada yang menginginkan bahwa ”yang baik akan kalah?” Kekuatan kejahatan harus dikalahkan
dengan segala cara, seperti yang digambarkan dalam Armagedon, di mana
kekuatan kebaikan akan melancarkan pertempuran terakhir melawan kekuatan
jahat. Bila kekuatan kebaikan tak mampu mengalahkan kekuatan kejahatan, ini
merupakan kegagalan kemanusiaan di zaman kini. Dan, inilah tragedi abad
ke-21! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar