Konflik
Ukraina, Rusia Takluk ke Barat/AS?
Toni Ervianto ; Alumnus FISIP Universitas Jember;
Alumnus Pasca Sarjana Universitas Indonesia
|
DETIKNEWS,
20 Maret 2015
Konflik
politik yang disertai dengan insurgensi di Ukraina sudah berlangsung lebih
dari 1 tahun yang menurut catatan Badan HAM PBB sebanyak 6.000 orang (dari
kalangan tentara dan warga sipil) tewas sejak konflik di Ukraina terjadi pada
April 2014. Dalam perkembangannya, konflik yang terjadi di Ukraina semakin
menarik untuk dicermati karena maraknya proxy war yang menyertainya, serta
“memori lama persaingan Uni Soviet vs Barat/AS” sebelum terjadinya glasnost
dan pereztroika kembali terulang.
Menurut
catatan penulis, hingga 8 Maret 2015, konfrontasi senjata dalam skala kecil
masih terjadi di Debaltseve, Ukraina Timur. Jubir Militer Ukraina, Andrey
Lysenko menyatakan bahwa kontak senjata kembali dilakukan oleh kedua pihak
(apkam Ukraina dan pemberontak pro-Rusia), sehingga memunculkan kekhawatiran
gagalnya gencatan senjata yang digagas dalam KTT Minsk.
Sebelumnya,
Menhan Inggris Michael Fallon, negaranya berencana mengirim sejumlah
perangkat militer pekan ini guna membantu tentara Ukraina mempertahankan
wilayahnya dari agresi Rusia. Senada dengan itu, Ketua DPR AS, John Boehner
juga mendesak Pemerintah AS segera mengirim persenjataan berat ke Ukraina,
sekaligus menerapkan sanksi terhadap Rusia.
Sebaliknya,
Deputi Menlu AS, Antony Blinken beranggapan bahwa pengiriman senjata ke
Ukraina bukanlah solusi militer terbaik, mengingat Rusia yang juga terus
memperkuat dukungannya kepada kelompok separatis, sehingga berpotensi
mengakibatkan situasi chaos. Untuk itu, Blinken lebih memilih langkah
diplomatik, dengan menerapkan sanksi bagi Rusia.
Adu Kuat Senjata
Komandan
Brigade Arhanud AS Kol. Michael Foster mengungkapkan bahwa pada akhir minggu
ini Pemerintah AS akan menempatkan enam kompi pasukan angkatan daratnya di
Ukraina guna melatih angkatan darat negara tersebut. Menurut Foster program
kerjasama pelatihan AD AS–Ukraina tidak akan dimanfaatkan sebagai sarana
untuk mengirimkan persenjataan AS ke Ukraina.
AS
telah menunda pengiriman persenjataan tempurnya ke Ukraina setelah terjadi
kesepakatan gencatan senjata pada 13 Februari 2014. Selain AS, sebelumnya
Inggris juga berjanji akan mengirimkan penasihat militernya ke Ukraina. AS
dan NATO telah menjalin kerjasama pelatihan militer dengan Ukraina sejak
musim gugur 2014.
Sementara
itu, di Mons, Belgia, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg mengatakan,
bahwa Rusia masih mengirim persenjataan, pasukan dan pasukan pemberontak di
Ukraina Timur. Tindakan itu melanggar kesepakatan gencatan senjata yang telah
disetujui bersama pada 12 Februari 2015 di Minsk. Untuk itu, Stoltenberg
menyerukan kepada Rusia agar segera menarik seluruh pasukannya dari Ukraina
Timur dan menghormati kesepakatan Minsk.
Di
lain pihak, pejabat Kemenlu Rusia mengatakan, Pemerintah Rusia memiliki hak
menempatkan senjata nuklir di Semenanjung Krimea dan Laut Hitam. Sedangkan,
Komandan militer AS di Eropa, Letjen Ben Hodges mengatakan saat ini ada
sekitar 12.000 tentara pendukung kelompok separatis di Ukraina Timur, 29.000
tentara Rusia di Krimea.
Konflik
Ukraina selain diwarnai fenomena kekuatan adu senjata, juga telah “membuka
bisnis baru” bagi tentara bayaran. Hal ini diakui oleh Ketua Madrid Committee
in Support of Anti-Fascist Ukraine Ramiro Gomez mengungkapkan adanya beberapa
warga negara yang menjadi tentara bayaran dan bergabung dengan kelompok fasis
di Ukraina serta berjuang besama pasukan Ukraina melawan pasukan separatis
Ukraina Timur. Para tentara bayaran tersebut umumnya merupakan veteran
tentara Spanyol. Pembayarannya dilakukan melalui bank cabang terbesar Ukraina
di Spanyol, PrivatBank.
Sementara
itu, informasi yang beredar tentara bayaran asal Spanyol bergabung dengan
milisi ultra nasional Ukraina, termasuk batalyon Neo-Nazi Azov. Selain
berjuang bersama pasukan Ukraina, tentara bayaran asal Spanyol tersebut ada
yang berjuang bersama pasukan Ukraina Timur. Minggu lalu, polisi Spanyol
menangkap delapan warga Spanyol yang diduga terlibat dalam konflik Ukraina.
Kedelapan orang tersebut dikenai dakwaan telah melakukan kejahatan
pembunuhan, kepemilikan senjata api dan bahan peledak, serta melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan kepentingan Spanyol di luar negeri.
Rusia Takluk?
Rusia
dinilai oleh PBB, NATO, Barat dan Amerika Serikat sebagai “aktor intelektual”
berkepanjangnya konflik Ukraina, sehingga NATO, Barat dan Amerika Serikat
sepakat untuk terus mendesak Rusia agar tidak membantu kelompok separatis di Ukraina
atau Rusia akan mendapatkan beragam sanksi baru.
Wakil
Sekretaris Jenderal NATO Alexander Vershbow mengatakan, Rusia menjadi
“ancaman baru” bagi perdamaian di Ukraina, seiring perangkat persenjataan
berat yang dipasok negara tersebut guna memperkuat kelompok separatis di
wilayah konflik. Sebaliknya, Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Anatoly Antonov
membantah tuduhan NATO, dan menganggapnya sebagai upaya mendisinformasi fakta
di lapangan.
Menlu
Rusia, Sergey Lavrov dan Menlu AS, John Kerry bertemu, membahas situasi
keamanan di Ukraina pasca penarikan mundur tentara Ukraina dan separatis
pro-Rusia dari wilayah operasi Debaltseve. Dalam pertemuan tersebut, Menlu
Kerry meminta Rusia agar mematuhi perjanjian genjatan senjata yang digagas
dalam KTT Minsk.
Asisten
Menlu AS untuk Urusan Eropa dan Eurasia, Victoria Nulland mengatakan,
Pemerintah AS tengah mempertimbangkan sanksi baru terhadap Rusia jika terus
melakukan pelanggaran gencatan senjata di Ukraina Timur, atau gagal
menerapkan perjanjian yang ditandatangani antara Pemerintah Ukraina dan
kelompok separatis yang didukung Rusia. Sebelumnya, Kanselir Jerman, Angela
Merkel telah mengeluarkan peringatan serupa. Menurut Merkel, jika perjanjian
di Minks gagal, maka Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia.
Departemen
Keuangan AS berlakukan sanksi terhadap 14 orang, termasuk 8 orang separatis
Ukraina, dan 2 entitas termasuk Russian National Commercial Bank, bank Rusia
yang beroperasi di Krimea dan semenanjung di Laut Hitam yang dianeksasi
Rusia. Dengan demikian, aset-aset ke 14 orang tersebut yang berada di AS akan
dibekukan, dan dilarang masuk ke AS. Ke 14 orang itu dan 2 entitas dituduh
“merongrong kedaulatan Ukraina” dan menggelapkan aset Pemerintah Ukraina
Tidak
hanya ancaman sanksi terhadap Rusia, bahkan “proxy war” juga diciptakan untuk
menyudutkan Rusia, dengan tertembaknya Boris Nemtsov pada 28 Februari 2015.
Secara khusus, Presiden Ukraina, Petro Poroshenko juga menyebut Boris Nemtsov
sebagai pahlawan yang menghubungkan Kremlin dan Kiev. Kubu oposisi (Partai
Republikan) berencana mengungkap bukti-bukti keterlibatan tentara Rusia dalam
konflik di Ukraina, berdasarkan fakta-fakta yang dimiliki Boris Nemtsov
sebelum terbunuh.
Di
Moskow, anggota oposisi Partai Republikan, Alexei Navalny meyakini bahwa
rezim penguasa berada dibalik kematian Boris Nemtsov. Menurut Alexei, di
samping mengeksekusi Nemtsov, Kremlin juga membentuk “team” yang melakukan
kontra-opini terhadap kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kebijakan
Presiden Vladimir Putin, termasuk membentuk relawan-relawan perang di Ukraina
dan Chechnya. Di lain pihak, Presiden Putin kembali menegaskan bahwa Kremlin
bukanlah dalang terkait kematian Nemtsov. Untuk itu, Putin memerintahkan
Badan Keamanan Federal Rusia terus melakukan penyelidikan guna mengungkap
aktor dibalik kematian tokoh oposisi tersebut.
Konflik
Ukraina memiliki multi dimensi dan kepentingan di antara kelompok yang
bertikai. Bagi Rusia, “keterlibatannya” dalam konflik Ukraina selain terkait
agar Ukraina hanya menjual minyak dan gasnya ke Rusia dengan harga yang
ditetapkan oleh Rusia, di sisi yang lain Rusia setelah kuat ekonomi dan
militernya pasca bubarnya Uni Soviet sebenarnya “menginginkan” agar
negara-negara pecahannya tetap “di-remote control” walaupun mereka secara
yuridis adalah merdeka.
Bagi
Barat dan AS, kebangkitan Rusia secara geopolitik, geoekonomi dan geostrategi
sangat tidak diharapkan, apalagi manuver Putin seringkali dinilai Barat/AS
“membahayakan” seperti bekerjasama/bersahabat antara Rusia dengan Korea
Utara. Bagaimanapun juga, keterlibatan AS dalam “penyelesaian” konflik
Ukraina akan membahayakan defisit neraca berjalan mereka, karena untuk
memerangi ISIS saja, AS sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 23 trilyun.
Tampaknya, peranan Paman Sam sebagai “polisi dunia” harus dikaji ulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar