Pentingkah
Restorasi Khilafah?
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tenga;, Dosen UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
20 Maret 2015
Bulan
Maret 2015 ini adalah haul ke-88 peristiwa historik runtuhnya khilafah Islam
terakhir, yakni Utsmaniyyah. Banyak kalangan umat Islam termasuk di Tanah Air
mengenang kembali peristiwa itu guna mengambil pelajaran penting.
Pembubaran
khilafah Utsmaniyah pada Maret 1924 memang membawa dampak serius pada nasib
sejarah dunia Islam, khususnya Timur Tengah, hingga sekarang. Dampak buruk
itu begitu nyata dan terasa.
Dampak
paling nyata segera terpecah-pecahnya wilayah dunia Islam bagian
"tengah" ke sejumlah negara-bangsa. Secara bertahap, wilayah Turki
Utsmani itu terpecah jadi lebih dari
20 negara. Pemecahan itu tak lepas dari upaya penjajah terutama Inggris dan
Prancis untuk mengavling bekas wilayah Turki Utsmani setelah kejatuhannya.
Idealnya,
wilayah itu menjadi satu kesatuan politik, ekonomi, dan sosial. Sebab,
wilayah itu adalah satu lempengan daratan yang hampir menyatu. Pemisahan
perairan hanya beberapa saja. Secara historis, mereka juga memiliki sentimen
yang sama terhadap zaman kejayaan Islam masa lalu. Kesamaan lain di antara
mereka begitu banyak.
Faktanya,
setelah Perang Dunia I mereka terpecah ke dalam unit-unit politik, ekonomi,
dan sosial yang sangat kecil dan terpisah ke dalam sejumlah negara. Dampak
ekonomi menjadi persoalan paling nyata. Sebab, saling ketergantungan ekonomi
antara wilayah Utsmaniyah yang berada di ujung barat dan timur, dan antara ujung
utara dan selatan sudah demikian kuat, setidaknya delapan abad mereka
menyatu.
Pengkavlingan
wilayah jadi banyak negara-bangsa telah menghambat pergerakan barang dan
orang serta meningkatkan ongkos ekonomi dalam kegiatan perdagangan.
Kepentingan ekonomi rakyat di kawasan itu demikian dirugikan.
Dari
sisi politik, pengkavlingan menjadi negara-negara kecil juga memperlemah
posisi tawar mereka terhadap siapa pun. Faktanya, mereka bukan hanya tak bisa
disatukan, tetapi justru terus terlibat ke dalam konflik di antara mereka
sendiri. Demikian pula, mereka secara sosial juga terpecah mengikuti
pengkavlingan politik itu.
Singkatnya,
runtuhnya Khilafah Utsmaniyah adalah bencana besar bagi masyarakat Timur
Tengah. Dampak itu masih terasa dengan perpecahan keras di kalangan para
pemimpin kawasan itu yang membawa dampak kemanusiaan serius hingga saat ini.
Penulis
berpendapat, gagasan mengenai pentingnya restorasi khilafah masuk akal muncul
kembali di tengah kerasnya perpecahan Timur Tengah yang membawa tragedi kemanusiaan
masif dan berkepanjangan sekarang. Fakta sejarah menunjukkan, khilafah di
Timur Tengah itu membuat mereka relatif menyatu secara politik, sosial,
maupun ekonomi.
Khilafah
juga membuat kawasan itu menjadi sangat disegani oleh kekuatan dunia yang
lain. Karena itu, gagasan restorasi khilafah di Timur Tengah memiliki daya
tarik dan relevansinya. Khilafah di Timur Tengah bisa jadi solusi jitu
kendati gagasan itu sangat kecil penerimaannya hingga sekarang di kalangan
ilmuwan, para pemimpin kawasan, maupun masyarakat awam.
Namun,
gagasan itu tetap memiliki daya tarik yang kuat bagi sebagian orang di sana
bahkan di belahan dunia Islam lain. Karena itu, ketika ada
"kelompok" keji sekalipun --seperti ISIS-- mengusung gagasan ini,
tak sedikit orang yang mau mengikutinya.
Bagaimana
dengan negara-bangsa Indonesia? Relevankah kita membicarakan khilafah di
Tanah Air tercinta? Penulis berpandangan, pengalaman berdirinya Indonesia
sangatlah berbeda dengan pengalaman berdirinya negara-bangsa di Timur Tengah.
Jika
berdirinya negara-bangsa di Timur Tengah itu menandai sebuah tragedi,
keperihan, dan kekalahan, sebaliknya dengan sejarah berdirinya negara-bangsa
Indonesia. Berdirinya negara-bangsa Idonesia adalah simbol kebebasan dan
kedaulatan menentukan nasib sendiri serta enyahnya penjajahan, setidaknya
secara fisik dan birokrasi. Berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah simbol
keagungan dan harapan kejayaan.
Jika
berdirinya negara-bangsa di Timur Tengah itu menandai perpecahan yang
menyedihkan, berdirinya negara Indonesia justru sebaliknya, menyatukan yang
terpisah-pisah dan yang berbeda. Masyarakat Timur Tengah khususnya para
pengikut Pan-Arabisme meratapi tragedi berdirinya negara-bangsa itu hingga
sekarang. Sementara kita bangsa Indonesia merayakan dengan penuh syukur dan
suka cita atas terbebas dan bersatunya bangsa Indonesia.
Kita
patut bersyukur mampu menyatukan diri di tengah kenyataan geografis yang
terpisah-pisah ini, dan di tengah-tengah kenyataan etnis, agama, adat
istiadat, dan bahasa yang demikian beragam. Indonesia adalah anugerah bagi
anak bangsanya. Kita harus mensyukurinya.
Sementara,
pengalaman saudara-saudara kita di Timur Tengah begitu berbeda. Mereka bisa
dikatakan menyatu secara geografis, daratan begitu luas, dan hampir tak
terpisahkan oleh perairan. Mereka secara umum berasal dari satu etnis
khususnya 22 negara Arab kendati ada campuran secara terbatas di beberapa
negara. Sebagian besar mereka juga memiliki kesamaan bahasa dan agama. Di
tengah persamaan kuat dalam banyak hal itu, mereka justru terpecah.
Karena
itu, penulis ingin mengatakan, wacana khilafah pada tingkat tertentu relevan
dibicarakan bahkan diperjuangkan di wilayah Timur Tengah, khususnya wilayah
Bulan Sabit Subur dan sekitarnya. Sebab, itu bisa jadi salah satu solusi,
kendati sepengetahuan penulis gagasan itu sama sekali tak populer di
masyarakat sana hingga sekarang.
Dan
ini yang penting, pembicaraan tentang restorasi khilafah di Indonesia
tidaklah begitu urgen. Penulis dengan tulus dan kerendahan hati mengajak
segenap umat Islam di Tanah Air untuk mensyukuri anugerah Allah berupa negara
dan Tanah Air Indonesia yang sendi-sendinya berdiri di atas tetesan darah
para syuhada yang bangga menjadi Muslim sekaligus bangsa Indonesia. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar