Membongkar
Ilusi Di Balik Popularitas Ahok
Muhammad Ridha ; Mahasiswa Pasca Sarjana di Murdoch
University, Australia; Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
20 Maret 2015
BAGI
banyak kalangan, Ahok seakan tengah menjadi idola dalam kancah politik kita.
Betapa tidak, gayanya yang terus terang, frontal, dan menolak segala ewuh pakewuh menjijikkan, yang menjadi
topeng bagi segala perilaku tipu daya politik, memberikan kesan bahwa Ahok
adalah figur yang otentik dan menyegarkan. Belum lagi manuver terkini dia
yang membangun demarkasi dengan DPRD, yang ditenggarai Ahok telah melakukan
manipulasi penganggaran keuangan daerah. Manuver Ahok ini memunculkan
dukungan terhadap dirinya dari masyarakat yang sudah terlalu muak dengan
perilaku korupsi elit politik sekarang.
Tentu
mudah bagi kita, dan bahkan juga saya, untuk bersimpati dengan apa yang
dilakukan Ahok. Ketidakmampuan kita semua untuk menyikapi secara efektif
politik yang korup, membuat dukungan terhadap Ahok seakan menjadi perlu.
Kepemimpinan politik yang ‘lain daripada yang lain’ seakan menjadi jawaban
segera kita dalam menghadapi kondisi politik saat ini. Namun, kita perlu
belajar lebih jauh dari pengalaman kita sendiri. Masih segar dalam ingatan
bagaimana banyak dari kita mendukung Jokowi. Narasi umum dukungan tersebut
sedikit banyak adalah sama: bahwa Jokowi berbeda dari elit-elit yang ada pada
umumnya. Apa yang terjadi setelah ia didapuk di kursi kepemimpinan?
Kekecewaan demi kekecewaaan mendera dan ketidakberdayaan kembali menghantui
kita. Antusiasme politik yang sempat membuncah harus kembali direpresi atas
nama riil politik.
Sebagaimana
setiap pembelajaran, tidak semua kesalahan bersifat buruk dalam dirinya
sendiri. Ada hal-hal yang dapat direfleksikan sekaligus dievaluasi.
Spontanitas dukungan terhadap agenda anti korupsi di balik perseteruan Ahok
vs DPRD, setidaknya menunjukkan masih ada semangat untuk mendorong perubahan
di antara kita. Yang dibutuhkan adalah melakukan pembacaan secara serius
tanpa harus terjatuh dalam sentimen yang memunculkan ilusi dukung-mendukung
figur seperti Ahok.
Penelusuran
kita perihal ilusi yang muncul sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari
pertarungan politik, kuasa serta kepentingan di tingkatan Jakarta. Sebagai seseorang yang secara sosial berasal dari kelas kapitalis lokal,
Ahok memiliki kepentingan utama untuk menciptakan tata-kelola pemerintahan
daerah yang mampu mendukung mobilitas kapital di Jakarta. Akan tetapi upaya
ini harus bertemu dengan realitas politik yang masih didominasi oleh kekuatan
lokal yang berkepentingan untuk merampok sumber daya publik di Jakarta.
Benturan inilah yang kemudian menjadi dasar dari konflik kepentingan antara
Ahok dengan kekuatan politik yang lama bercokol di Jakarta. Disinilah kemudian terjadi konflik Ahok vs DPRD yang mengilusi,
karena gambaran representasi dalam konflik kepentingan yang seakan-akan jelas: Ahok yang
pro-perubahan melawan DPRD yang korup.
Akan
tetapi kita perlu lebih jeli dalam melihat konflik yang memunculkan ilusi
ini. Konflik
yang muncul bukan melulu melawan DPRD yang korup, akan tetapi lebih
kepada respon Ahok akan kegagalannya dalam mendisiplinkan birokrasi
pemerintahannya sendiri. Kasus korupsi UPS misalnya, yang menjadi
penyebab terjadinya konflik terbuka antara Ahok vs DPRD, justru pihak
birokrat pemerintahannya Ahok yang menjadi koruptor utama UPS tersebut.
Ditangkapnya Alex Usman, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan
Menengah Jakarta Barat, adalah bukti bahwa birokrasi yang sebenarnya menjadi
hambatan bagi operasi kepentingan Ahok (Rakyat Merdeka Online, 2015). Bahkan
birokrasi yang korup ini memiliki kapasitas untuk memengaruhi proses politik
dalam DPRD. Dalam kasus Alex Usman misalnya, ia memiliki putri yang bernama
Aditya Sartika yang merupakan anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI periode
2014-2019.
Hambatan
dari birokrasi inilah yang menyebabkan mengapa Ahok dapat secara vulgar
memunculkan ketidaksukaannya pada praktek birokrasi yang lama. Ia tidak
segan-segan untuk mengekspresikan secara kasar, bahkan mengancam
untuk memecat sambil berteriak-teriak,
birokrat-birokrat yang dianggapnya tidak becus dalam tugasnya. Selain itu,
Ahok banyak meluncurkan inisiatif e-goverrnance di Jakarta, yang pada
dasarnya adalah upaya dirinya untuk memotong otoritas birokrasi yang terlalu
besar cengkeramannya dalam administrasi pemerintahan. Walau begitu, semua
upaya tersebut masih belum cukup untuk menciptakan birokrasi yang dibutuhkan
Ahok.
Kefrustasian
Ahok dalam mendisiplinkan birokrasinya sendiri menciptakan kondisi bagi
diperlukannya dukungan publik luas terhadap tindakannya. Melalui jargon
serta retorika tentang pentingnya
transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, Ahok mengajak publik
Jakarta agar ikut mengawasi proses birokrasi yang ada. Proses ini yang
kemudian menciptakan dan mendongkrak popularitas Ahok. Ia tidak hanya
dianggap sebagai figur jujur yang hendak menciptakan tata-kelola
pemerintahan, tetapi juga digadang-gadang sebagai seseorang yang berani dalam
melawan kekuasaan korup di Jakarta. Popularitas ini semakin meluas ketika
media secara luas memberitakan sepak terjang Ahok dalam memperlakukan
birokrasinya sendiri.
Lalu
dimana letak ilusinya? Ruang dukungan yang
tersedia adalah ruang yang sama sekali terbatas. Kuasa akan transparansi dan
akuntabilitas yang diberikan kepada publik didefinisikan secara terbatas
sebagai pengawas tanpa punya kuasa atas apa yang diawasi. Dalam hal
ini, publik mendukung layaknya penonton sepakbola ketika mendukung tim
kesayangannya bermain. Disinilah kemudian antuasiasme politik publik yang
muncul di balik gagasan akuntabilitas serta transparansi tersebut akan mudah
diarahkan menjadi dukungan politik yang sifatnya sempit. Dengan kata lain,
akan mudah bagi publik untuk dicucur hidungnya agar mengikuti kepentingan
elit tertentu.
Untuk
tetap bertahan dalam ilusi ini adalah sesuatu yang berbahaya bagi kita
sendiri. Kita sebagai publik tidak berarti memiliki kepentingan yang sama dengan
Ahok. Memberikan dukungan serta mengamini secara membabi-buta agenda-agenda
Ahok tanpa diiringi tuntutan kebijakan tertentu terhadap pemerintahan Jakarta
sekarang, akan memudahkan antusiasme publik yang muncul untuk dikendalikan di
bawah kepentingan elit tertentu. Kondisi yang memungkinkan untuk munculnya
manipulasi kepentingan publik oleh elit politik kota.
Lantas bagaimana kita dapat mempertahankan antusiasme yang ada
tanpa harus terjebak dalam kendali kekuatan elit? Jawaban
dari pertanyaan ini bahwa antusiasme yang membuncah ini perlu untuk dikaitkan
dengan penguatan kapasitas politik dalam rangka mengendalikan secara
programatik kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik Jakarta secara
luas. Tuntutan programatik inilah yang menjadi acuan dari semua sikap politik
publik dalam kaitannya dengan kontestasi elit. Disinilah menjadi penting untuk mulai membicarakan proses
penganggaran yang partisipatif; warga
bukan sekedar mengawasi layaknya penonton tapi juga memiliki kuasa untuk membangun agendanya sendiri dalam
anggaran pemerintahan yang tersedia.
Dengan kata lain, anggaran untuk memenuhi kepentingan sosial masyarakatnya.
Dengan
pengendalian atas anggaran, warga dapat memastikan secara nyata bahwa
pemerintahan serta aparat kekuasaan disekitarnya dapat transparan sekaligus
akuntabel terhadap rakyatnya. Hal ini penting mengingat secara kebijakan pembangunan perkotaan sendiri, Ahok
tidak kalah bermasalahnya. Ia mengatakan bahwa pengadaan barang haruslah transparan, namun ia tidak pernah mengatakan hal yang sama
perihal pengadaan lahan untuk ruang hidup di Jakarta. Lahan di Jakarta masihlah menjadi penguasaan
orang-orang berduit. Tidak heran jika masih banyak orang-orang miskin Jakarta
yang memiliki hak hidup di kota tetapi harus mengalami kebijakan penggusuran.
Jika memang pemerintahan yang hendak berlaku di
Jakarta adalah pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya
(akuntabel), bukankah kebijakan seperti penggusuran atas nama pembangunan terhadap rakyat miskin, yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jakarta,
dapat dihindari?
Mungkin
terdapat argumen moral di sini. Namun harus dipahami bahwa apa yang terjadi
serta ilusi yang mengiringinya adalah manifestasi dari pertarungan
ekonomi-politik kekuatan yang ada. Selama publik
belum membangun agenda politiknya sendiri, yang otonom
dari kepentingan Ahok maupun kepentingan kekuatan politik lama yang bercokol di Jakarta, maka dapat dipastikan ia akan selalu mudah
terseret-seret dalam atraksi sirkus dukung-mendukung yang sudah terjadi
selama ini. Disinilah pengorganisiran politik atas kepentingan publik
menjadi tak terhindarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar