Nostalgia
Bre Redana ; Penulis kolom
“Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
22 Maret 2015
Sebagaimana
banyak orang mengenang bagaimana sejumlah jalan dulu lancar dan kini macet
luar biasa, saya juga ingat, beberapa waktu lalu Jakarta Outer Ring Road
alias JORR rasanya cukup nyaman, menghubungkan orang-orang dari pinggiran ke
dalam kota. Bahkan dari luar kota, desa saya di Ciawi menuju kawasan Senayan,
kalau mood sedang ingin ngebut bisa
kurang dari satu jam.
Kini
perubahan berlangsung sangat cepat. Keadaan JORR seperti keadaan sekitar
setahun lalu tadi, kini terkubur sudah dalam kenangan. Ia masuk wilayah oblivious, sebagaimana daerah Tebet
sekitar 30 tahun lalu, tempat tinggal pertama saya di Jakarta. Sesuatu yang
tak mungkin kembali. Menunggu taksi saja bisa berjam-jam. Rasanya tak ada
kendaraan lewat. Di situ pula dulu terdapat tiga bioskop, Tebet Theatre,
Viva, Wira. Semua film saya tonton, termasuk film-film Indonesia, apalagi
kalau bintangnya Enny Beatrice. Ah....
Komputer
pertama memasuki kantor kami sekitar pertengahan tahun 1980-an menggantikan
mesin tik. Perlahan-lahan perubahan terjadi. Kami kemudian mengenal modem.
Ketika kecepatan modem dipertanyakan, saya masih bertanya, mau secepat apa?
Biasanya kami mengirim dokumen, termasuk foto, lewat jasa ekspedisi.
Kelanjutan
cerita Anda tahu, karena itu pasti bagian dari cerita hidup Anda juga. Modem
yang makin cepat. Chip yang lebih cepat lagi. Hard drive berkapasitas
gigabyte. Yahoo. Amazon. Video streaming. Blackberry, iPod, smartphone, dan
entah apa lagi.
Setiap
kali orang bicara mengenai perubahan ini, pasti muncul kutipan dari McLuhan, ”the medium is the message”, meski di
antara 100 pengutipnya, saya yakin hanya dua yang membaca bukunya. Tidak apa.
Marshall McLuhan serelevan The Beatles,
apalagi bukunya, Understanding Media:
The Extensions of Man, terbit bersamaan meledaknya Beatles di Amerika,
tahun 1964. Mereka sama-sama produk 60-an, hard-rock, psychedelic, new age.
Dalam
pandangannya waktu itu, munculnya media elektrik di abad ke-20, seperti
telepon, radio, film, televisi, akan mematahkan tirani teks (sebutlah buku)
yang membentuk pikiran dan cita rasa (individual)
kita. Kita di ambang zaman ketika simulasi teknologi yang berhubungan dengan
kesadaran, membuat proses kreatif untuk mengetahui (mendapat informasi) akan
segera menjadi kolektif dan meluas di antara seluruh masyarakat.
Dari
waktu ke waktu orang cenderung tidak membedakan antara isi berita dan
mediumnya. Orang tak pernah menaruh perhatian apalagi curiga pada medium. Di
situlah McLuhan mengingatkan kita. Baginya, isi tak lebih dari ”sekerat daging segar yang dibawa pencuri
pembobol rumah kita, untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga di dalam
otak”.
Anjing
penjaga di dalam otak? Adakah watchdog
di dalam otak kita? Kalau iya, apa bentuknya?
Yang
dimaksud di situ kurang lebih consciousness,
kesadaran, atau istilah dalam bahasa Jawa yang paling mendekatinya, eling. Terlena pada semata-mata isi,
orang abai terhadap kenyataan bagaimana bentuk medium mengubah kesadaran
kita.
Lihat
ini. Kini, perlahan-lahan orang meninggalkan kebiasaan membaca produk cetak,
buku, majalah, koran. Layar gadget menggantikannya. Dalam istilah Nicholas
Carr, proses membaca buku adalah proses pembacaan yang bersifat linear. Orang
fokus pada satu hal.
Berbeda
dari proses pembacaan lewat layar komputer. Carr menyebutnya hyperlinks. Orang meloncat ke sana-kemari,
tidak fokus pada satu hal.
Implikasi
dari perkembangan tersebut sudah kita rasakan. Informasi
yang seperti air bah membanjiri otak kita. Barangkali itu memang menjadikan
kita lebih tahu, serba tahu, tetapi bersamaan dengannya kesadaran mencerna
kita menurun. Itulah dimensi otak baru kita.
Perhatian, kesantunan, empati, tepa selira, merosot. Kadang
saya kangen, bukan hanya pada kelengangan jalan waktu itu, tetapi juga pada
otak lama manusia.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar