Sabtu, 03 Mei 2014

“Derby” Nasionalis

“Derby” Nasionalis

Jeffrie Geovanie  ;   Diretur Utama PT Sinar Harapan Media Holding
SINAR HARAPAN, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
Pertarungan di arena politik agak mirip dengan pertandingan sepak bola, penuh kejutan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Mari kita tengok sejenak, misalnya di arena Liga Champions, laga pertarungan antarklub paling bergengsi di Eropa atau bahkan di dunia itu baru-baru ini menghadirkan kejutan.

Klub yang dianggap terkuat, sang petahana, Bayern Munchen, tersungkur dengan telak, 0-4, di kandangnya sendiri saat laga leg kedua semifinal melawan Real Madrid, yang di klasemen kompetisi domestiknya bukan yang teratas.

Siapa pula yang menduga, Real Madrid harus bertemu lawan sekotanya, Atletico Madrid, yang dalam semifinal mengalahkan Chelsea, yang juga tersungkur di kandangnya sendiri yang terkenal angker, Stamford Bridge. Laga final Liga Champion menjadi ajang derby Madrid, layaknya La Liga (Liga Spanyol).

Agak mirip dengan Liga Champion Eropa, pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia akan menjadi ajang derby, dua kekuatan nasionalis bertemu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang pada Pilpres 2009 berada dalam satu barisan melawan kekuatan liberal (Partai Demokrat) yang disokong partai-partai pragmatis.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada capres-capres yang lain, menurut saya, hanya dua capres dari dua partai itulah, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, yang akan beradu kuat di pilpres dengan visi, strategi, dan taktik masing-masing. Fenomena ini semakin memperkuat adagium, dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Pihak yang sebelumnya berkawan, sekarang menjadi lawan.

Antitesis SBY

Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama dianggap antitesis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang selama dua periode pemerintahannya tidak menghasilkan prestasi yang mengesankan. Oleh karena itu, menjadi antitesis SBY merupakan pilihan menarik. Tentu lain ceritanya jika pemerintahan SBY sukses luar biasa.

Siapa di antara kedua capres yang dianggap paling tepat mewakili antitesis SBY? Menurut banyak kalangan, Prabowo lebih tepat karena performanya tegas, decisive , bahkan cenderung galak. Ini sangat kontras dengan pembawaan SBY yang melankolis, penuh keragu-raguan, dan santun.

Menurut saya, Jokowi juga tepat dikatakan antitesis SBY karena di era demokratisasi seperti sekarang, terjadi proses transformasi dalam mendambakan sosok pemimpin. Mulanya, rakyat mendambakan sosok pemimpin yang gagah dan pintar, pada sosok seperti inilah tumpuan rakyat diletakkan. Tampilnya SBY dianggap merepresentasikan tahapan ini.

Tapi, setelah sosok yang gagah dan pintar terbukti kurang efektif menjadi pemimpin, rakyat kemudian mengharapkan sosok pemimpin yang bersifat jujur, tulus, dan hadir di tengah rakyat. Jadi, yang didambakan bukan lagi tampilan fisiknya, melainkan lebih pada karakteristik.

Jika SBY profil perfeksionis, dengan tampilan dan gaya bicara yang diatur sedemikian rupa sehingga jauh dari kesalahan-kesalahan yang bersifat teknis dan tampak bertumpu pada pencitraan, Jokowi adalah profil apa adanya, dengan tampilan dan gaya bicara yang lebih terkesan ceplas-ceplos, jauh dari pencitraan.

Kompetensi dan Efektivitas

Dalam perspektif komunikasi, ada metode distingsi yang membedakan antara satu dan yang lain. Perbedaan menjadi penting karena publik cenderung memilih yang berbeda dari yang ada.

Baik Jokowi maupun Prabowo sudah berhasil menciptakan distingsi dari presiden petahana (SBY) yang ingin digantikan. Namun, yang diinginkan publik bukan semata presiden baru, melaikan juga sesuatu yang baru dari yang sudah ada sebelumnya.

Tapi, perbedaan apakah yang harus dikedepankan? Saya kira, pertanyaan ini penting diajukan agar kita tidak terjebak perbedaan yang mengacu fisik semata, atau pada karakteristik individual yang tampak di depan mata.

Perbedaan yang memberi nilai tambah, inilah yang lebih penting. Nilai tambah bisa muncul saat ditopang dua hal, pertama adalah kompetensi dan kedua adalah efektivitas.

Banyak pihak menilai SBY sebagai pemimpin yang kompeten. Di jajaran militer, ia dikenal sebagai “The Thinking General”, jenderal yang berpikir. SBY menjadi antitesis Soeharto yang dikenal sebagai “The Smiling General”.

Dalam praktik, kompetensi saja tidak cukup karena masih membutuhkan aspek lain yang bisa membuat kompetensi menjadi efektif. Karena itu, siapa pun yang menjadi presiden pasca-SBY, harus mampu memadukan kompetensi dan efektivitas.

Jokowi dan Prabowo, menurut saya, sama-sama berkompetensi sebagai modal dasar menjadi presiden. Kompetensi keduanya sudah teruji. Sebagai pemimpindi daerah, keberhasilan Jokowi sudah mendapatkan banyak pengakuan (berupa penghargaan), baik nasional maupun internasional. Sementara itu, Prabowo, meskipun belum pernah menjadi kepala daerah, kompetensi kepemimpinannya juga sudah teruji di lapangan, saat memimpin jenjang-jenjang kemiliteran.

Bagaimana keduanya bisa menjadi pemimpin yang efektif jika kelak menjadi presiden? Ini akan sangat tergantung dua hal. Pertama, siapa yang dipilih menjadi (calon) wakil presiden. Kedua, model koalisi seperti apa yang akan dibangun dalam menjalankan roda pemerintahan.

Pertama, posisi wakil presiden penting, bukan sebagai ban serep yang menjadi pelengkap atau sekadar aksesori. Berkaca pada pemerintahan SBY, periode pertama lebih efektif karena di sampingnya ada Jusuf Kalla yang tangkas dan cekatan. Sementara itu, periode kedua kurang efektif karena didampingi Profesor Boediono yang juga pemikir seperti SBY.

Kedua, koalisi yang dibangun SBY berjalan tidak efektif karena semata untuk memperbesar dukungan yang dibangun atas dasar kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Besar, tapi rapuh, karena di dalamnya terjadi tarik-menarik kepentingan. Koalisi dibangun hanya berdasarkan bagi-bagi kursi menteri, bukan atas dasar kesamaan visi dan ideologi.

Dua periode pemerintahan SBY menjadi pelajaran penting, baik bagi Jokowi maupun Prabowo. Pertama mereka harus memilih pendamping yang tepat. Kedua, dalam membangun koalisi, yang penting bukan besarnya, tapi efektivitasnya.

Setelah kedua hal itu terpenuhi, akhirnya rakyatlah yang memilih, siapa di antara kedua pemimpin nasionalis itu yang dianggap lebih tepat menjadi Presiden Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar