Minggu, 04 Mei 2014

Presiden Baru dan Harapan Tanah Papua

Presiden Baru dan Harapan Tanah Papua

Jimmy Demianus Ijie  ;   Penggagas Gerakan Papua Optimis, Politikus PDIP
SINAR HARAPAN,  03 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Sampai saat ini, baru Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengantongi satu tiket untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Selain itu, belum kelihatan siapa sesungguhnya yang bakal berhadapan dengan calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dari PDIP.

Namun, siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, praktis menghadapi berbagai persoalan mendasar bangsa ini, seperti kesejahteraan, infrastruktur, kebangsaan, dan kesenjangan wilayah timur-barat.

Berkaitan dengan kesenjangan wilayah, mau tidak mau, wilayah timur membutuhkan perhatian serius, bukan sekadar formal belaka. Wilayah timur membutuhkan keberpihakan yang nyata. Sesungguhnya, ada berbagai kebijakan yang sangat ironis karena justru memusatkan pembangunan di kawasan barat sehingga kesenjangan justru semakin melebar.

Sudah menjadi pengetahuan umum, wilayah timur, terutama Papua, merupakan wilayah yang jauh tertinggal. Padahal dalam beberapa periode pemerintahan, pemerintah sudah membentuk kementerian percepatan pembangunan kawasan timur atau sekarang berada dalam domain Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.

Tetapi, semua itu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Semestinya, kebijakan percepatan pembangunan kawasan timur diikuti keberpihakan dari sisi anggaran, personel, dan pendukung terhadap kebijakan itu.

Berkaitan dengan persoalan tanah Papua (Papua dan Papua Barat), sudah ada berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah pusat, termasuk keberadaan Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus bagi pemerintahan Papua, termasuk pembentukan UKP4B untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua.

Namun, berbagai kebijakan itu seolah tidak mampu menyelesaikan persoalan di tanah Papua. Selain itu, ada berbagai desk di hampir berbagai instansi pusat yang khusus mengurus tanah Papua, tapi tetap tidak mampu menjawab persoalan yang ada.

Persoalan Papua hari ini bukan sekadar makan, pakaian, dan rumah. Tapi, ada persoalan politik, sosial, kebudayaan, ekonomi, dan keadilan yang kait-mengait sehingga membutuhkan penanganan yang utuh dan berlanjut. Papua tidak boleh hanya ditangani parsial tanpa menyentuh akar persoalan.

Untuk itu, pemenang Pilpres 2014 perlu mempertimbangkan dengan serius untuk membentuk kementerian khusus urusan Papua, merupakan pembantu utama presiden untuk mengatasi masalah di tanah Papua. Semua kebijakan dari pemerintah pusat berada dalam koordinasi kementerian khusus itu sehingga kebijakan di tanah Papua benar-benar fokus, terkontrol, dan memudahkan evaluasi capaian setiap program.

Kementerian khusus ini bukan saja mengendalikan berbagai kebijakan soal tanah Papua, melainkan juga memudahkan sinergi antarprovinsi yang ada di tanah Papua.

Pembentukan kementerian seperti ini pun bisa ditemukan di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Kanada, dan Belgia. Kementerian khusus ini bermakna positif pula bagi eksistensi kaum minoritas atau penduduk asli Papua dalam konteks keindonesiaan.

Keberadaan kementerian itu merupakan penanda keseriusan dan bagian keberpihakan pemerintah terhadap penyelesaian persoalan Papua. Kementerian khusus Papua ini sekaligus penegasan terhadap tidak perlunya wacana gubernur jenderal yang digagas beberapa kalangan di Papua.

Hal lain, pemerintah mendatang harus memikirkan special envoy (utusan khusus) yang bertugas menangani diplomasi internasional mengenai masalah Papua. Utusan itu harus diambil dari orang Papua. Jadi, biarkan orang Papua (utusan khusus) yang bicara tentang Papua guna mengimbangi kampanye yang selama ini berlangsung di luar negeri.

Dialog Damai

Selain kementerian khusus untuk Papua, presiden terpilih mendatang harus benar-benar mengupayakan penyelesaian masalah Papua secara komprehensif. Pengalaman selama ini, pemerintah pusat seakan tergesa-gesa fokus menangani Papua jika eskalasi masalah sudah mulai meninggi, seolah tidak ada upaya menyentuh akar masalah di Papua.

Diakui atau tidak, peristiwa kekerasan, tembak-menembak, dan kelompok yang ingin merdeka merupakan realitas yang ada di tanah Papua. Tidak mungkin masalah ini diselesaikan dengan senjata. Itu karena persoalan membuktikan, dialog damai mampu menyelesaikan masalah mendasar.

Apalagi, pola pendekatan keamanan di tanah Papua belum jauh berubah. Begitu mudah orang ditempeli stigma pro “M” manakala bersuara kritis terhadap situasi yang terjadi di tanah Papua.

Bila hal ini tidak diubah, orang Papua akan terus diam terhadap berbagai persoalan yang ada. Setiap orang yang bersuara kritis tidak boleh seenaknya dicap sebagai “M”. Pola-pola seperti ini sebaiknya dibenahi pemerintahan hasil pilpres nanti.

Kita bersyukur karena sampai saat ini Aceh jauh lebih damai dan lebih fokus membangun daerah setelah pemerintah mau berdialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk itu, sebenarnya ada sedikit yang mengganjal di benak orang Papua. Jika pemerintah mau berdialog dengan Aceh, mengapa enggan berdialog dengan orang Papua?

Papua hanya ingin damai dan bisa lebih fokus memperbaiki diri. Seruan untuk berdialog damai ini sudah tak terhitung lagi. Ada harapan besar presiden terpilih mau berdialog menyelesaikan masalah Papua dalam konteks NKRI.

Kalau mau jujur, figur Jokowi memberikan harapan untuk ada dialog dengan orang Papua. Ketika Jokowi bersedia berdialog dengan pedagang di Solo, ketika Jokowi bersedia berdialog dengan preman dan pedagang Tanah Abang, bukan mustahil Jokowi bersedia berdialog dengan kelompok atau orang yang berbeda pandangan, termasuk berbeda ideologi.

Papua menanti sebuah dialog damai sehingga tanah Papua tidak tersandera konflik berkepanjangan yang bisa muncul kapan saja. Kalau Soekarno memperjuangkan kembalinya Irian Barat, sudah waktunya Joko Widodo menggenapi perjuangan Bung Karno.

Semoga di tangan dua insinyur ini, persoalan Papua benar-benar teratasi. Sangat ironis jika Soekarno mengembalikan Irian Barat, tetapi penerusnya tidak menyelesaikan masalah atau bahkan sekadar mempertahankan Irian Barat.

Pemerintahan mendatang perlu mempertimbangan pembentukan provinsi baru di tanah Papua sebagai salah satu upaya mempercepat pembangunan tanah Papua. Tanah Papua yang memiliki luas 3,5 kali lipat Pulau Jawa hanya memiliki dua provinsi. Bisa dibandingkan dengan Jawa yang memiliki enam provinsi.

Pembentukan provinsi baru bukan saja memudahkan rentang kendali pemerintahan, melainkan juga mendorong adanya pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, sekaligus membuka berbagai kesempatan mendorong perbaikan kesejahteraan di tanah Papua. Setidaknya, tanah Papua membutuhkan 5-7 provinsi.

Kiranya, Pemilihan Umum 2014 ini bukan sekadar rutinitas pergantian pemerintahan, melainkan benar-benar membawa angin perubahan bagi Indonesia. Hal yang terutama, ada harapan baru bagi kawasan timur, termasuk tanah Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar