Minggu, 04 Mei 2014

Merindukan Sosok Nasionalis Sejati

Merindukan Sosok Nasionalis Sejati

Jamal Ma’mur Asmani  ;   Peneliti dari Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliul Falah (Staimafa) Pati,
Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Kemandirian yang jadi spirit perjuangan Kiai Sahal seyogianya dapat menggugah kesadaran bangsa ini”

HARI Sabtu, 3 Mei 2014, KH MA Sahal Mahfudh telah 100 hari meninggalkan kita. Begawan fikih sosial dan bapak moral bangsa ini telah meninggalkan warisan intelektual dan sosial yang sangat berharga. Warisan intelektual tercermin dari karya sejumlah kitab, buku, dan makalah dalam berbagai forum.

Adapun warisan sosial terlihat dari terbentuknya Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), BPR Artha Huda, Rumah Sakit Islam (RSI), Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliíul Falah (Staimafa), Panti Asuhan Darul Hadhanah, dan lain-lain. Dua karya ini menunjukkan pemahaman komprehensif Kiai Sahal mengenai agama.

Pelajaran lain yang berharga dari Kiai Sahal untuk bangsa ini adalah keteguhan sikapnya sampai akhir hayat, yang menjadikannya sebagai teladan bagi seluruh elemen masyarakat. Salah satu bukti adalah kekonsistenan menjalankan khitah NU. Salah satu poin utama khitah adalah netralitas NU dari seluruh kepentingan politik praktis yang berorientasi pada perebutan jabatan dan kekuasaan struktural.

Selama hampir tiga periode menjadi pemimpin puncak NU, Mbah Sahal menjadi pengayom kader nahdliyin yang tersebar pada sejumlah partai, tidak ada yang dianakemaskan. Ia gigih mengendalikan gelombang politik masif warga NU ketika Gus Dur menjadi presiden, bahkan ketika dijatuhkan. Sewaktu KH Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendampingi Megawati, Kiai Sahal pun tegas menonaktifkannya dari ketua umum PBNU.   Kegigihan mengemban khitah dia tunjukkan dalam interaksinya dengan para pejabat negara. Ketika menerima tamu pejabat negara, mereka tidak boleh membawa insan pers sehingga pembicaraan lebih substantif dan tidak menjadi seremonial yang sarat publisitas.

Menurut Kiai Sahal (2008), netralitas NU dari seluruh kepentingan politik adalah langkah penting dalam membangun kemandirian organisasi. Sebelum NU berdiri, kemandirian warga nahdliyin telah ditunjukkan dengan kesediaan membayar iuran bulanan guna menghidupi mesin organisasi.

Namun setelah NU ’’menjadi’’ partai, penghimpunan dana lewat iuran berhenti karena ada ketergantungan kepada para politikus. Akhirnya, sampai sekarang sulit menggerakkan kesadaran warga nahdliyin untuk menghidupi organisasi melalui iuran bulanan, bahkan  mereka banyak bergantung pada ’’pemberian’’ politikus.

Mental proyek dan kebergantungan itu akhirnya membuat organisasi tidak netral dan NU secara organisasi menjadi subordinat bagi kepentingan para politikus. Warga nahdliyin kehilangan kreativitas dalam menggerakkan kemandirian organisasi. Inilah yang dikhawatirkan Kiai Sahal dan sekarang menjadi bukti.

Menurut Kiai Sahal, kemandirian harus berangkat dari kesadaran pribadi untuk berubah. Kesadaran ini ditunjang dengan keterampilan dan pendampingan secara reguler. Khitah sebagai pijakannya dalam mengendalikan NU membawa Mbah Sahal pada kesadaran bahwa politik tingkat tinggi adalah politik kerakyatan dan kebangsaan.

Membangun Karakter

Politik yang ia maksud berorientasi membangun rakyat dan bangsa dalam aspek kehidupan, ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan, dan moral. Adapun politik kekuasaan adalah politik berstrata paling rendah, karena sering menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan menjadikan kekuasaan tersebut sebagai alat untuk menumpuk kekayaan.

Mbah Sahal memulai gerakan kemandirian ekonomi rakyat dari Kajen, tempat kelahirannya. Ia membangun kesadaran masyarakat yang miskin dan tidak terdidik, untuk mengubah nasib. Setelah tumbuh kesadaran, mereka diberi keterampilan sesuai minat dan bakat. Baru setelah itu, diberi modal dan bimbingan. Pemberdayaan ekonomi rakyat itu berjalan efektif sehingga ekonomi masyarakat membaik.

Dalam konteks pemberdayaan inilah lahir BPPM dan BPR Artha Huda. Selain itu, kepedulian Kiai Sahal sangat tinggi terhadap kesehatan. Bermula dari mendirikan balai kesehatan kecil, yang dikembangkan menjadi rumah sakit untuk menjaga kesehatan rakyat. Dalam aspek pendidikan, ia menekankan internalisasi karakter ketimbang formalitas ijazah.

Ia berpaham membangun bangsa adalah membangun karakter, seperti kejujuran, tanggung jawab, kepedulian sosial, kemandirian, kreativitas, optimisme, dan sikap visioner. Langkahnya itu sekaligus membuktikan ia nasionalis sejati, sangat mencintai Tanah Air sehingga terus berjuang untuk memajukannya.

Kemiskinan dan kebodohan rakyat harus dikikis sebagai syarat mencapai kemajuan bangsa. Kepedulian besarnya dalam memberantas kemiskinan dan mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan membawanya pada refleksi kritis dan aksi konkret. Refleksi kritis pemikiran tercermin dalam fikih sosial, dan aksi konkret yang terlihat dari program riil pemberdayaan ekonomi kerakyatan.  Ke depan, kita membutuhkan sosok pemimpin negeri yang berpaham nasionalis sejati seperti Kiai Sahal. Pemimpin seperti itu bisa maksimal memberdayakan potensi bangsa, dan tidak akan menggadaikan bangsa ini kepada negara lain atau mengeksploitasi tanpa mengonservasi untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Kemandirian yang jadi spirit perjuangan Kiai Sahal seyogianya menggugah kesadaran bangsa ini bahwa kesuksesan bukan karena ada bantuan dari negara lain melainkan harus lahir dari tekad terdalam untuk menggali dan mengembangkan potensi. Ikhtiar itu menjadikan bangsa ini lebih kompetitif dan inovatif dalam segala aspek kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar