Sabtu, 24 Mei 2014

Menyoal Model Capres Berkampanye

Menyoal Model Capres Berkampanye

M Jamaluddin Ritonga  ;   Dosen Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta
MEDIA INDONESIA,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KAMPANYE pemilihan presiden (pilpres) secara resmi akan digelar 4 Juni-4 Juli 2014. Partai pendukung (koalisi) telah mendeklarasikan keunggulan komparatif pasangan bakal capres-cawapres yang diusung dan sudah mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla diusung koalisi PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura. Koalisi Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keunggulan setiap pasangan dijadikan kata kunci untuk dijual kepada calon pemilih.

Untuk melaksanakan kampanye pilpres, partai pendukung (koalisi) juga sudah mempersiapkan platform yang akan diwujudkan pasangan bakal capres-cawapres mereka. Platform yang diusung tentu yang dinilai paling jitu dan feasible untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara kekinian dan mendatang.

Agar menarik, platform dan keunggulan bakal caprescawapres disulap dengan beragam kemasan yang kemudian ditawarkan kepada calon pemilih melalui berbagai saluran komunikasi. Kemasan pesan yang diterima calon pemilih ada yang berisi keunggulan komparatif platform dan calon partai pendukungnya, tapi tidak sedikit yang menyudutkan platform dan calon partai pendukung yang menjadi kompetitor. Tujuannya tentu untuk memengaruhi psikologis calon pemilih agar memilih platform dan calon pasangan capres-cawapres mereka pada 9 Juli 2014.

Kemasan kampanye demikian tampaknya akan mengemuka dalam kampanye pilpres 2014. Partai pendukung menggunakan segala cara untuk memperoleh dukungan sebanyak mungkin calon pemilih dengan klaim bahwa platform mereka paling prorakyat serta capres-cawapresnya paling nasionalis, religius, amanah, pelindung HAM, dan merakyat.

Meminimalkan hujatan

Kampanye pemilu model pendekatan mesin politik seharusnya sudah tidak relevan diterapkan di era reformasi. Rakyat yang memiliki hak pilih tidak selayaknya dijadikan objek politik, yang hanya mengamini platform yang ditawarkan partai pendukung capres-cawapres. Sebagai pemilik kedaulatan negara, sudah sepatutnya para pemilih dijadikan subjek politik dengan melibatkan mereka dalam menentukan platform dan capres-cawapres setiap partai pendukung.

Kalau mekanisme itu dilakukan partai pendukung peserta Pilpres 2014, setiap partai saat berkampanye tidak lagi menawarkan platform yang terasa asing bagi pemilih. Partai pendukung juga tidak lagi sekadar gagah-gagahan dan asal tampil beda dalam menetapkan capres-cawapresnya. Platform dan capres-cawapres yang diusung partai pendukung seharusnya sudah familier dan konvergen dengan calon pemilih.

Kalau kampanye pilpres mengacu pada platform dan capres-cawapres yang sesuai dengan harapan masyarakat, kebiasaan para caprescawapres saling menghujat dapat diminimalkan. Perang ayat suci, merasa partai pendukungnya paling agamais, paling nasionalis, paling bersih, dan paling berjasa terhadap negeri ini tidak akan mengemuka lagi. Setiap parpol dengan kepekaan empatinya berlomba-lomba mengemas platform dan kandidat capres-cawapres dengan ragam pendekatan persuasif, terutama penggunaan pesanpesan yang rasional.
Untuk mengoptimalkan kampanye yang rasional, kampanye melalui pendekatan kelompok, organisasi, dan media massa kiranya dapat dijadikan pilihan. 

Pendekatan itu dapat dikombinasikan sesuai karakteristik dan situasi pemilih serta kemampuan finansial setiap partai pendukung. Makin terintegrasi kombinasi pendekatan tersebut digunakan, akan makin efektif kampanye yang dilakukan. Tentu makna efektif di sini tidak sekadar dapat mendulang pemilih sebanyak-banyaknya, tetapi yang lebih penting setiap partai pendukung capres-cawapres telah melaksanakan komitmennya untuk mewujudkan kampanye pilpres sebagai sarana pendidikan politik yang edukatif.

Dengan model kampanye seperti itu, pemilih akan mendapat suguhan pendidikan politik yang benar-benar edukatif. Pemilih tidak lagi mendapat janji kosong dan asal bunyi dari para capres-cawapres. Partai pendukung dalam berkampanye juga tidak lagi menjual kucing dalam karung, tetapi benar-benar menawarkan platform yang rasional dan capres-cawapres yang familier dengan pemilih.

Tergantung platform

Model kampanye demikian memang belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam menetapkan platform dan capres-cawapres misalnya, masih banyak partai pendukung yang menerapkan pendekatan otoriter. Dominasi petinggi partai tampak begitu kuat, terutama dalam menetapkan platform serta memutuskan capres-cawapres. Usulan capres-cawapres yang berasal dari DPC dan DPD, termasuk aspirasi masyarakat, kerap dimentahkan begitu saja oleh petinggi setiap partai pendukung dengan berbagai alasan, terutama karena kewenangan sudah diberikan kepada ketua umum.

Jadi, platform dan caprescawapres yang ditawarkan partai pendukung pada kampanye Pilpres 2014 tidak konvergen dengan harapan para pemilih. Dalam kondisi demikian, partai pendukung dan caprescawapres mereka menjadi sulit mempengaruhi psikologis para pemilih untuk berpartisipasi pada Pilpres 2014.
Kecenderungan tersebut dikhawatirkan membawa dua kemungkinan bagi calon pemilih. Bagi pemilih terdidik, mungkin akan memilih golput karena tidak yakin dengan platform dan capres-cawapres yang diusung partai pendukung. 

Celakanya, jumlah pemilih terdidik yang berasal dari kaum muda merupakan jumlah terbesar dalam Pilpres 2014. Kalau itu terjadi, partai pendukung capres-cawapres turut memberi kontribusi meningkatnya golput di Indonesia.
Pemilih yang tidak terdidik mungkin akan tetap menggunakan hak pilih mereka bila mendapatkan iming-iming dari partai pendukung. Kalau itu terjadi, politik uang akan tetap marak pada Pilpres 2014. Hal itu tentu akan memberi cacat dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas Pilpres 2014 sulit diwujudkan.

Dengan kecenderungan kampanye pilpres yang diperagakan setiap partai pendukung capres-cawapres, tentu sulit mengharapkan terlaksananya kampanye pilpres yang rasional. Kampanye pilpres sebagai sarana pendidikan politik pun dengan sendirinya akan sulit terwujud. Setiap partai pendukung dan capres-cawapres lebih banyak mengumbar janji-janji kosong yang tidak familier dengan calon pemilih. Yel-yel partai pendukung dan penampilan artis-artis pun tetap menonjol daripada pemaparan platform yang konvergen dengan calon pemilih.

Realitas tersebut menjadi cermin bahwa partai pendukung capres-cawapres pada Pilpres 2014 tak pantas menyandang partai reformis. Semua parpol itu hanya menggunakan jubah reformasi, tapi bermental otoriter. Hal itu patut disadari semua partai pendukung caprescawapres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar