Swasembada
Daging Kehilangan Arah
Ronny Rachman Noor ; Guru Besar Pemuliaan dan Genetika IPB;
Adjunct Professor di University of
New England, Australia
|
KOMPAS,
13 Februari
2018
Dalam
beberapa bulan ke depan— menjelang bulan puasa—dapat dipastikan ritual
tahunan gejolak harga daging kembali terjadi. Kondisi berulang ini akibat
laju produksi daging tidak mampu mengikuti laju permintaan daging.
Dalam
upaya memecahkan masalah inilah program swasembada daging digulirkan lebih
dari 10 tahun lalu. Namun, sejak awal, program swasembada daging mengundang
pro dan kontra. Data empiris menunjukkan bahwa program swasembada daging
tidak akan pernah dapat terwujud jika tidak ada langkah ekstrem dalam
pembibitan sapi, tulang punggung penyedia ternak bakalan untuk ternak potong.
Suplai kurang
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan, populasi sapi potong
dalam kurun waktu 2009-2016 di Indonesia sebenarnya sudah sedikit meningkat. Akan
tetapi, peningkatan tersebut belum mampu memenuhi permintaan kebutuhan daging nasional.
Produksi
daging sapi dalam negeri tahun 2017 malah defisit. Sapi lokal hanya mampu
menyediakan 354.770 ton daging, sedangkan kebutuhan daging nasional mencapai
604.968 ton. Artinya, produksi daging nasional hanya mampu memenuhi 58,74
persen dari kebutuhan. Untuk memenuhi kekurangan 30-40 persen, pemerintah
harus mengimpor sapi bakalan dan daging
(Ditjen PHK, 2017).
Dari
proyeksi Pola Konsumsi dan Produksi Daging Nasional Periode 2014-2020 yang
diolah dari Pusdatin Pertanian (2016) diketahui kecenderungan kekurangan
pasokan daging di Indonesia akan terus berlangsung sampai tahun 2020.
Jika
data produksi daging dan konsumsi daging rumah tangga diproyeksikan sampai
tahun 2020, maka pertumbuhan produksi daging sapi sampai tahun 2020 meningkat
1,93 persen, sedangkan laju peningkatan konsumsi daging pada periode yang
sama mencapai 1,35 persen.
Namun,
mengingat produksi daging ini belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, tahun
2020 akan terjadi kekurangan daging sapi 0,17 persen.
Belum berdampak
Program
swasembada daging ini harus diakui berhasil menarik perhatian banyak pihak,
termasuk dalam hal lebih besarnya pengalokasian anggaran untuk program ini
dan program lain terkait bidang
peternakan. Namun, jika dilihat pergerakan pola permintaan dan produksi
daging dalam kurun waktu 2014-2020, program ini tidak banyak berdampak pada
pengurangan gap antara permintaan dan produksi yang semakin melebar.
Upaya
pengurangan impor sapi dan daging beku yang telah diupayakan dalam lima tahun
terakhir memang sudah mulai terlihat dampaknya: penurunan angka impor sapi
hidup dan daging, terutama yang berasal dari Australia. Namun, mengingat
produk daging sapi lokal masih belum
mampu memenuhi permintaan daging nasional, ke depan impor sapi hidup dan
daging masih harus dilakukan.
Ketergantungan
Indonesia akan sapi impor dalam pemenuhan kebutuhan daging memang sudah
selayaknya diupayakan untuk terus diturunkan seiring dengan upaya untuk peningkatan
produksi daging dalam negeri yang peran sapi lokal di dalamnya cukup besar.
Di
samping pengurasan devisa, impor sapi hidup dan daging beku yang tidak
terkendali akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada negara lain.
Situasi ini akan menjadi sangat berbahaya ketika suatu saat nanti Indonesia
tidak dapat lagi mengimpor sapi dan daging beku karena negara pengekspor
menghentikan pasokan akibat perubahan situasi politik, bencana alam, dan
faktor lainnya.
Program
peningkatan populasi dilakukan melalui program sapi kembar dan juga pemasukan
materi genetik sapi jenis belgian blue. Sapi ini berkarakter double muscle
yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian Pertanian secara matematis
dapat meningkatkan produksi daging, tetapi secara teknis kedua program ini
akan menghadapi banyak kendala, sehingga tingkat keberhasilan kedua program
sangat kecil sebagai solusi dalam upaya peningkatan produksi daging nasional.
Hilang orientasi
Kehilangan
orientasi dalam program swasembada daging nasional ini memang sangat
mengkhawatirkan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah. Hal ini
mengharuskan penggunaan anggaran secara efisien dan tepat sasaran. Oleh sebab
itu, daripada melaksanakan program mercusuar yang berdampak sangat kecil
terhadap pencapaian swasembada daging, lebih baik memfokuskan program
pemberdayaan ternak lokal melalui peningkatan mutu genetik dan perbaikan
manajemen pemeliharaan dan pakan agar produktivitas dan populasinya
meningkat.
Dalam
jangka panjang program persilangan antara ternak lokal dan ternak eksotik
harus diarahkan untuk membentuk synthetic breed yang komposisi gen dan
produktivitasnya lebih stabil sehingga akan berfungsi sebagai ternak bibit
dan dapat dikembangkan lebih lanjut melalui perbanyakan populasi ternak
silangan dalam mendukung produksi daging nasional.
Oleh
karena itu, ke depan, program pembentukan breed sintetik sapi Indonesia perlu dijadikan prioritas agar
dalam jangka panjang Indonesia memiliki breed sapi yang dapat diandalkan
produksi dagingnya dan dapat menunjang kebutuhan daging nasional.
Perlu reorientasi
Mengingat
sulitnya mewujudkan program swasembada daging nasional, perlu adanya
reorientasi visi ke arah swasembada
protein hewani. Melalui program swasembada protein hewani, semua potensi
ternak lokal penghasil daging seperti sapi, kambing, domba, ayam, itik, dan
kelinci, juga telur seperti telur ayam, itik, puyuh, serta susu , akan dapat
dilibatkan untuk mendukung program ini.
Di
samping itu, sektor perikanan diharapkan dapat berperan besar mewujudkan swasembada
protein hewani ini melalui peningkatan konsumsi ikan.
Program
terpadu swasembada protein hewani ini diharapkan tidak saja mengefisienkan
biaya, tetapi juga menghilangkan sekat-sekat yang selama ini menghambat kerja
sama lintas sektor yang sangat diperlukan dalam pembangunan nasional. Dengan
hilangnya sekat-sekat ini diharapkan swasembada protein hewani dapat
diwujudkan dalam waktu dekat untuk mendukung program peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia mendatang yang lebih cerdas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar