Jumat, 02 Februari 2018

Reorientasi Pendidikan Tinggi

Reorientasi Pendidikan Tinggi
Mohammad Abduhzen ;  Advisor Paramadina Institute for Education Reform, Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
                                                     KOMPAS, 02 Februari 2018



                                                           
Dalam berbagai pidatonya belakangan ini, Presiden Joko Widodo berulang kali menekankan pentingnya pendidikan kita memiliki fleksibilitas sehingga dapat merespons setiap perubahan cepat yang ada di dunia.

Menurut Presiden, perguruan tinggi (PT) kita sudah berpuluh tahun dengan jurusan itu-itu saja, tidak pernah berani detail masuk ke hal-hal yang dibutuhkan sekarang ini. ”Kita terlalu linier, terlalu rutinitas, padahal perubahan-perubahan ini sangat cepat sekali,” ujar Presiden.

Menurut Jokowi, PT semestinya memiliki jurusan yang dibutuhkan masyarakat. Jurusan di PT juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja dan merespons kemunculan inovasi disruptif. Jokowi mengingatkan pentingnya peran PT dan kontribusi pemikiran para ilmuwan (sosial) untuk menghadapi era perubahan yang terjadi. Untuk itu, Presiden meminta perlu ada reformasi pendidikan di Indonesia dan berharap agar kurikulum pendidikan nasional dibuat lebih fleksibel, efektif, dan kontekstual. 

Sindrom mengejar ketertinggalan

Situasi PT kita memang masih memprihatinkan, baik jika dibandingkan dengan PT negara tetangga maupun dilihat dari kebergunaannya dalam menolong memecahkan masalah dan memenuhi berbagai kebutuhan bangsa. Dalam operasionalisasinya, PT kita mengalami disorientasi yang panjang dan wacana untuk memajukannya selama hampir 20 tahun belakangan sebagian besar bermuara pada gagasan kabur tentang daya saing dan atau PT kelas dunia. Ide berdaya saing dan obsesi jadi PT kelas dunia seolah telah menjadi tujuan utama,  menggeser episentrum pendidikan nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdan Dikti) bahkan pernah mewacanakan akan ”mengimpor” orang asing sebagai rektor demi menjalankan arahan Presiden Joko Widodo agar pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas dunia.

Belakangan, gagasan tentang daya saing dan PT kelas dunia menjadikan PT kita seumpama ”pungguk merindukan bulan”. Pertama, karena dana yang dialokasikan untuk Kemristek dan Dikti yang menaungi PT sangat minim dibandingkan dengan besarnya keinginan memajukan PT. Tersebab anggaran terbatas (Rp 41,3 triliun atau hanya 9,2 persen dari anggaran pendidikan tahun 2018 senilai Rp 444,1 triliun),  Kemristek dan Dikti berencana menciutkan program studi di PT negeri (PTN).

Kedua, maraknya kebohongan akademik, di antaranya kasus beberapa rektor PTN dan swasta (PTS) yang diduga berijazah palsu, memfasilitasi plagiarisme, dan menjalankan ”paket kilat” program doktor di kampusnya yang, antara lain, malah terletak di ibu kota negara. Mengingat pimpinan PTN menduduki jabatan karena dipilih oleh senat universitas dan memperoleh dukungan kuota 35 persen suara menteri, maka berbagai kecurangan PTN yang muncul belakangan ini menggambarkan kualitas sistem dan integritas sumber daya manusia pengelola PTN—baik di kampus maupun di kementerian—belum cukup andal. Bagaimana akan maju, bersaing, masuk kelas dunia, jika hal-hal mendasar PT kita masih seperti budaya ”pasar ular”: berkelok-kelok dan banyak percaloan.

Ketiga, budaya sebagian PT kita belakangan ini terkontaminasi oleh   tradisi politik dan korporasi yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan akademis dan meluruhkan moralitas sebagian sivitas akademika. Dalam pemilihan pimpinan dan pengisian jabatan PT, misalnya, para calon kini lazim membentuk tim sukses. Kerja tim sukses ini di antaranya untuk ”melobi” berbagai pihak, termasuk kementerian.

Pimpinan terpilih kemudian mengisi struktur jabatan di bawahnya berdasarkan pada intensitas keberpihakan  seseorang dalam tim pemenangan, bukan didasarkan pada kapabilitas. Tak heran jika di kampus berkembang  ”klik-klik”-an yang  lebih suka memproduksi  intrik daripada karya ilmiah.  Beberapa pemimpin PT juga menggunakan kampus untuk bermanuver politis—entah atas dasar dan tujuan apa—di antaranya dengan mengobral gelar doktor (honoris causa), bahkan menganugerahkan gelar ”guru besar” (profesor) kepada para pejabat, tokoh strategis partai, atau tokoh organisasi lain.

Kehidupan ilmiah di kampus tergerus pula oleh semangat korporasi yang terus ditumbuhkan. Alih-alih fokus menumbuhkan budaya akademik sebagai basis kemajuan, pimpinan PTN tersita waktunya memikirkan kiat mencari dana, di antaranya dari (calon) mahasiswa dan mengembangkan mal/pusat perbelanjaan di lahan milik PT agar dapat mencapai predikat tertinggi, yaitu ”PT Mandiri” (terutama pendanaan), seperti dikehendaki oleh perundang-undangan. Maka, biaya kuliah di PTN jadi sangat mahal. Pemerintah juga tampaknya memberikan peluang dengan menetapkan  kuota 30 persen mahasiswa baru melalui jalur mandiri yang biayanya seolah ”manasuka” PTN yang bersangkutan.

Keempat, para dosen lebih sebagai pekerja ”profesional” ketimbang cendekiawan dan pendidik yang penuh pengabdian pada keilmuan dan kemanusiaan sehingga cenderung bersikap transaksional. Aktivitas keilmuan para dosen kebanyakan bersifat semu (pseudo-scientific) memenuhi ketentuan angka kredit  untuk mencapai atau mempertahankan jabatan akademik, seperti guru besar, karena diiming-imingi tunjangan profesi dan atau tunjangan kehormatan. Jabatan dan tunjangan guru besar bersifat ”sekali jadi”, begitu tercapai berlaku selamanya. Sedikit sekali para dosen yang terus menggumuli dan meng-update pengetahuannya.

Patut dihargai berbagai upaya Menristek dan Dikti Mohammad Nasir serta jajarannya yang dengan tegas membenahi keadaan dan berusaha meningkatkan mutu  PT. Di antaranya pengakurasian data yang dilanjutkan penertiban/penutupan PT abal-abal dan tak memenuhi standar serta penetapan rasio dosen-mahasiswa, penyusunan Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi serta berbagai kebijakan pada awal 2017: Permenristekdikti No 19/2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin PTN; Permenristekdikti No 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor;
serta Revisi Renstra 2015-2019.

Konon, berbagai kebijakan ini, khususnya terkait Permenristekdikti No 20/2017, telah  meningkatkan secara signifikan publikasi ilmiah pada awal Oktober 2017, baik pada peringkat ASEAN maupun peringkat dunia (versi Directory of open Access Journal/DOAJ). Lompatan menggembirakan ini perlu diapresiasi dan dicermati polanya agar kemajuan berlangsung ajek.

Dalam Permenristekdikti No 19/2017, upaya membenahi pengangkatan pimpinan PTN agar tak menyimpang tampak semakin besar—kementerian terlibat langsung dan melibatkan pihak luar sejak penjaringan calon—sehingga selain terasa makin ”memantapkan”, di sisi lain juga dirasa makin membayangi otonomi kampus dalam pemilihan dan penetapan calon pimpinannya. Padahal, selama ini otoritas tersebut merupakan salah satu celah yang dapat dimanfaatkan oleh ”oknum” birokrasi untuk mengintervensi dan melakukan percaloan. Sementara revisi Renstra 2015-2019 belum menunjukkan pengalihan paradigmatik yang menjadikan PT lebih kontekstual dan berdaya guna seperti yang dikehendaki Presiden Jokowi dalam berbagai pidatonya.

Kesenjangan yang terjadi antara kebutuhan dan permasalahan bangsa dengan apa yang dihasilkan oleh PT bermula dari abainya kita pada berbagai aspek normatif, realitas alamiah, dan budaya yang dimiliki negara-bangsa. Kekayaan normatif, seperti ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, kekayaan alamiah dan keanekaragaman hayati, etnis, dan budaya belum dielaborasi sungguh-sungguh dalam konteks strategi pendidikan nasional. Upaya pendidikan secara umum tidak menunjukkan keterkaitan kuat dengan cita-cita memajukan kesejahteraan, perlindungan bangsa dan tumpah darah, serta peran dan wibawa bangsa dalam pergaulan dunia.

Pengelolaan PT kita selama ini terlampau ”akademis”, dipacu oleh keinginan keluar dari (menurut istilah Prof Anita Lie dari Universitas Widya Mandala Surabaya, Kompas, 21/6/2014) ”Sindrom Mengejar Ketertinggalan” dan mendapatkan pengakuan dunia melalui publikasi ilmiah di jurnal-jurnal internasional terakreditasi. Itulah makna dan arah tertinggi dari daya saing dan kelas dunia yang didamba serta tak kunjung terhampiri. Alhasil, kampus-kampus kita terasa asing dan garing, sibuk dengan dunianya sendiri.

PT kontekstual

Harus diakui, roh PT kita terasa jauh melayang-layang, tak menggantung di langit tinggi sebagai bintang yang menerangi, juga tidak berjejak nyata di bumi sebagai panutan. Menjadikan pendidikan tinggi kita lebih efektif dan signifikan  tentunya tidak sekadar secara instan mendiversifikasi atau menyederhanakan jurusan/program studi ke arah yang lebih spesifik dan hemat seperti yang digagas oleh kementerian terkait. 

Gagasan Presiden perlu dijadikan political will nasional untuk melakukan semacam ”revolusi copernican” (copernican revolution) yang mengubah dari cara pandang ke luar (outward looking) ke cara pandang ke dalam (inward looking) dalam visi dan operasional pendidikan nasional. Pengembangan PT kita yang cenderung ke ”akademis” perlu diubah ke arah yang lebih ”pragmatis”, yaitu menyiapkan keterampilan dan keahlian terapan untuk pekerjaan tertentu, seperti arah dari PT vokasi dan PT profesi yang dikehendaki perundang-undangan (UU Pendidikan Tinggi, UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 15-17).

Mewujudkan pemikiran Presiden Jokowi kiranya tak perlu terburu waktu karena menuntut adanya konsep perubahan pendidikan secara total, fundamental, dan gradual. Perubahan total tidak berarti membuang semua yang ada dan memulai kembali dari titik nol, tetapi juga tidak sekadar menggunting ranting-ranting kecil persoalan.

Seumpama transportasi, pendidikan (tinggi) kita telah lama mengalami kemacetan parah. Maka, untuk membenahinya diperlukan semangat dan keseriusan pemerintah membangun berbagai moda vital yang dapat mengatasi persoalan utama sekaligus membangun ruas-ruas yang menghubungkan berbagai arus kepentingan bangsa agar berkemajuan.

Dalam visi  dan misinya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah merumuskan tiga masalah pokok yang dihadapi bangsa dan seharusnya jadi arah pengembangan pendidikan, khususnya PT, yakni (1) merosotnya kewibawaan negara; (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional; serta (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Ketiga masalah pokok ini pada dasarnya muncul dari ”keberlimpahan” sumber daya alam dan ”kekeringan” sumber daya manusia kita. Untuk mengatasinya, Presiden telah membuat sembilan agenda prioritas Nawacita yang di antaranya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melakukan revolusi karakter bangsa, dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kita telah menyaksikan secara nyata kesungguhan pemerintah menjalankan agendanya mengatasi berbagai kelambanan dan kemacetan transportasi, terutama dengan membangun moda transportasi baru, jalan tol laut dan darat. Belakangan kita menyaksikan dalam berbagai pidatonya kesungguhan Presiden untuk membangun jalan pikiran bangsa. Semoga. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar