Penganiayaan
Kiai Basri
dan
Empat Masalah Utama Umat Hari Ini
Irfan L. Sarhindi ; Pengasuh Salamul Falah; Lulusan University
College London; Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting
|
DETIKNEWS,
01 Februari
2018
Selepas subuh, 27 Januari 2018, Kiai
Umar Basri atau dikenal juga sebagai Ceng Emon Santiong, dipukuli perut dan
wajahnya, mengakibatkan ulama sepuh pimpinan Ponpes Al Hidayah, Santiong,
Cicalengka tersebut mesti dilarikan ke rumah sakit. Dari RS AMC Cileunyi,
beliau dirujuk ke RS Al-Islam. Pelaku, yang kemudian diketahui bernama Asep,
diyakini ikut berjamaah Salat Subuh. Peristiwa penganiayaan tersebut terjadi
selepas jamaah salat meninggalkan masjid, dan lampu masjid dimatikan. Menurut
salah seorang saksi mata, saat melakukan penganiayaan tersebut, pelaku
berteriak, "Ini mah neraka, yang di sini (bakal masuk) neraka
semua!"
Pelaku ditangkap di Musala
Al-Mufathalah, Cicalengka, dua kilometer dari tempat kejadian. Pelaku
mengakui perbuatannya, bahkan hasil visum menunjukkan adanya luka memar di
tangan pelaku. Atas tindakannya tersebut, pelaku dikenakan Pasal 351 ayat 2
dengan ancaman penjara 5 tahun, dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan
kejiwaan di RS Sartika Asih. Peristiwa ini —dan beberapa peristiwa lain yang
menyusul setelahnya— dalam satu dan lain hal menunjukkan empat masalah kronis
umat Islam Indonesia hari ini.
Pertama, jika dan hanya jika kesaksian
saksi mata ini benar, bahwa pelaku menganggap apa yang dilakukan Kiai Umar
Basri sebagai amalan neraka, yang sebangun dengan bid'ah dlalalah, maka kita
akan menemukan adanya penguatan sikap 'rasa diri paling benar', yang berujung
pada sikap judgmental. Padahal, Islam sejak awal adalah agama yang memang
'tidak didesain untuk satu suara'. Bahwa ikhtilaf (diversitas) pemahaman itu
niscaya dan terlegitimasi, terbukti dengan disahkannya 'Undang-Undang'
Ijtihad oleh Rasulullah sendiri. 'Undang-Undang' yang berbunyi: (1) benar
berpahala dua, salah berpahala satu; (2) dan bahwa ikhtilaf dalam umat harus
disituasikan sebagai rahmat, toleransi karenanya dimestikan; dan bahwa (3)
tujuan utamanya adalah membangun maslahah al-ummah, kemaslahatan bersama.
Tetapi, kita tahu bahwa ada sebagian school of thought (mazhab) yang
meyakini bahwa pendapatnyalah yang paling sunnah, yang paling Islami,
sehingga kita jadi mudah mengkafir-kafirkan orang lain. Pada titik yang
ekstrem, sikap ini diekspresikan dalam bentuk kekerasan: persekusi. Sejarah
telah mencatat nama Ibnu Muljam sebagai seorang hafiz yang merasa diri benar
dan menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai, katakanlah, 'penista agama',
sehingga menantu dan sepupu Nabi itu dibunuh di Masjid selepas subuh. Atau,
kelompok Khawarij yang secara sifat dapat dikategorikan sebagai embrio
ekstremis muslim hari ini.
Sejarah juga mencatat bagaimana
pertumpahan darah yang terjadi di dalam Masjid al-Haram pasca kepergian Nabi
juga selalu dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai muslim. Yang terbaru
terjadi pada 1979. Beberapa kejadian melibatkan kehancuran Ka'bah seperti
pada masa konfrontasi Yazid bin Muawiyah dan Ibn Zubair cucu Abu Bakar
as-Shiddiq. Beberapa yang lain melibatkan pencurian Hajar Aswad. Di
Indonesia, persekusi beberapa kali dilakukan oleh FPI terhadap kelompok
minoritas seperti Syiah dan Ahmadiya. Apalagi, yang disebut belakangan
difatwakan sebagai menyimpang oleh MUI.
Kedua, sikap 'reaktif'. Bahwa
penganiayaan ini membuat umat Islam marah, adalah tak terelakkan. Pertama,
dia dilakukan di dalam Rumah Allah, kepada orang yang sedang mengingat Allah,
oleh orang yang mengaku melakukannya karena Allah. Kedua, segala bentuk
penganiayaan terhadap innocent
adalah kejahatan kemanusiaan. Namun begitu, sikap yang over-reaktif membuat
kejadian ini dapat dengan mudah diselipi hoax, yang kemudian dengan terlalu
mudahnya di-share, merambatkan kepanikan, potensi chaos, dan kemarahan yang
merambat. Seolah setiap dari kita punya kesumat dendam yang hanya perlu satu
'percikan api' untuk meledak.
Ketiga, situasi ini diperparah dengan
kecenderungan sebagian dari kita ber-logical
fallacies. Misalnya, bahkan ketika pelaku belum ditangkap, belum
diketahui, Habib Novel dalam wawancaranya dengan Jawa Pos menyebut bahwa
kejadian ini menunjukkan adanya bahaya laten komunisme. Kemudian beredar
posting-an dan meme bahwa pelaku penganiayaan adalah PKI. Disambungkanlah
sebuah narasi: "dulu PKI bertanggung jawab atas pembunuhan ulama dan
santri. Jika ada yang melakukan hal seperti itu lagi, pasti dia PKI."
Ini penarikan kesimpulan yang fatal, yang jika tidak disikapi dengan bijak,
bisa berujung gesekan berkepanjangan. Apalagi FPI, tempat Habib Novel
bernaung, telah sejak lama meyakini bahwa PKI itu masih maujud di Bumi
Indonesia, bahwa konspirasi palu arit ada di mana-mana termasuk di cetakan
terbaru uang rupiah.
Apalagi, keempat, tuduhan tersebut juga
berbau provokasi. Seolah siapapun korbannya, siapapun pelakunya, yang salah
adalah PKI. Tidak perlu ada penyelidikan, tidak perlu ada praduga tak
bersalah, tidak perlu pencidukan dan persidangan, semua sudah pasti dan jelas
adalah salah PKI. Jika logical
fallacies macam itu, yang berbau provokasi, disikapi secara over-reaktif,
maka bukan tidak mungkin penganiayaan terhadap Kiai Umar Basri bisa menjadi
percik api bagi titik ledak konflk horizontal di antara masyarakat sipil
Indonesia. Terutama di antara umat Islam (garis keras) dengan mereka yang
kerap dituduh sebagai antek PKI. Padahal, bisa saja pelakunya simply adalah
pengidap sakit jiwa. Kita belum tahu.
Oleh karena itu, saya menyambut baik
kesigapan kepolisian dalam menangkap pelaku. Mari kita percayakan semuanya
pada proses hukum yang berlaku. Saya bersyukur kondisi Kiai Umar Basri
semakin membaik, teriring doa semoga keluarga diberi ketabahan dan kesabaran.
Dan, semoga kejadian ini membuat kita lebih dewasa untuk tidak over-reaktif,
untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan dan memfitnah orang atau pihak
lain. Karena tergesa-gesa itu, bukankah perbuatan setan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar