Memahami
Akar Kekerasan di Sekolah
Wahyu Eka Setyawan ; Pegiat Komunitas Gerakan Tuban Menulis,
Lingkaran Solidaritas dan Front
Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA) Surabaya
|
DETIKNEWS,
07 Februari
2018
Pendidikan
di negeri ini tak ada hentinya dirundung problem, mulai dari persoalan tata
kelola sekolah, kekurangan pengajar, kurikulum yang sering berganti-ganti,
infrastruktur kurang memadai, hingga pada tataran tindak kekerasan. Jika
selama ini kita disuguhi banyaknya pelaporan wali murid kepada pengajar atau
sering kita sebut guru, maka pada beberapa kesempatan murid dan wali murid
tega menganiaya guru. Parahnya beberapa kasus tergolong penganiayaan berat,
karena mengakibatkan guru harus merengang nyawa.
Baru-baru
ini kita dikejutkan oleh viralnya pemberitaan terkait seorang murid di
Sampang, Madura dengan tega menganiaya gurunya hingga meninggal dunia.
Diketahui melalui beberapa sumber warta nasional, kasus tersebut ternyata
benar adanya. Di dalam pemberitaan disebutkan jika seorang murid di SMA
Torjun, Sampang memang melakukan tindak kekerasan kepada gurunya sendiri.
Kejadian tersebut dipicu tidak terimanya sang murid karena teguran dari
gurunya tersebut saat pelajaran seni rupa. Guru nahas itu bernama Ahmad Budi
Cahyono, seorang guru honorer yang mengajar mata pelajaran seni rupa.
Jika
kita kembali ke belakang, pada 20 Oktober 2017 seorang guru SMA di Kendari,
Sulawesi Tenggara bernama Hayari ditampar oleh wali murid hanya karena
menegur sang murid, akibat berbicara dengan kata-kata tidak sopan. Kemudian
pada bulan yang sama, media sosial sempat dihebohkan oleh perilaku kasar
seorang wali murid kepada guru SD di Martapura. Guru perempuan tersebut
bernama Junaidah, 59 tahun, yang merupakan guru di SDN Keraton III. Akibat
dari penganiayaan tersebut Junaidah harus sampai kehilangan giginya, serta
trauma yang cukup membekas.
Namun,
kita juga tidak bisa melupakan beberapa kejadian kekerasan yang dilakukan
oleh oknum guru kepada para muridnya dengan dalih kedisiplinan. Pada Februari
di Surabaya, seorang guru olahraga SD melakukan tindak kekerasan fisik kepada
muridnya. Kekerasan fisik berupa pukulan, dilayangkan ke muridnya yang masih
kecil, sehingga mengakibatkan si murid mengalami pendarahan. Tidak hanya itu
saja, media sosial pernah dibuat gempar beredarnya video penganiyaan brutal
seorang guru kepada muridnya.
Merujuk
pada data berdasarkan hasil survei dari International Center for Research on
Women (ICRW) yang dirilis oleh KPAI pada Februari 2017, 84 persen anak di
Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kemudian pada periode Juli sampai
November 2017, KPAI menyebutkan telah menangani sekitar 34% kasus terkait
kekerasan di sekolah. Angka tersebut didapatkan dari total kasus yang
diterima dan ditangani oleh Bidang Pendidikan KPAI yang menerima pengaduan
atas tindak kekerasan di sekolah. Menurut KPAI kasus tersebut meliputi DKI
Jakarta, Sukabumi, Indramayu, Bekasi, Bangka Belitung, Kota Medan,
Padangsidempuan, Muaro Jambi, Lombok Barat, Aceh.
Akar Kekerasan di Sekolah
Maraknya
tindak kekerasan di sekolah merupakan sebuah dampak dari perubahan zaman, di
mana era konservatisme sekolah mulai bergeser ke pemikiran modern yang lebih
terbuka. Secara sosiologis hal ini bisa dilihat dari munculnya kasus per
kasus, mulai dari era Soeharto menuju ke era Reformasi. Ada semacam perubahan
struktur dan nilai yang ada di sekolah, di mana dahulu guru merupakan sosok
yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, mempunyai wewenang yang tidak
terbatas di domain pendidikan, dan secara hierarkis memiliki posisi yang
cukup tinggi di masyarakat. Sehingga guru memiliki kuasa yang cukup absolut
kepada muridnya.
Tidak
hanya itu, wali murid juga sangat bergantung dan memiliki rasa hormat yang
tinggi kepada guru. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkonstruksi secara
budaya, yang dihasilkan dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat era
Soeharto, menjadi guru memiliki posisi dan peran cukup vital. Budaya era
Soeharto yang otoriter juga turut mempengaruhi guru sebagai aparatur negara,
sebagai profesi yang memilik level hierarki di atas masyarakat biasa. Hal ini
dikarenakan rata-rata guru di era Soeharto berstatus PNS, sehingga memiliki
imunitas sebagai aparatur negara.
Kemudian
selain posisi aparatur negara serta sumber pengetahuan hanya tersentral pada
guru, pengaruh akses pendidikan yang masih minim menjadikan profesi guru
sangat susah terjangkau. Akibatnya, jumlah guru termasuk sedikit. Hal ini
berkorelasi dengan struktur kuasa guru yang selain dilatarbelakangi oleh
status aparatur negara, juga dipengaruhi oleh minimnya jumlah guru pada saat
itu. Lalu, ada pengaruh kurikulum yang terangkum dari visi dan misi
pendidikan kala itu. Di mana pendidikan era tidak melihat bagaimana proses dan
kualitas, tapi lebih menekankan pada hasil dan kuantitas.
Hal
ini dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan Orde Baru, yang mengharapkan
tersedianya individu siap kerja, dengan pengetahuan sesuai kebutuhan
pembangunan dan tentunya patuh pada perintah. Sehingga secara tidak disadari
nilai kepatuhan merupakan dampak dari hegemoni budaya otoriter, yang hanya
ingin menciptakan seorang murid menjadi tenaga kerja dengan disiplin ala
militer dan patuh.
Berbeda
dengan era Reformasi, ketika struktur dan nilai-nilai era sebelumnya mulai
luntur. Pendidikan kemudian diupayakan dapat diakses oleh banyak orang,
sehingga siapapun bisa menjadi seorang guru. Pengaruhnya ialah dengan mulai
banyaknya profesi guru, maka secara sosial posisi guru yang sakral mulai
bergeser. Wewenangnya tidak lagi mendekati absolut, namun kini terbatas
karena mulai banyaknya calon guru yang mengantri. Tak jarang dengan semakin
banyak guru terutama honorer, mengakibatkan status sosial guru mulai redup
perlahan.
Akses
akan ilmu pengetahuan yang mulai terbuka lebar semakin menjadikan murid,
khususnya generasi muda, memiliki wacana yang terkadang lebih luas dari
gurunya. Akibatnya guru yang konservatif akan mempertahankan watak-watak
otoriter, dengan tetap menyentralkan sumber pengetahuan ke guru. Akibatnya
jika terjadi selisih pendapat, secara simbolik guru akan menegur, hingga
melakukan tindakan pelurusan atau pendisplinan.
Dampaknya
ketika tindakan guru yang cenderung koersif, akan memicu respons yang
sifatnya melawan. Hal ini umum kita jumpai, ketika guru yang tergolong miskin
wacana dan pengetahuan, akan memunculkan mekanisme pemertahanan diri, yang
umumnya ada yang persuasif, hingga yang agresif secara verbal ataupun
non-verbal. Persoalan inilah yang memicu tindak kekerasan baik oleh guru, murid,
dan wali murid.
Apa
yang terjadi pada hilangnya nyawa seorang guru di tangan muridnya, atau murid
yang disiksa secara kejam oleh gurunya, merupakan akibat dari transisi
budaya, pergeseran nilai, dan perubahan konsep pendidikan. Secara tidak
langsung ini dapat dimaknai sebagai kegagalan mengembalikan marwah
pendidikan, yang berprinsip demokrasi, kemanusiaan, dan tolerasi. Hal ini
pernah diterapak oleh Ki Hadjar, yang lebih menekankan pada proses daripada
hasil. Seperti memaksimalkan potensi anak sesuai dengan peminatan, adanya
akses pengetahuan yang cukup berimbang, dan guru cenderung demokratis.
Selain
itu padatnya kurikulum, inkonsistensinya pembuat kebijakan dalam merumuskan
kurikulum, turut mempengaruhi problem ini. Yang oleh Ki Hadjar pendidikan
harus disesuaikan dengan keunikan individu, namun hingga era sekarang masih
disamaratakan. Akibatnya, sikap antara guru dan murid yang bertentangan. Di
satu sisi terkonstruksi budaya yang otoriter dan hierarkis, di sisi lain
terbentuk dari budaya dengan wacana kritis serta akses pengetahuan yang
mudah. Sehingga problem mendasar dari kekerasan ini adalah perihal paradigma
pendidikan pasca Orde Baru. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi togel Sgp mbah jambrong
BalasHapus